HARI-hari ini Wahab lintang pukang. Menghadapi kongres luar
biasa PSSI ke-38 dan mengharap PSMS Medan jadi juara 10 besar
PSSI 1983 Abdul Wahab Abdy Simatupang, 57, Komda PSSI Sumatera
Utara, harus pula menyiapkan tangkisan ke Pengadilan Negeri
Medan yang menyita sebagian hartanya. Wahab digugat karena
gagal memberi proyek kepada direktur utama CV Ira Karya Agung
Medan, Saut Mangkirim Hutabarat.
Dalam perjanjian yang didaftarkan di kantor notaris Marah Sutan
Nasution, 3 November 1982, Bahauddin Jalil Nasution, alias
Beddy, 55, yang bertindak sebagai kuasa Wahab, berJanl akan
memenangkan tender proyek reboisasi 8.700 hektar di Kabupaten
Tapanuli Selatan untuk Hutabarat.
Untuk biaya pelicin, Beddy, mayor CPM purnawirawan, minta 10%
dari biaya proyek yang Rp 1 milyar. Sebagai tanda jadi,
Hutabarat memberi Rp 5,5 juta kepada Beddy. Bila janji tak
ditepati, uang dikembalikan. Atau, perkara ke pengadilan.
Berbulan-bulan Hutabarat, 27, menunggu Beddy dan Wahab yang tak
kunjung menepati janji. Akhirnya, Hutabarat bosan. Lewat
kuasanya, S. Makmur Hasugian, S.H., dia menggugat Rp 71 juta.
Tuntutannya sebagian besar, begitu disebutkan, untuk memulihkan
batin Hutabarat yang tersiksa karena dibohongi.
Sejak perkara perdata itu disidangkan, sampai yang ke-12 kalinya
pada 24 Oktober lalu, Wahab tak pernah hadir di pengadilan.
Sebagai anggota MPR, Wahab menganggap bisa menolak panggilan
Hakim Padmo Surasmo, S.H. yang memeriksa gugatan itu. Lagi pula,
masih ada Beddy yang berjanji kepada Wahab membereskan soal
kecil itu.
Buntut absen di pengadilan itu membikin Padmo berpendapat bahwa
Wahab, yang dua bulan lalu pensiun dari kepala Direktorat Khusus
Sosial Politik Sumatera Utara, menunjukkan itikad tak baik.
"Sepuluh kali panitera memanggilnya, tapi ia malah membentak
panitera itu," kata Padmo geram. Dan, 6 Oktober lalu, Padmo
memerintahkan sita tanggungan terhadap harta kedua tergugat. Di
antaranya, yang paling mahal, sedan Mercedes 200 kuning gading,
milik Wahab. Selebihnya perabot rumah tangga.
"Tindakan hakim itu menjengkelkan saya," kata Kolonel
(purnawirawan) Wahab. Alasannya, dia sama sekali tak terlibat.
Beddy yang dia kenal cukup lama, katanya, pertengahan 1982 minta
tolong kepadanya membikin memo kepada kepala Dinas Kehutanan
Sumatera Utara untuk mendapat proyek. Isi memo: sepanjang bisa
ditolong, oke. Sebagian keuntungan untuk dana KONI Sumatera
Utara.
"Beddy itu orang susah. Saya bikin memo untuk menolongnya," kata
Wahab, ketua KONI Sumatera Utara itu kepada TEMPO.
Beddy jugalah yang memperkenalkan Hutabarat kepada Wahab. Dalam
pertemuan pertamanya, akhir 1982, Wahab menyatakan kagum kepada
Hutabarat, pengusaha muda. Wahab, seperti dituturkan Hutabarat
kepada TEMPO, bahkan menjanjikan sebuah proyek kepadanya.
"Pertemuan yang amat manis," kata Hutabarat, yang tak tamat SMEA
itu.
Pertemuan berikutnya jadi pahit bagi Hutabarat, yang sebelumnya
tak pernah memborong itu. Beddy menghilang, dan proyek gagal.
Hutabarat mendesak Wahab yang mengaku tak menerima sebenggol pun
dari Beddy.
Menurut Wahab, proyek itu sebenarnya ada. Cuma, kepala Dinas
Kehutanan Tapanuli Selatan, Ir. Manan Siregar, tak tega
memberikannya kepada swasta. "Proyek itu swakelola. Pemborong
tak mungkin untung," kata Manan Siregar seperti dikutip Wahab.
Usaha Wahab yang memaksa Beddy mengembalikan duit itu, dan
mencari proyek lain, dianggap Hutabarat sebagai bukti
terlibatnya Wahab.
Tapi Wahab berhasil menyorong Beddy ke pengadilan, terutama
untuk membersihkan namanya. Kesaksian Beddy, antara lain,
menyatakan benar menerima duit, dan membantah sebagai kuasa
Wahab.
Wahab, ayah enam anak dan kakek tiga cucu itu, kini menyusun
pembuktian dirinya tak terlibat, lewat pengacaranya, Syarif
Siregar, S.H. Tapi pagi-pagi ia sudah resah. "Itikad baik tak
selamanya dihargai," kata Wahab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini