Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pasal Karet Penangkal Teror

Pemerintah mengajukan revisi Undang-Undang Antiterorisme ke DPR. Sarat pasal kontroversial yang bisa melanggar hak asasi.

23 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN ini Muhammad Syafi'i punya kesibukan baru. Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Terorisme itu rajin menghadiri berbagai diskusi dan seminar. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Gerindra ini setidaknya telah menghadiri dua diskusi dan dua seminar yang membahas isu terorisme. Pekan ini, Panitia Khusus DPR pun menjadwalkan seminar dua hari untuk menjaring masukan ahli. "Kami mencari bahan untuk memulai pembahasan bersama pemerintah," kata Syafi'i, Kamis pekan lalu.

Dewan Perwakilan Rakyat setuju membahas revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pemerintah menyampaikan draf revisi dalam rapat dengan DPR pada 27 April lalu. Kala itu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menjelaskan alasan revisi Undang-Undang Terorisme. Antara lain karena banyaknya orang Indonesia yang bergabung dengan jaringan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi.

Siklus kelahiran undang-undang antiterorisme seperti berulang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terbit enam hari setelah pengeboman di Paddy's Pub dan Sari Club, Kuta, Bali, pada 12 Oktober 2002. Perpu itu kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pada 4 April 2003. Kini pemerintah mengajukan revisi atas undang-undang itu tak lama setelah pengeboman di sekitar pusat belanja Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016.

Menurut Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra, revisi Undang-Undang Terorisme sebenarnya sudah lama dipersiapkan. Namun pembahasan drafnya digenjot setelah teror di Jalan Thamrin. Kejadian di berbagai negara dan banyaknya orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS, menurut dia, juga jadi alasan percepatan revisi. "Ini perlu ada tindakan ekstra," ujar Dhahana, Selasa pekan lalu.

Dukungan untuk merevisi Undang-Undang Terorisme datang dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris menyebutkan undang-undang antiteroris yang ada sudah melewati masanya. "Ibarat pakaian anak SMP mau dipakai untuk kuliah, ya, tak cocok," kata Irfan, Rabu pekan lalu.

Pemerintah menyodorkan sejumlah hal baru dalam revisi ini. Sementara undang-undang lama hanya bisa menjerat individu, misalnya, rancangan baru bisa menjerat korporasi. Organisasi seperti ISIS, menurut Dhahana, termasuk kategori korporasi.

Delik pidana terorisme juga diperluas. Orang yang memperdagangkan senjata, mengikuti pelatihan paramiliter, atau bergabung dengan ISIS pun bisa dijerat hukum. Pemerintah juga mengusulkan hukuman pencabutan paspor dan kewarganegaraan bagi orang Indonesia yang terlibat aktivitas terorisme di luar negeri.

Draf revisi usulan pemerintah ini mendapat sorotan dari kalangan pegiat hak asasi manusia. Yang mereka persoalkan antara lain perpanjangan masa penangkapan dan penahanan. Masa penangkapan diperpanjang dari 7 hari menjadi 30 hari. Sebagai perbandingan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menetapkan masa penangkapan maksimal 7 x 24 jam. Adapun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana hanya mengizinkan aparat menangkap orang untuk waktu paling lama 1 x 24 jam.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Supriyadi Widodo Eddyono, di masa penangkapan tujuh hari, polisi biasanya tak memberi tahu keluarga orang yang mereka tangkap. Selama masa penangkapan, terduga teroris juga tak didampingi pengacara. "Kami menyebutnya pasal Guantanamo," kata Supriyadi. Ia merujuk pada penjara militer Amerika Serikat di Teluk Guantanamo, Kuba. Selain karena pengamanannya yang superketat, penjara itu terkenal karena reputasi buruk dalam menggunakan berbagai metode penyiksaan ketika petugasnya menginterogasi tahanan terorisme.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar juga menganggap perpanjangan masa penangkapan menyalahi "konsep penangkapan". Menurut dia, masa penangkapan itu hanya "transisi" yang seharusnya berlangsung singkat. Di masa penangkapan, polisi harus secepatnya mencari bukti apakah seseorang melakukan atau merencanakan tindak pidana. Jika ada bukti, segera ditingkatkan ke penyidikan. "Kalau tidak ada, ya, harus dibebaskan," ucap Haris.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga memperingatkan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan selama periode penangkapan yang diperpanjang. Komisioner Komnas HAM Manager Nasution mengatakan, dengan masa penangkapan tujuh hari saja, jumlah orang yang tewas di tangan Detasemen Khusus 88 Antiteror tak kurang dari 100 orang. Padahal mereka belum tentu bersalah. "Apalagi kalau sampai 30 hari," ujar Manager Nasution, Kamis pekan lalu.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Brigadir Jenderal Agus Riyanto menepis kecurigaan para aktivis. Menurut dia, masa penangkapan tujuh hari sering tidak cukup untuk menentukan terduga terorisme bisa diproses hukum atau dilepaskan. Apalagi penangkapan tak selalu berlangsung di tengah kota dengan akses yang serba gampang. Agus mencontohkan penangkapan di tengah hutan Poso, Sulawesi Tengah. "Perjalanan ke pusat kota memakan waktu tiga hari. Artinya kami hanya punya sisa waktu empat hari." Menurut Agus, polisi pun tak mau terduga teroris mati selama masa penangkapan. "Itu merugikan kami karena informasi jaringannya tak bisa diungkap," katanya.

Perpanjangan masa penangkapan dan penahanan, menurut Muhammad Syafi'i, termasuk yang mendapat catatan dari Panitia Khusus DPR. Apalagi pemerintah mengajukan revisi di tengah iklim yang kurang berpihak. Ide revisi ini memang muncul sejak peristiwa bom Thamrin. Namun pembahasannya dimulai tak lama setelah kematian Siyono di tangan Densus 88. "Kasus Siyono mengingatkan orang akan terduga teroris yang sebelumnya mati ditembak," ujar Syafi'i.

Anggota Densus 88 menangkap Siyono pada 9 Maret lalu. Polisi menuduh dia sebagai kepala gudang senjata jaringan teroris Jamaah Islamiyah. Empat hari kemudian, Siyono "pulang" ke keluarga di Klaten, Jawa Tengah, tanpa nyawa. Menurut polisi, Siyono mencoba kabur dalam perjalanan menuju penyimpanan senjata di sekitar Candi Prambanan. Kala itu kepala Siyono terbentur benda tumpul ketika berkelahi dengan aparat pengawal. Namun hasil autopsi menunjukkan hal berbeda. Kematian Siyono diduga akibat patahan tulang iga yang menusuk saraf jantung. Memang di kepala Siyono ada luka lebam, tapi otaknya masih putih tanpa bekas perdarahan. Di tangan Siyono tak ada pula bekas luka yang menunjukkan ia pernah melawan aparat.

Di samping perpanjangan masa penangkapan, menurut Syafi'i, catatan anggota Panitia Khusus DPR berkaitan dengan kriminalisasi atas ucapan yang dianggap polisi mempromosikan terorisme, tak adanya jaminan hak asasi bagi terduga teroris, dan tak adanya kompensasi untuk korban salah tangkap.

Sejumlah anggota Panitia Khusus juga mempersoalkan "stempel" teroris yang hanya dipakai untuk pelaku kekerasan dari kalangan Islam. Keberatan soal stigmatisasi itu, menurut Syafi'i, antara lain disampaikan anggota Panitia Khusus dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Gerindra. Mereka mempertanyakan mengapa kekerasan oleh kelompok bersenjata di Papua, yang menewaskan aparat dan warga sipil, tak digolongkan sebagai aksi terorisme. "Kami ingin definisi standar karena di RUU itu tak memadai," ucap Syafi'i.

Pemerintah tak menampik adanya potensi penyalahgunaan wewenang selama masa penangkapan yang diperpanjang. "Itu yang akan kami coba sempurnakan dalam undang-undang ini," kata Dhahana Putra. Menurut dia, pemerintah pun terbuka dengan berbagai masukan dan keberatan DPR. "Rancangan ini sangat fleksibel untuk dibahas. Kami siap memberi argumentasi dan mencari titik temu," ujar Dhahana.

Abdul Manan, Linda Trianita


Setumpuk Pasal Kontroversial

PEMERINTAH dan Dewan Perwakilan Rakyat sedang menggodok perubahan rancangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ada 17 pasal yang dibongkar-pasang. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyoroti beberapa poin revisi yang mereka anggap berpotensi melanggar hak asasi. Inilah pasal-pasal kontroversial tersebut.

Kategorisasi terorisme baru

Pasal 10A
Larangan memperdagangkan bahan peledak, senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir, dan zat radioaktif untuk tindak pidana. Ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Kontak dengan organisasi teroris

Pasal 12A
Larangan mengadakan hubungan organisasi/korporasi di dalam dan luar negeri yang melakukan tindakan terorisme. Ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

Pelatihan militer

l Pasal 12B
Ayat 1: Larangan mengikuti, memberikan, atau menyelenggarakan pelatihan militer dan pelatihan paramiliter di dalam ataupun luar negeri. Ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Ayat 2: Larangan menyebarkan dokumen tertulis atau digital yang bisa dipakai pelatihan militer/paramiliter. Ancaman hukuman 12 tahun penjara.

Ujaran kebencian

Pasal 13A
Larangan menyebarkan ucapan, tulisan, sikap, perilaku, atau tampilan yang dapat mendorong tindak kekerasan, anarkisme, atau terorisme. Ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

Menggerakkan terorisme

Pasal 14
Larangan menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana terorisme. Ancaman hukumannya penjara 20 tahun, penjara seumur hidup, atau hukuman mati.

Masa penahanan dan penangkapan

Pasal 25
Total penahanan dalam dari penyidikan sampai perpanjangan penahanan hakim 300 hari.

Pasal 28
Penyidik dapat menangkap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme paling lama 30 hari.

Perbandingan:
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme: masa penangkapan maksimal 7 x 24 jam.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana: masa penangkapan maksimal 1 x 24 jam.

Penyadapan
Pasal 31
Penyidik hanya wajib lapor kepada atasan dan kementerian bidang komunikasi dan informatika untuk melakukan penyadapan terduga teroris.

Pengasingan

Pasal 43A
Penyidik dapat mencegah tindak pidana terorisme dengan membawa atau menempatkan orang yang diduga ke wilayah tertentu paling lama enam bulan.

Kasus Tangkap-Lepas

Dengan wewenang besar minus pengawasan ketat, Detasemen Khusus 88 Antiteror beberapa kali menangkap orang yang belakangan dilepas lagi karena tidak terkait dengan terorisme.

Desember 2015
Ayom Penggalih dan Nur Syawaludin, warga Laweyan, Solo, Jawa Tengah, ditangkap Densus 88 ketika hendak berangkat salat zuhur di masjid. Keduanya dimasukkan ke sel di kantor Kepolisian Sektor Laweyan untuk diinterogasi. Mereka selalu diborgol meski dalam jeruji. Dua jam setelah penangkapan, mereka dilepas.

Mei 2014
Kadir, warga Jebres, Solo, ditangkap tim Densus 88 saat hendak berangkat salat Jumat. Pria 37 tahun itu disekap, pahanya dicubit dengan tang, dan punggungnya dicambuk hingga memar. Dia dipaksa mengaku terlibat dalam pengeboman di Poso, Sulawesi Tengah. Empat jam kemudian, Kadir dilepaskan.

Juli 2013
Sapari dan Mugi Hartanto, pengurus Muhammadiyah Cabang Pagerwojo, Tulungagung, Jawa Timur, ditangkap Densus 88 di depan sebuah warung. Tak lama kemudian, mereka dilepas dengan luka memar bekas borgol di pergelangan tangan.

Desember 2012
Sebanyak 14 penduduk ditangkap Densus 88 setelah terjadi penembakan rombongan patroli anggota Brigade Mobil di Desa Kalora, Poso, Sulawesi Tengah. Setelah disekap selama tujuh hari, mereka dibebaskan karena kurang bukti.

Linda Trianita, PDAT

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus