Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Merombak Pasar atau Mengatur Perilaku

Penggodokan RUU Antimonopoli di DPR alot dan molor. Meski pemerintahan Habibie tinggal enam bulan, ada 30 RUU lagi yang akan membanjir ke DPR.

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGGAPAN bahwa hukum bisnis acap tertinggal kereta agaknya semakin sahih saja. Salah satu perangkat hukum ekonomi yang penting, yakni Rancangan Undang-Undang (RUU) Antimonopoli, sampai kini belum juga dapat dirampungkan oleh DPR. Padahal, RUU yang dibahas sejak 2 Oktober silam itu ditargetkan menjadi undang-undang pada 18 Desember 1998. Masalah besar yang merintangi penyelesaian pembahasan RUU itu—kini namanya yang resmi: Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat—adalah perbedaan pendapat antara DPR dan pemerintah dalam soal pembatasan pangsa pasar maksimal 30 persen untuk satu jenis barang dan jasa. Dalam konsep DPR, bila pengusaha atau kelompok usaha melakukan praktek monopoli berupa penguasaan pasar lebih dari 30 persen, sang pengusaha mesti mengurangi skala usaha atau memecah perusahaannya, sehingga pesaing menjadi banyak atau bisa muncul perusahaan baru. DPR bersemangat merombak total struktur pasar tak lain karena selama ini perekonomian Indonesia terbukti rapuh, berhubung pasarnya monopolistik dan tak efisien. Hal ini terjadi karena banyak bisnis bisa mekar dan membesar semata-mata karena fasilitas dan kedekatan dengan penguasa. Walaupun jelas sekali buruknya monopoli ala Indonesia itu, tetap saja pemerintah yang diwakili Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan tidak menyetujui adanya pembatasan pasar. Soalnya, DPR memfokuskan pada struktur pasar, sedangkan pemerintah lebih mengutamakan konsep perilaku usaha, apa pun struktur pasarnya. Bagi pemerintah—yang memiliki sejumlah badan usaha dengan hak monopoli seperti Telkom dan PLN—monopoli atau berapa pun pangsa pasar yang dikuasai pengusaha tak jadi masalah. Asalkan, keadaan itu dicapai si pengusaha lewat proses dan persaingan yang fair—proses yang kita pun tahu belum pernah terjadi di Indonesia sampai sekarang. Nah, menurut pemerintah, pembatasan pasar justru bisa tak mendorong perkembangan ekonomi, malah bisa menjadi kontraproduktif. Pendapat ini ternyata didukung oleh sebagian investor asing dan kalangan pengusaha besar di sini, yang merasa ngeri menghadapi konsep DPR. Sampai pekan lalu, belum tercapai titik temu antara pemerintah dan DPR. Belakangan, sikap DPR agak melunak, yakni tetap menghendaki dicantumkannya pembatasan pasar tapi persentasenya bisa dirundingkan. Selain itu, larangan monopoli tak berlaku bila pengusaha memperolehnya karena menemukan teknologi baru dan harga pasar menjadi murah. Begitu pula bila monopoli bisnisnya dicapai secara alamiah. Mungkin itu sebabnya, anggota DPR Rambe Kamarul Zaman merasa optismistis bahwa RUU Antimonopoli bisa digolkan menjadi UU pada 18 Februari nanti. Tentu dengan catatan, mutu UU tersebut tetap diutamakan. Soalnya, belajar dari pengalaman masa Orde Baru, mutu dan daya laku UU cenderung berpihak pada politik penguasa. Walhasil, UU sebagai perangkat hukum yang mengikat umum (harus dipatuhi masyarakat) dan bersifat memaksa (ada sanksi hukumnya) malah merugikan masyarakat. Namun, apa lacur, hampir separuh dari 73 RUU yang digodok DPR periode 1992-1997 justru diajukan pemerintah menjelang masa akhir tugas DPR pada September 1997. Karena diberi tenggang waktu yang sempit, tak mengherankan bila DPR dianggap cuma menjadi tukang stempel UU. Barulah belakangan mutu UU—yang buruk—diketahui. Contohnya, UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kemudian UU Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, yang akhirnya oleh Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris diusulkan untuk ditunda pemberlakuannya. UU Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), menurut Novyan Kaman, anggota DPR yang dulu turut membahasnya, juga perlu disempurnakan. Misalnya, materi tentang keharusan wajib pajak membayar dulu seluruh utang pajak, sebelum naik banding. "Bila utang pajaknya Rp 5 miliar, lantas mesti dibayar, bisa hancur dia, padahal tidak salah. Kalau uang itu didepositokan, sudah berapa nilainya?" debat Novyan. Sebenarnya, banyak materi UU BPSP sebagai pengganti Majelis Pertimbangan Pajak yang pernah dipersoalkan kalangan hukum. Dalam kelompok ini termasuk lembaga penyanderaan (gijzeling) terhadap wajib pajak yang tak mau melunasi pajak. Juga keputusan BPSP yang tak bisa digugat ke pengadilan tata usaha negara. Yang jelas, tuntutan terhadap mutu dan transparansi proses penggodokan RUU di DPR menjadi semakin penting. Apalagi pemerintahan Presiden B.J. Habibie, yang memerintah hanya selama enam bulan lagi—sampai pemilihan umum 7 Juni 1999—kini sudah menyiapkan sekitar 30 RUU untuk diajukan ke DPR. Hp. S. dan Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus