SETELAH 20 tahun berjuang, barulah petani Jenggawah di Jember, Jawa Timur, memetik "kemenangan". Pada 1 Oktober 1998, pemerintah memutuskan tidak memperpanjang hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara X atas lahan perkebunan tembakau seluas 2.618 hektare di kawasan Jenggawah. Pemerintah juga menetapkan, lahan di tujuh desa yang tersebar di tiga kecamatan itu diberikan kepada 2.000 lebih petani.
Selain itu, diteken perjanjian sistem glebakan antara para petani dan PT Perkebunan Nusantara X. Dengan sistem itu, selama 17 bulan petani berhak menanam tanaman selain tembakau. Setelah itu, giliran PT Perkebunan Nusantara X menanam tembakau selama 7 bulan dengan menyewa tanah tersebut kepada petani.
Namun, diperkirakan baru pada September tahun depan proses pembuatan sertifikat tanah untuk petani bisa rampung. Jadi, petani masih harus bersabar sebelum tercapai klimaks dari perjuangan dan duka cita mereka yang panjang. Seperti diketahui, sejak 1978, hak tanah mereka dinafikan pemerintah. Setiap kali mereka memprotes ketidakadilan, kekerasan pun terjadi. Bahkan, tujuh tokoh petani diadili dengan tuduhan subversi. Belakangan, pada 1982, Mahkamah Agung membebaskan mereka. Namun, ratusan petani lainnya telanjur disiksa tentara.
Konflik antara pemerintah dan petani sempat meruncing, sehingga 19 gudang tembakau milik PT Perkebunan Nusantara X dibakar pada Juli dan Agustus 1995. Saat itu, nama Jenggawah kembali bergema dan bahkan nama itu sudah identik dengan perjuangan para petani.
Kini, setelah sukses di Jenggawah, sekitar 2.000 petani di Desa Sumojayan, Malang, Jawa Timur, juga berani memimpikan sepotong tanah. Pemerintah memang belum memutuskan redistribusi (land reform) atas lahan perkebunan cokelat seluas 240 hektare yang diimpikan 2.000 petani tersebut. Tapi, sejak Desember 1998, mereka sudah membagi-bagikan lahan yang HGU-nya semula ada pada PT Perkebunan Nusantara XII itu.
Sebagaimana kasus tanah bekas perkebunan Belanda lainnya, tanah di Sumojayan juga diwarnai konflik. Pada Desember 1997, para petani membabati tanaman cokelat di perkebunan Kalibakar itu. Setahun kemudian, pada Agustus 1998, sebanyak 20 penduduk ditembaki aparat keamanan.
Adalah wajar bila lahan tak bertuan di Sumojayan dijadikan obyek land reform bagi petani. Demikian juga tanah sekitar 200 ribu hektare milik keluarga mantan presiden Soeharto, termasuk lahan di Tapos, yang kabarnya dibeli paksa dengan harga murah dari penduduk di sana. Tentang land reform jenis ini, tampaknya Menteri Agraria Hasan Basri Durin masih menimbang-nimbang. "Enggak bisa begitu. Mesti dilihat satu per satu kasusnya," ujarnya kepada Dwi Wiyana dari TEMPO.
Tanah seperti Tapos, yang HGU-nya akan habis pada tahun 2000, mungkin bisa diproses melalui land reform. Begitu pula tanah absentee (yang pemiliknya tinggal di kecamatan berbeda dengan kecamatan tanah itu). Namun, untuk tanah yang HGU-nya belum habis, bila warga belum melepaskan haknya dan belum menerima ganti rugi, sebaiknya kasus tersebut diajukan ke pengadilan. Tapi lain cerita jika warga sudah melepaskan haknya dan menerima ganti rugi. Tentang yang satu ini, Hasan Basri Durin menegaskan bahwa warga yang sudah menerima ganti rugi tapi masih mencoba mengambil kembali tanahnya sama saja dengan para pencaplok tanah lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini