Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Srikandhi

Bhisma, lelaki agung berbudi luhur tewas dibunuh srikandhi dalam suatu pertempuran. semua orang termasuk para pandawa sedih melihat panglima musuh gugur. bagaimanapun bhisma itu moyangnya.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH sadar bahwa ia telah membunuh Bhisma dalam pertempuran sore itu, Srikandhi pun menghilang. Tak banyak orang melihatnya, ketika prajurit rupawan yang tangkas itu turun dari keretanya, lalu berjalan menuju ke sebuah kemah di sudut utara Kurusetra di dekat bukit. Tak ada yang nampaknya peduli. Semua orang berhimpun dekat tubuh Bhisma, kesatria tua yang gugur itu. Sore segera jadi senja yang muram. Para Pandhawa, yang seharusnya bergembira karena panglima pasukan musuh itu gugur, ikut murung. Bhisma, bagaimanapun, adalah moyang mereka sendiri. Mereka menghendaki ia kalah, tapi mati? "Bhisma," kata pangeran sulung Pandhawa, Yudhistira, seperti kepada dirinya sendiri, "adalah sesuatu yang mulia, dan akhirnya ia juga hilang di tengah nafsu kita yang berkecamuk di medan ini." "Ya," kata Arjuna sedih, "Bhisma mati. Kita, semua, akhirnya kalah." Di kemah yang tak berbendera itu, Srikandhi mengganti pakaiannya yang penuh cipratan darah, lalu membasuh paras dan rambutnya. Sejenak ia memandang ke cermin. Adakah ia bangga? Adakah ia kecewa? Adakah ia menyesal dan ikut murung? Ia sendiri tak tahu. Ia telah banyak mendengar cerita tentang keluhuran hati orang yang dibunuhnya di medan tempur tadi. Ia ingat sesaat sebelum melepaskan anak panahnya ke bagian leher lelaki tua yang gagah yang dihadapinya itu: ia tak tahu ia akan menumbangkannya. Ia hanya tahu satu kemungkinan lain: bahwa dialah yang akan tewas. Adakah orang akan bersedih, adakah kedua kubu akan murung, seandainya dia yang mati, dan bukan Bhisma? Tidak. Arjuna, yang pernah berbagi cinta dengannya, mungkin akan merunduk. Tapi kehilangan? Lelaki itu, di peperangan itu, akan lebih mengkhawatirkan nasib anak-anaknya yang ikut bertempur, juga saudara-saudaranya yang harus mati membunuh atau dibunuh. Bagaimana Arjuna akan sedih untuk kematiannya? Srikandhi meletakkan tubuhnya yang capek di pembaringan di sudut kemah yang lengang itu. "Aku telah menyelesaikan tugas," katanya dalam hati. "Tapi tugas untuk apa akhirnya, aku tak tahu." la mencoba memejamkan mata. Bhisma. Ia telah mendengar bagaimana lelaki tua itu -- ketika masih sebagai seorang pangeran muda dengan nama Dewabhrata -- melakukan sumpah yang berat tapi agung: ia rela melepaskan tahta meskipun ia putra mahkota. Ia rela demikian agar ayahnya, Baginda Santanu, bisa berbahagia menikahi seorang permaisuri baru, Satyawati. Dewabhrata bahkan rela bersumpah tak akan menikah seumur hidup, agar anak cucu Satyawatilah yang akan meneruskan tahta Santanu. "Bhisma, Bhisma, Bhisma", konon demikianlah gaung suara di langit, ketika pangeran muda itu mengucapkan kesediaannya berkorban yang sedemikian besar itu. Konon, pelbagai kembang harum secara ajaib berjatuhan: seakan alam semesta ikut menyambut datangnya seseorang yang mengucapkan sebuah sumpah yang berat dan suci. Srikandhi menghela napas. Ia telah membunuh sebuah teladan keluhuran hati, ketika keluhuran hati sedang diinjak oleh rasa gagah dan kekerasan. Keluhuran untuk apa? Tiba-tiba ia teringat cerita yang pernah dikisahkan kepadanya, yang pernah begitu menyedihkan hatinya: cerita tentang Amba. Amba, putri dari Kasi. Bukankah Bhisma yang telah menyebabkan Amba menderita? Bhismalah yang merenggutkan Amba dari percintaannya dengan Pangeran Salva. Hari itu Bhisma telah mengalahkan semua pangeran peminang tiga putri negeri Kasi, dan memboyong ketiganya -- Amba, Ambika, dan Ambalika -- ke Hastinapura. Bukan untuk dirinya sendiri, tentu, karena ia telah bersumpah untuk tak akan kawin, melainkan untuk adik tirinya, Wicitrawirya, yang akan dinobatkan. Tahukah Bhisma betapa pedihnya hati Amba harus terenggut dari kekasihnya, Salva? Ya, Bhisma tahu. Amba menceritakan perasaannya yang sebenarnya kepada lelaki yang pendiam itu. Dan Bhisma memang akhirnya mengirim kembali gadis itu ke tempat kekasihnya di Saubala. Tapi semuanya telah telanjur. Pangeran Salva merasa telah kalah dan dipermalukan. Dan ia menampik kedermawanan Bhisma. Dan Amba, Amba yang setia itu terkatung-katung. Ia lari ke dalam hutan. Enam tahun lamanya ia bersembunyi, sakit, menua, dan menyadari: pada akhirnya ia hanya sebuah obyek. Bhisma hanya mengasihaninya, tapi lelaki itu telah menghancurkan dirinya. Dengan keagungan jiwanya yang termasyhur. Bhisma, Bhisma, Bhisma. Keagungan itu untuk apa akhirnya? Ah, mungkin perang besar ini tak akan terjadi, dan keluarga Bharata tak akan terpecah jadi Kurawa dan Pandhawa, seandainya Bhisma dulu tidak terbujuk oleh rasa rela berkorban. Bukankah ia ikut bersalah dalam tragedi besar ini, hanya karena ia ingin menyenangkan hati seorang ayah yang telah tua, Raja Santanu? Haruskah rasa hormat, cinta, dan utang budi kepada seseorang meninggalkan kewajiban dalam sejarah? Srikandhi menghela napas kembali. Bhisma, Bhisma, Bhisma. Di luar sana, di Kurusetra, turun gelap. Ada nampak cahaya api pembakaran. Api perkabungan. Bukan kemenangan. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus