Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendadak, pasar keuangan di seluruh dunia tersentak, Kamis pekan lalu. Spekulasi tentang kenaikan suku bunga The Federal Reserve datang lagi menakuti pasar. Info bermula dari pengumuman risalah rapat The Fed yang memang merupakan keharusan demi keterbukaan. Dalam rapat pada April lalu, para petinggi The Fed rupanya mendiskusikan kemungkinan naiknya bunga pada Juni mendatang jika ekonomi Amerika Serikat terus membaik.
Spekulasi membuat harga dolar melejit, sementara harga emas terbanting. Harga saham di berbagai negara bergejolak. Gampang ditebak, rupiah terkapar karenanya. Harga jual dolar Amerika di Bank Indonesia melambung menjadi Rp 13.534-ini harga termahal sejak 19 Februari 2016.
Inilah simtom yang kuat, betapa ekonomi Indonesia masih jauh dari walafiat. Meningkatnya nilai rupiah sejak akhir Februari terbukti tak berdasar kuat. Itu semata karena meredanya risiko kenaikan bunga The Fed. Maka, begitu spekulasi kenaikan bunga kembali merebak, rupiah pun tertohok lagi.
Selama ini para pejabat negara kerap mengutip indikator ekonomi yang dapat menjadi pembenar adanya perbaikan dan oleh karenanya valid menjadi alasan penguatan rupiah. Misalnya, defisit transaksi berjalan yang turun dari 2,4 persen terhadap produk domestik bruto (kuartal IV 2015) menjadi 2,1 persen (kuartal I 2016).
Kenyataannya, defisit mengecil lebih karena impor Indonesia turun jauh lebih cepat, sama sekali bukan karena ada kenaikan ekspor. Tren penurunan ekspor bahkan sudah bergulir 19 bulan tanpa henti. Ekspor Indonesia dalam setahun terakhir (Mei 2015-April 2016) sudah merosot 12,65 persen dibanding kurun yang sama setahun sebelumnya.
Sumber pergerakan ekonomi yang lain, pengeluaran pemerintah, setali tiga uang. Belanja negara pada kuartal I 2016 baru Rp 390,9 triliun atau 18,7 persen dari anggaran Rp 2.095,7 triliun. Pencapaian ini tak jauh berbeda dengan kuartal I 2015 yang Rp 367,6 triliun atau 18,5 persen dari bujet Rp 1.984,1 triliun.
Tak salah jika para analis berharap agar pada kuartal II dan seterusnya pengeluaran pemerintah dapat mengalir lebih kencang. Sayangnya, sulit mewujudkan harapan ini karena penerimaan pajak tahun ini justru akan sangat jauh di bawah sasaran karena ekonomi yang makin lesu. Bagaimana pemerintah mau memperbesar belanja jika uangnya tidak ada. Pemerintah sudah buka kartu: andalan untuk menambah penghasilan tinggal program pengampunan pajak. Tapi banyak ekonom dan analis yakin, cuma keajaiban yang dapat mengubah angan-angan itu menjadi kenyataan.
Bagaimana dengan investasi? Sayangnya, di sini justru ada banyak persoalan. Contohnya di sektor kelistrikan. Di tengah gembar-gembor promosi pembangunan infrastruktur, pengelolaan kebijakan di bidang kelistrikan justru membuat investor kian bingung dan putus asa. Makin banyak cerita muncul tentang pembatalan proyek yang sudah diteken, permintaan renegosiasi sepihak, inkonsistensi kebijakan, hingga keputusan tender yang tak transparan.
Walhasil, sudah benar reaksi pasar pada Kamis pekan lalu. Spekulasi bunga The Fed itulah yang sepenuhnya mereka pertimbangkan sebagai penentu merah-birunya nasib rupiah. Untuk sementara, lupakan saja bahwa rupiah dapat membaik karena faktor fundamental di dalam negeri yang sepertinya sudah terpental. l
Yopie Hidayat (kontributor Tempo)
KURS
Rp per US$
Pekan sebelumnya 13.299
13.467
Penutupan 19 Mei 2016
IHSG
Pekan sebelumnya 4.803
4.704
Penutupan 19 Mei 2016
INFLASI
Bulan sebelumnya 4,45%
3,6%
April 2016 YoY
BI RATE
Sebelumnya 6,75%
6,75%
19 Mei 2016
CADANGAN DEVISA
31 Maret 2016 US$ 107,543 miliar
US$ miliar 107,711
29 April 2016
Pertumbuhan PDB
2015 4,73%
5,3%
Target 2016
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo