Seorang hakim di Ruteng, NTT, diserang massa dan ditikam tiga lubang. Kasus itu menambah dasar penyerangan dan penghinaan terhadap peradilan kita. TAK hanya wibawa pengadilan, jiwa hakim pun kini terancam. Ketua Pengadilan Negeri Ruteng, Nusa Tenggara Timur (NTT), H.A. Pardede, sampai pekan ini masih dalam keadaan kritis di rumah sakit setempat, akibat diserang dengan kelewang oleh seorang warga yang kelompoknya kalah dalam berperkara. Pardede, yang kena tikam tiga lubang -- salah satu mengenai ginjal -- rencananya akan diterbangkan ke Surabaya atau Jakarta bila keadaannya memungkinkan. Kejadian yang kembali menghujat wibawa hakim dan pengadilan itu bermula dari sengketa tanah antara kelompok penduduk Tenda dan penduduk Kumba, yang sudah berlangsung sejak 1969. Dalam perkara itu, menurut Wakil Ketua Pengadilan Tinggi NTT Nurat Ginting, pihak Tenda kalah total dari pengadilan tingkat pertama sampai ke Mahkamah Agung. Berdasarkan itu, Pengadilan Negeri Ruteng hendak melakukan eksekusi. Tapi keputusan itu terpaksa ditunda karena ada permohonan peninjauan kembali dari pihak Tenda. Toh Mahkamah Agung kembali menolak permohonan Tenda. Kendati begitu, eksekusi tetap tak bisa dilaksanakan karena Tenda kembali mengajukan perlawanan (verzet). Pada Selasa pekan lalu majelis hakim yang diketuai Johan Affandi kembali menolak verzet tersebut. Keputusan itulah yang memicu keributan sekitar 200 orang pengunjung sidang dari kedua pihak yang bersengketa. Tiba-tiba, seorang dari kelompok Kumba berteriak mengejek pihak yang kalah. Keributan seketika pecah. Sebagian massa melempari pengadilan dengan batu hingga kaca pintu dan jendela pecah berantakan. Massa lainnya berteriak, "Bunuh ..., bunuh...." Ketika itulah Pardede keluar ruangannya hendak menenangkan massa, sambil berkata, "Tenang ..., tenang ...." Tiba-tiba, tutur Nurat, salah seorang warga maju dan langsung membacok Pardede. Ketua pengadilan itu roboh dengan luka di tiga tempat, sehingga terpaksa dilarikan ke rumah sakit. "Sebenarnya, ketika persidangan berlangsung, sudah ada pengamanan dari kodim dan polres masing-masing dua orang petugas. Tapi karena jumlah massa mencapai 200 orang, kerusuhan tak bisa dicegah," tambah Nurat kepada wartawan TEMPO Silawati. Apa pun penyebabnya, penyerangan Hakim Pardede itu bagaikan melengkapi berbagai kasus menghujat kewibawaan hakim dan pengadilan. Kasus pertama agaknya dicatat Pengadilan Negeri Bandung pada 1972. Pada waktu itu seorang ibu nekat menyerang majelis dan jaksa dengan gunting gara-gara majelis hanya menghukum percobaan seorang pengemudi yang menubruk mati anak wanita itu. Pada 1980, di Pengadilan Negeri Jakarta Barat seorang yang kalah dalam perkara perdata mencabut pistol dan menembak pengacara lawannya. Ia juga membidik ketua majelis. Dan untung saja, pistolnya macet, sehingga jiwa hakim selamat. Dua tahun kemudian, seorang saksi pelapor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nyonya B.M. Sinaga, menyerbu Hakim Riyanto dan merobek-robek toga hakim. Ia menganggap hakim tak adil karena membebaskan terdakwa E.A. Panjaitan dari tuduhan menipu. Penyerangan fisik yang lebih mengagetkan, ketika itu, dialami hakim Pengadilan Negeri Lahat, Sumatera Selatan. Majelis hakim yang diketuai Abdulhak Ali diserbu saksi pelapor bersama puluhan pengikutnya, begitu ia membebaskan seorang terdakwa pemalsu tanah. Ketiga majelis dipukuli massa dan gedung pengadilan dirusak. Pengeroyokan juga dialami Hakim K. Sianturi di Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, Jambi, pada 1989. Puluhan ibu di situ mengeroyok Sianturi dan merusak ruangan sidang setelah Sianturi hanya memvonis seorang pembunuh 5 tahun penjara. Pada tahun yang sama, Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Aceh, seorang terpidana pencuri kambing nekat melemparkan kursi yang didudukinya ke Hakim M. Nasution. Pasalnya, ia menganggap vonis hakim tak adil karena ia divonis 7 bulan penjara, sedangkan temannya sesama pencuri hanya divonis 4 bulan. Sementara itu, Pengadilan Negeri Lubukpakam, Sumatera Utara, hangus jadi arang. Polisi yang mengusut kasus itu menemukan dua poster dengan tulisan spidol "Pengadilan Bakar" dan "Tidak Ada Keadilan di Sini. Semua Curang". Akibat kejadian itu, dua orang tersangka pembakar pengadilan diadili. Tak hanya penyerangan fisik yang dialami hakim dan pengadilan, tapi juga pencemaran nama baik. Seorang pesakitan di Pengadilan Negeri Surabaya, Mansur Subagio, terang-terangan menuding Hakim Muntojo menerima suap, begitu ia diperintahkan hakim masuk tahanan. Bersamaan dengan itu, Pengacara O.C. Kaligis di Jakarta menuding Hakim Hatta juga ingkar janji dalam perkara Hotel Chitra. Setelah menerima uang dari kliennya Rp 2 juta dan US$ 18.000, kata Kaligis, Hatta memenangkan pihak lawannya. Penghinaan yang paling menggegerkan dialami Hakim Abdul Razak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Seorang wanita muda, Mimi Lindawati, mencopot sepatunya dan melemparkan ke Abdul Razak, begitu hakim itu memvonis seorang penipu dengan 10 bulan penjara. "Hakim penipu," kata Mimi, yang mengaku sudah membayar Rp 2,5 juta. Dalam kasus penyerangan Hakim Pardede di Ruteng itu, utusan kelompok Tenda dalam pertemuannya dengan Muspida setempat terang-terangan mengaku tak puas atas putusan pengadilan, karena sebelumnya dimintai uang Rp 10 juta. Tapi mereka, seperti dikutip Kompas, tak sanggup, sehingga dikalahkan hakim di persidangan. Tentu saja tuduhan itu belum tentu benar, seperti juga tuduhan-tuduhan sebelumnya. Tapi, dari berbagai catatan di atas, tergambar betapa tak percayanya sebagian pencari keadilan terhadap pengadilan kita. Tragedi. Karni Ilyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini