ANCAMAN kebangkrutan ternyata juga menghantui bisnis televisi. Kali ini yang terkena bidikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan adalah PT Cakrawala Andalas Televisi, pemilik Anteve. Stasiun televisi yang didirikan pada 1 Maret 1993 itu dituntut pailit oleh tiga kreditur asingnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada Kamis pekan ini, petisi kebangkrutannya mulai disidangkan.
Perkaranya menyangkut utang melalui sarana pasar modal berupa obligasi. Kisahnya, untuk mengembangkan usaha, di antaranya pembangunan stasiun relay, Anteve, yang 60 persen sahamnya dimiliki grup Bakrie lewat PT Bakrie Investindo, membutuhkan modal. Untuk itu, pada 5 Februari 1997 Anteve meneken perjanjian penerbitan obligasi senilai US$ 70 juta dengan tujuh pembelinya.
Obligasi tertanggal 11 Februari 1997 itu jatuh tempo pada tahun 2002. Ketujuh kreditur asing tadi kemudian membeli obligasi senilai US$ 59,7 juta atau sebesar Rp 447,5 miliar, berdasar kurs Rp 7.500 per dolar AS. Penjamin obligasi tak lain adalah PT Bakrie Investindo dan wali amanatnya, Marine Midland Bank.
Untuk menjamin kredibilitas selaku penerbit obligasi, Anteve harus menyetor dana yang disisihkan (sinking fund) sebesar US$ 14 juta pada 11 Februari 1997, dan sebesar US$ 3,7 juta pada 11 Juni 1998. Sinking fund akan diperhitungkan pada pembayaran kembali obligasi sewaktu jatuh tempo. Selain itu, Anteve mesti membayar bunga obligasi senilai US$ 3,2 juta pada 11 Agustus 1998.
Sinking fund pertama, sebesar US$ 14 juta, lancar dibayar oleh Anteve. Namun sinking fund kedua sebesar US$ 3,7 juta dan bunga obligasi tadi ternyata tak kunjung dibayar Anteve. Rupanya, krisis moneter mengakibatkan Anteve tak bisa memenuhi kewajibannya.
Bayangkan, sewaktu menerbitkan obligasi, kurs dolar AS masih Rp 2.390. Namun setelah itu kurs dolar AS terhadap rupiah menggila. Sekarang saja, dengan kurs sekitar Rp 7.500 per dolar AS, Anteve mesti membayar sinking fund kedua sebesar Rp 27,5 miliar dan bunga obligasi sebesar Rp 24,3 miliar, sehingga totalnya sebesar Rp 52 miliar.
Karena itu, Anteve beberapa kali merundingkan kembali masalah tersebut. Namun, tiga dari tujuh kreditur pembeli obligasi, yakni IBJ Asia Limited, Korea Commercial Finance Limited, dan Hanareum Banking Corporation, tak bisa menerima alasan Anteve. Ketiga kreditur ini membeli obligasi senilai US$ 38,4 juta atau sebesar Rp 287 miliar.
Menurut mereka, sesuai dengan perjanjian, bila Anteve tak membayar sinking fund dan bunga obligasi, saat jatuh tempo obligasi bisa dipercepat. Akibatnya, Anteve mesti membayar kembali obligasi senilai US$ 59,7, atau sebesar Rp 447,5 miliar kepada para kreditur.
Bahkan ketiga kreditur mengajukan tuntutan pailit (kebangkrutan) terhadap Anteve. Lewat pengadilan niaga, kreditur berharap aset debitur bisa segera dilelang untuk melunasi utang. Sebab, "Dana itu diperlukan kreditur untuk membayar utang juga," ucap kuasa hukum ketiga kreditur penuntut, Joni Aries Bangun.
Tentu saja Anteve menganggap petisi pailit itu berlebihan. "Bila mereka menuntut pailit, sebenarnya mereka mau dibayar atau tidak? Kreditur yang lain bisa mengerti, kondisi ekonomi tak memungkinkan kami untuk membayar utang secara tunai dalam waktu cepat," kata General Manager Anteve, Mustafa I. Jatim.
Menurut Mustafa, akibat krisis moneter, seperti juga dialami banyak perusahaan Indonesia, Anteve mengalami kesulitan ekonomi. Sebab, selain mesti menanggung beban naiknya kurs dolar, pendapatan rupiah Anteve menurun, terutama penghasilan iklan, sementara pengeluaran terus membengkak.
Lagi pula, sambung Mustafa, tuntutan pailit itu terlampau dini. "Meski sinking fund belum dibayar, obligasinya baru jatuh tempo pada tahun 2002," ujarnya. Sebenarnya, masalah obligasi tersebut harus diproses melalui rapat umum para pemegang obligasi. Dengan kata lain, tak bisa diputuskan secara sepihak oleh beberapa pembeli obligasi.
Mustafa berharap, ketiga kreditur mau menegoisasikan kembali utang obligasi Anteve itu. "Selama proses operasi Anteve tak terganggu, kami masih mampu membayar, tentu dengan perpanjangan waktu," tambahnya.
Memang, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 memungkinkan debitur mengupayakan penundaan utang. Namun, pada perkara itu, mestinya peran wali amanat yang menjembatani debitur dan kreditur, juga rapat pemegang obligasi, bisa mengerem upaya buru-buru lewat kepailitan.
Hapy. S., Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini