Pesawat tanpa awak (aeremodeling) selama ini lebih dikenal di kalangan orang-orang yang menekuni aeromodeling sebagai hobi. Itulah dunia yang asyik dengan dirinya sendiri, sampai pada suatu hari seorang penggagas dari Institut Teknologi Bandung (ITB) berhasil meningkatkan fungsi pesawat aeromodeling menjadi pembawa alat pemotret udara.
Syahdan, dengan menjadikan pesawat model sebagai media, kini aktivitas memotret hutan, areal lokasi perumahan, kebakaran hutan, ataupun tanah longsor tak perlu lagi dilakukan oleh seorang fotografer yang membidikkan kameranya dari sebuah helikopter. Jadi, bisa menghemat biaya.
Pesawat tanpa awak itu pun mampu memotret lokasi ikan di laut lepas. Dengan begitu, informasi yang diperlukan nelayan bisa lebih cepat diterima ketimbang informasi lewat penginderaan jarak jauh yang menggunakan satelit. Sebab, begitu lokasi ikan difoto, pada hari itu juga dapat diketahui hasilnya. Kalau melalui satelit, baru datang sepekan kemudian.
Menurut Hisar M. Pasaribu, Ph.D., dosen Fakultas Penerbangan ITB yang adalah penggagas pesawat pemotret tadi, karya ini terwujud setelah ia menggabungkan dua teknologi. Teknologi pertama, menciptakan pesawat yang mampu terbang stabil, sehingga pemotretan bisa menghasilkan gambar yang tajam.
Dari beberapa percobaan, ditemukanlah bentuk ideal, yakni pesawat dengan permukaan sayap bagian atas dibuat lebih melengkung daripada bagian bawah. Rancangan ini membantu pesawat agar tak mudah oleng ketika menghadapi perubahan arus angin.
Untuk menambah keseimbangan, pesawat dilengkapi perangkat penunjang stabilitas (stabilizer). Bila pesawat miring ke kiri, alat ini akan menggerakkan posisi kamera ke arah sebaliknya. Dengan begitu, kamera selalu berada pada posisi normal.
Kamera yang digunakan bukan kamera khusus, melainkan kamera saku autofocus yang banyak dijual di pasaran. Hanya, shutter speed-nya telah dimodifikasi sehingga pemotretan dapat dioperasikan dari darat.
Teknologi kedua berupa rancangan pesawat yang dapat dikemudikan dari jarak jauh. Berbeda dengan pesawat radio control biasa, pesawat untuk pemotretan udara harus mampu terbang sepanjang wilayah yang akan difoto. Jadi, tak cuma sebatas mata memandang.
Untuk itu, dicangkokkanlah sistem navigasi Global Positioning System, yang memanfaatkan satelit. Lalu, agar pesawat bisa dikemudikan, operator tinggal duduk di depan komputer. Pada layar monitor, tersaji simulasi pergerakan pesawat dalam bentuk titik yang berkedip-kedip dan berjalan di atas sebuah peta.
Bila jalannya melenceng dan tak sesuai dengan jalur yang dituju, arah pesawat bisa dibelokkan dengan memencet tuts pada keyboard. Cara memandunya persis seperti yang dilakukan operator NASA di Amerika Serikat ketika mengendalikan pesawat ulang alik Discovery.
Pada layar itu, terdapat pula informasi mengenai ketinggian pesawat. Fasilitas ini sangat berguna untuk melakukan pemotretan dengan skala tertentu. Misalnya, untuk foto berjangkauan seluas 1 kilometer, pesawat harus terbang dengan ketinggian 700 meter.
Pesawat juga dilengkapi kamera bergerak, yang akan merekam pemandangan di bawah pesawat. Tampilan obyek yang akan difoto bisa dilihat pula pada layar televisi. Dengan begitu, ''Operator bisa melihat gambar sesungguhnya dan kapan harus melakukan pemotretan," Hisar menjelaskan.
Penelitian awal teknologi aeromodeling itu, tutur Hisar, dirampungkan selama dua tahun, pada 1996. Dananya sebesar Rp 300 juta dari Dewan Riset Nasional.
Namun, pesawat pintar itu ternyata hanya mampu menempuh perjalanan sepanjang tujuh kilometer. Padahal, untuk memotret lokasi perumahan, misalnya, butuh pesawat yang mampu berkeliling di udara minimal radius 100 kilometer.
Hissar kembali berpikir keras agar dapat menyempurnakan pesawat temuannya itu. Melalui penelitian lanjutan, kekuatan sinyal pengirim dan penerima diperbesar. Hasilnya? Daya jelajah pesawat bisa diperluas sampai 150 kilometer.
Pada akhir tahun lalu, pesawat aeromodeling yang mampu melakukan pemotretan dari atas itu dipamerkan di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Pameran ini juga sekaligus dijadikan ajang bagi pemasaran pesawat yang tidak berawak itu.
Dengan harga Rp 1,4 miliar, konsumen akan memperoleh empat pesawat model plus satu sistem pengendali darat (ground control). Pembeli yang diincar adalah pengusaha yang bergerak di bidang pemotretan udara dan paguyuban nelayan. Mungkin lantaran masih krisis ekonomi, sampai pekan lalu pesawat pintar itu belum ada yang menawarnya. Ya, sabar sajalah dulu.
Ma'ruf Samudra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini