Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM tahun menjadi buron Kejaksaan Agung, Joko Soegiarto Tjandra tak berhenti melawan. Melalui istrinya, Anna Boentaran, terpidana korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali ini menggugat wewenang Korps Adhyaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Perlawanan itu pun sukses memereteli wewenang jaksa.
Anna mengajukan uji materi Pasal 263 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ke Mahkamah Konstitusi pada awal Januari lalu. Pengacara Anna, Muhammad Ainul Syamsu, mengatakan Kejaksaan Agung semena-mena menafsirkan pasal tersebut. "Sudah jelas hanya keluarga atau ahli waris yang bisa mengajukan permohonan peninjauan kembali," kata Ainul, Selasa pekan lalu.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Anna, Kamis dua pekan lalu. Majelis hakim konstitusi menegaskan dua hal. Pertama, peninjauan kembali hanya dapat diminta oleh terpidana atau ahli warisnya. Kedua, upaya hukum luar biasa itu tidak bisa diajukan untuk putusan bebas dari dakwaan atau lepas dari tuntutan.
Tanpa diuji materi sekalipun, Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebenarnya menyatakan peninjauan kembali merupakan hak terpidana dan ahli warisnya. Penyimpangan atas pasal ini pertama kali terjadi pada 1996, ketika jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam perkara Muchtar Pakpahan. Kala itu, jaksa tak puas atas putusan hakim kasasi yang membebaskan Muchtar dari dakwaan menghasut buruh. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan jaksa dan menghukum Muchtar empat tahun penjara. Sejak itu, jaksa belasan kali mengajukan permohonan peninjauan kembali. Lima di antaranya dikabulkan.
Kejaksaan Agung mulai mengusut skandal pengalihan hak tagih Bank Bali senilai Rp 904 miliar pada September 1999. Setahun kemudian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Joko Tjandra tak bersalah karena perkara ini seharusnya masuk ranah perdata. Pada 2001, jaksa mengajukan permohonan kasasi. Namun Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan negeri.
Delapan tahun kemudian, Kejaksaan Agung mengajukan permohonan peninjauan kembali dengan alasan menemukan bukti baru. Kali ini Mahkamah Agung menerimanya. Joko Tjandra divonis dua tahun penjara dan didenda Rp 15 juta. Namun putusan tak bisa dieksekusi karena bos Mulia Group itu kabur dengan jet pribadi ke Papua Nugini sehari sebelum hakim kasasi membuat putusan. Joko Tjandra mendapat status kewarganegaraan di negara tersebut.
Menurut Ainul, putusan Mahkamah Konstitusi akan berguna bagi kliennya. "Bisa dijadikan novum jika kami mengajukan permohonan peninjauan kembali," ujarnya. Namun Ainul belum memastikan apakah mereka akan mengambil langkah hukum tersebut. "Masih dibicarakan."
Sebelumnya, Joko Tjandra pernah mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali yang diajukan jaksa. Namun upaya "PK atas PK" itu ditolak Mahkamah Agung.
Ainul membaca peluang baru karena Mahkamah Konstitusi, pada Maret 2014, memutuskan bahwa peninjauan kembali dalam perkara pidana bisa dilakukan berkali-kali-sepanjang terpidana bisa mengajukan bukti baru (novum). Meski demikian, Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat edaran bahwa peninjauan kembali hanya bisa dilakukan sekali.
MEWAKILI Anna Boentaran di persidangan, Ainul Syamsu mengaku belum pernah berjumpa dengan kliennya itu. "Ada perwakilan keluarga Joko Tjandra yang menjadi perantara dengan Anna," kata Ainul. Ia juga mengaku tak tahu apa status si perantara dalam keluarga Joko Tjandra. "Sewaktu berkenalan, bilangnya masih saudara. Saya enggak banyak tanya juga," ujarnya.
Ainul menuturkan, pertemuan dengan si perantara terjadi sekitar Oktober tahun lalu. Waktu itu kontrak Ainul sebagai pengacara Patrialis Akbar-salah seorang hakim konstitusi yang mengadili permohonan uji materi yang diajukan Anna Boentaran-baru saja berakhir. Ainul mendampingi Patrialis dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara pada medio 2013.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menggugat surat keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengangkat Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi. Patrialis memenangi perkara tersebut. Patrialis menolak berkomentar tentang perkenalannya dengan Ainul. "No comment," kata Patrialis di Mahkamah Konstitusi, Kamis pekan lalu.
Si perantara, menurut Ainul, meminta dia mencari celah untuk membatalkan putusan peninjauan kembali atas Joko Tjandra. Waktu itu Ainul belum terpikir untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Ide menguji KUHAP di Mahkamah Konstitusi muncul setelah Ainul dan timnya beberapa kali bertemu dengan perantara itu pada akhir 2015.
Pada akhir Maret, Mahkamah Konstitusi mulai menyidangkan gugatan uji materi yang diajukan keluarga Joko Tjandra. Dibanding kebiasaan sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi, persidangan perkara ini berlangsung kilat. Hanya ada tiga kali sidang, yakni pemeriksaan pendahuluan, perbaikan permohonan, dan pembacaan putusan. Tak ada sidang meminta keterangan pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, pihak terkait seperti Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, ataupun keterangan ahli.
Sidang kilat ini mengundang curiga sejumlah pegiat pengawas peradilan. Choky Ramadhan dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia menilai sidang tersebut ganjil karena tidak meminta tanggapan pemerintah. "Kalau tidak mendengar saksi ahli, enggak jadi masalah," ucapnya.
Senada dengan Choky, peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Tanziel Azizi, merujuk pada Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Menurut pedoman itu, mendengarkan saksi dan tanggapan pemerintah merupakan bagian dari agenda persidangan. Memang, menurut dia, pedoman tersebut tidak menjelaskan apakah semua tahapan sidang harus dijalankan atau bisa dilewati sebagian.
Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menolak berkomentar tentang sidang yang cepat ini. Demikian pula Patrialis Akbar. Adapun hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan alasan sidang tanpa meminta keterangan pemerintah dan DPR sudah termuat dalam putusan. "Pelajari putusan itu. Sebagai hakim, kami tak bisa berkomentar," katanya.
Dalam putusannya, hakim konstitusi mengutip Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Disebutkan, Mahkamah memang "dapat" meminta keterangan dari pemerintah atau DPR. Namun kata "dapat" bukanlah kewajiban. Dalam uji materi yang pokok masalahnya cukup jelas, hakim konstitusi tak perlu meminta pandangan pihak lain.
Jaksa belum bisa menerima wewenang mereka dipereteli. Jaksa Agung H.M. Prasetyo mengatakan akan mencari celah hukum agar lembaganya tetap bisa mengajukan permohonan peninjauan kembali. "Kami akan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung, puncak kekuasaan kehakiman yang menjadi acuan kejaksaan." Selain itu, Prasetyo melanjutkan, kejaksaan akan terus mengejar Joko Tjandra dalam pelariannya.
Prasetyo menambahkan, selama ini Kejaksaan Agung kesulitan memulangkan Joko Tjandra karena ia dalam perlindungan pemerintah Papua Nugini. "Dia susah disentuh karena banyak memberi sumbangan ke Papua Nugini," ujar Prasetyo. Undang-Undang Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Papua Nugini yang disahkan pada Februari tahun lalu, menurut Prasetyo, juga tidak banyak membantu.
Tampaknya Kejaksaan Agung bertepuk sebelah tangan. Mahkamah Agung mengirim sinyal akan menutup peluang jaksa bisa mengajukan permohonan peninjauan kembali. Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan putusan tafsir konstitusi tersebut harus dihormati oleh jaksa. "Tafsir Mahkamah Konstitusi tersebut memberi kepastian hukum," kata Hatta. "Jika selama ini multitafsir, sekarang sudah jelas."
Syailendra Persada, Linda Trianita, Reza Aditya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo