IA WNI nomor satu. Ketika keluar peraturan bagi keturunan Cina
untuk memilih kewarganegaraan, 1960, Mr. Tjiam Djoe Khiam
merupakan orang pertama yang mendaftarkan diri di Pengadilan
Istimewa Jakarta. Sebab itu, pada surat kewarganegaraannya, ia
mendapatkan nomor urut 1. Tapi, sampai akhir hayatnya, ia tidak
mengubah namanya. Ia mempunyai prinsip "buat apa ganti nama,
kalau watak tidak berubah," kata rekannya, Drs. Soemadji, yang
sering mendampingi pengacara terkenal itu di berbagai
persidangan.
Selasa lalu, Tjiam Djoe Khiam diperabukan di
krematorium Cilincing, setelah tiga hari disemayamkan di
rumahnya, Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sebelumnya, Tjiam dirawat di RS Husada selama 10 hari. "Badannya
mati sebelah dan suhunya tinggi," ujar anak angkatnya
menceritakan penyakit Tjiam. Selain anak angkat, Mendiang
meninggalkan tiga anak kandung. Tapi bukan hanya anak-anak itu
yang kehilangan. Dunia peradilan kehilangan seorang "macan
pengadilan" yang gigih. Sampai hari-hari terakhir menjelang
masuk rumah sakit, dengan dipapah oleh wartawan-wartawan
pengadilan, Tjiam masih muncul di berbagai pengadilan di
Jakarta.
Di pengadilan, Om Tjiam dikenal garang menghadapi lawan-lawan
perkaranya. Dalam perkara penyelundupan mobil mewah oleh Robby
Tjahjadi, misalnya, saksi-saksi dari Bea Cukai dibuat terpojok
oleh pertanyaan yang sistematis, sehingga timbul kesan pemasukan
mobil-mobil itu bisa terjadi karena kemudahan dari Bea Cukai
sendiri.
Selain saksi-saksi, pengacara lawan, jaksa, atau hakim yang
pernah berurusan dalam perkara yang ditangani Tjiam juga
merasakan kegigihan orang tua itu. "Ia begitu menguasai hukum
pidana dan pandai memancing emosi hakim dan jaksa. Kalau tidak
hati-hati menghadapi dia, kita bisa celaka," ujar ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Sunu Wahadi, yang pernah
menghadapi Tjiam dalam perkara "drakula Karawang".
Ahli hukum yang dilahirkan 79 tahun lalu di Kebumen, Jawa
Tengah, itu dikenal suka bekerja sendiri tanpa asisten dan tidak
suka aktif berorganisasi, misalnya di Peradin. Kata Soemadji,
"Ia tidak suka berorganisasi karena menghargai profesi." Menurut
rekannya itu, Tjiam sulit mendapat asisten karena keras. "Om
Tjiam itu omongannya keras, kadang-kadang tidak mengena di hati
orang," tuturnya lagi.
Namun, banyak pengacara merasa bahwa Tjiam secara tidak langsung
jadi gurunya. Selain Soemadji, pengakuan yang sama diberikan
advokat senior, S. Tasrif. "Saya banyak belajar dari dia," kata
Tasrif, yang pernah bersama TJiam menyusun konsep perdamaian
antara pengurus PWI B.M. Diah dan Rosihan Anwar. Rekannya sesama
lulusan Universitas Leiden (Belanda), Yap Thiam Hien,
mengatakan, "Yang jelas, ia teman saya. Usia dan pengalamannya
di atas saya."
Selain suka beracara sendirian, Tjiam kadang-kadang juga suka
menampilkan kesan angkuh dan senang berdebat. Di pintu gerbang
rumahnya terpampang berbagai peringatan Di antaranya
"Anjing-anjingku doyan daging dan tulang. Dilarang masuk tanpa
izin".
"Jika orang datang kepadanya dan menanyakan berapa tarifnya, ia
kontan marah dan mengusir orang itu," ujar putrinya, Agnes Tjiam
Ay Lan, yang kini pramugari Cathay Pacific. Banyak perkara
memang dibela Tjiam dengan gratis. "Saya masih ingat ketika
kliennya, seorang buruh PPD, harus membayar biaya eksekusi,
Tjiam sendiri yang mengeluarkan uang," ujar kepala panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Djoko Sarwoko. Karena tidak
suka bicara soal uang itu pula, maka Tjiam terhitung salah satu
dari sedikit pengacara yang tidak ikut terlibat apa yang disebut
"mafia peradilan". Seorang sejawatnya berkomentar, "Dari semua
kenekatannya, kejujurannya yang paling menonjol." Itulah
belangnya si macan pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini