SERING diejek sebaai bekas anggota PKI, dia merasa malu dan panas hati. Dia lalu membunuh pengejeknya, Drs. Bachtiar Luthan, 49, Kepala Subdirektorat Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja, Depnaker. Pekan lalu, dia, Ngiso Adiwahono, divonis hukuman 11 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, empat tahun lebih ringan dari tuntutan Jaksa Fauzi Yunus. Majelis hakim pimpinan Setiawan berkeyakinan bahwa Ngiso, 48, "terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana." Dia juga terbukti telah membawa senjata tajam tanpa izin. Majelis berkeyakinan bahwa karyawan Departernen Tenaga Kerja yang sehari-hari bekerja sebagai koordinator surat-surat masuk itu tak hanya sekadar ingin melukai korban. "Ngiso masih mengejar korban yang melarikan diri, dan kembali menghunjamkan pisaunya," tutur seorang anggota Majelis. Padahal, katanya, tusukan pertama yang mengenai leher korban sudah termasuk kategori perbuatan yang bisa dihukum berat. Maka, katanya, vonis 11 tahun penjara cukup memadai dan adil. "Hukuman di atas 10 tahun termasuk kategori berat," ujar anggota majelis itu lagi. Peristiwa pembunuhan yang cukup mengagetkan itu terjadi pagi hari, 8 Agustus 1983, di kantor Departemen Tenaga Kerja, Jalan H. Agus Salim, Jakarta Pusat. Ngiso, ayah lima anak, merasa malu dan tertekan karena korban sering mengejeknya sebagai bekas anggota PKI. Padahal, korban bukan atasannya langsung. Karyawan golongan II B itu, Ngiso, memang pernah terlibat dalam organisasi terlarang itu, dengan klasifikasi golongan C II. Sekali waktu, kata Ngiso, ia menyerahkan surat-surat dinas kepada korban. Tanpa sebab yang jelas, tahu-tahu korban berkata, "PKI, lu." Paling tidak, katanya dalam sidang, tiga kali ia pernah berusaha menemui korban untuk berdialog. Ia menghendaki agar korban tidak lagi menyebarkan isu yang merugikan dirinya. Sebab, katanya, "sebagai bekas anggota PKI saya tidak pernah ditahan, hanya diperiksa, dan nama saya sudah direhabilitasi." Namun, katanya lagi, korban selalu menunjukkan sikap tidak bersahabat. Ngiso rupanya semakin tidak tenteram ketika mendengar bahwa di Departemen Tenaga Kerja akan ada pembersihan. Menteri Tenaga Kerja Sudomo, ketika itu memang menyatakan bahwa departemennya akan dibersihkan dari oknum bekas anggota PKI. "Pada akhirnya, semua golongan C I dan C II akan diberhentikan dengan berpedoman kepada peraturan pemerintah," kata Sudomo kepada para wartawan. Sebagai langkah awal, di Perum Astek, perusahaan yang bernaung di bawah Depnaker, ketika itu telah ditindak 17 orang yang terlibat G30S/PKI. Tak hanya di kantor, di rumah pun Ngiso merasa tidak tenteram. Di samping takut kehilangan pekerjaan, kata istrinya Nyonya Onah, Ngiso sering teringat salah seorang anak wanita mereka yang, setelah diperkosa, dibunuh entah oleh siapa, pada 1981. Pada pagi hari tanggal 8 Agustus 1983, Ngiso pergi ke kantor berbekal sebilah pisau dapur. Ia menemui korban, dengan maksud menanyakan sekitar ejekan korban selama itu. Di luar dugaan, katanya, korban menjawab, "saya tidak mau tahu," lalu sebuah pukulan melayang ke arah Ngiso. Segera saja ia mencabut pisau dari pinggang, dan dihunjamkan ke leher korban. Tusukan berikut diberikan di tangga kantor, ketika korban lari. Menurut visum Dokter Budi Sampurno dari LKUI, korban meninggal akibat luka tusuk di punggung kiri yang mengenai paru-paru dan merobek batang nadi di rongga dada, yang mengakibatkan pendarahan. Para karyawan Departemen Tenaga Kerja pun geger. Korban yang tergeletak di tangga dan berlumur darah segera dilarikan ke rumah sakit. Namun, jiwanya tak tertolong. la meninggal tepat pada hari kelahirannya yang ke-49. Istrinya, yang juga bekerja di departemen itu merasa sangat terpukul karena, setahunya, suaminya tak pernah punya musuh. Ngiso tak menyangkal perbuatannya, dan ia mengaku menyesal. Majelis Hakim sendiri dalam putusannya tidak mengaitkan perkara pembunuhan itu dengan keterlibatan Ngiso dalam organisasi terlarang PKI. "Tidak ada relevansinya," ujar salah seorang anggota Majelis. Menteri Sudomo pun, setelah vonis jatuh, belum memutuskan apakah Ngiso akan dipecat sebagai pegawai negeri atau tidak. "Tergantung situasi dan kondisi," katanya pekan lalu kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini