Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Onky menjawab

Wawancara tempo dengan onky alexander tentang ka- sus onky yang dituduh melakukan penipuan terhadap ni made tiani dan achmad. serta tuduhan keterlibatan ayahnya, anton hatmoko poernomo sapardan.

20 Februari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALEXANDER Herianto Sapardan, atau lebih dikenal Onky Alexander, agak kurus. Pemuda berusia 27 tahun ini, sejak awal Desember silam, menurut polisi, menjadi buron. Bintang film yang bertarif sekitar Rp 50 juta sekali main itu dituduh melakukan penipuan serta tidak menyediakan uang Rp 20 juta untuk melunasi utangnya. Akibatnya, Anton, orang tuanya, sejak Januari lalu masuk sel di Polres Jakarta Barat, menggantikan Onky. Lalu bapak dan anak ini dituduh berkompromi melakukan penipuan. Selama bersembunyi, Onky, yang pernah belajar bisnis di Boston, Amerika Serikat, dan namanya melesat melalui film Catatan Si Boy, mengaku sport jantung. Tapi, dalam wawancara Kamis malam pekan lalu dengan Gatot Triyanto dan Taufik Alwie dari TEMPO bersama Forum Keadilan Onky, yang mengaku sebulan menghabiskan Rp 5 juta, rileks saja. Aktor yang telah berperan dalam 13 film ini memakai kaus lengan panjang hijau lumut, jins belel, dan sepatu kets warna putih. Berikut petikan wawancaranya: Ke mana saja Anda selama menghilang? Anda menyamar dan sempat ke LAustralia? Saya di Indonesia. Hari-hari saya habiskan menonton TV dari pagi hingga acara habis. Juga mendengarkan musik dari laser disk. Saya tidak menyamar, hanya menghindar dari tempat umum. Terpikirkah bahwa dengan kaburnya LAnda akhirnya orang tua Anda sebagai penjamin terpaksa masuk sel? Saya nggak tahu urusannya jadi begini. Sebenarnya, bagaimana kasus Anda? Ketika itu saya butuh duit, karena ada beberapa hal yang perlu segera saya bayar sehubungan dengan rencana pembangunan studio. Lalu saya meminjam uang Rp 200 juta kepada Ni Made Tiani dengan jaminan tanah saya di Tambora, Jakarta Barat. Luas tanah itu 1.380 m. Saya dibebani bunga 4% per bulan, dengan uang muka 12,5%. Bunga dua bulan pertama dipotong langsung. Perjanjian itu tiga bulan, dan bisa diperpanjang sebulan lagi. Tapi sampai jatuh tempo saya belum bisa mengembalikan. Sesuai dengan perjanjian, tanah itu menjadi hak Ni Made. Tapi dia keberatan dan menginginkan uang tunai. Lalu saya mencari pembeli, dan bertemu dengan Achmad, yang bersedia membeli tanah tadi. Achmad memberi saya uang tunai Rp 20 juta serta dua lembar cek, masing-masing Rp 120 juta dan Rp 150 juta. Dalam perjanjian, Achmad bersedia membayar uang muka Rp 300 juta. Sisa Rp 10 juta lagi, katanya, segera dibayar tunai. Karena sibuk syuting untuk film Pelangi di Nusa Laut, ke Tanjungpinang dan Surabaya, saya tidak mengikuti perkembangan. Yang saya tahu, Ni Made terus menagih. Ternyata yang diberikan Achmad itu cek kosong. Saya mencari Achmad, tapi tidak pernah ketemu. Syuting selesai akhir September. Pada 5 Oktober saya mengadukan Achmad ke polisi, karena dia memberi cek kosong. Sedangkan Ni Made mengadukan saya ke Polres Jakarta Barat dengan tuduhan penipuan. Saya diperiksa, dan ditahan tanggal 11-13 Oktober. Saya kemudian mengajukan permintaan tahanan luar. Pada 12 Desember, saya dipanggil oleh Kasat Serse atas pengaduan Achmad. Saya dibilang penipu lagi, karena menjual tanah yang tidak ada. Achmad memblokir ceknya, katanya, karena tanah yang saya jual itu telah terpotong got dan jalan sehingga tidak sesuai dengan perjanjian. Apakah betul begitu? Saya nggak tahu. Setahu saya, tanah itu ada dan utuh. Malah pajak bumi dan bangunan (PBB) dibayar masih senilai pajak untuk luas 1.380 m. Cek itu sendiri jatuh tempo tanggal 12 dan 15 Mei, dan ternyata tidak bisa diuangkan. Dan, janggalnya, kenapa baru pada bulan November Achmad memberi alasan ia memblokir cek itu lantaran menurut dia tanah tadi telah terpotong jalan? Malah selama Mei hingga November dia menghilang. Urusan Anda dengan polisi? Saya diminta menandatangani perjanjian agar mengembalikan uang Achmad Rp 20 juta. Akibat pengaduan tersebut, saya wajib lapor Senin-Kamis di Polres Jakarta Barat. Kalau tidak salah, pada hari yang ketiga saya ditanya petugas apakah sudah bisa mengembalikan Rp 20 juta. Kalau tidak bisa, saya akan dimasukkan sel. Saat itu saya tidak datang lagi ke kantor polisi. Kenapa? Lha, daripada saya datang dan harus masuk sel, artinya saya tidak bisa mencari uang untuk membayar utang Rp 20 juta itu, lebih baik saya di luar sambil mencari duit. Karena uang itu belum terkumpul, ya, saya belum balik sampai sekarang. Ke mana dan berapa lama Anda mencoba mencari uang Rp 20 juta itu? Yah, cari dari kiri-kananlah. Tapi usaha ini menemui kesulitan, karena pemberitaan di media massa tentang saya membuat orang tidak percaya lagi. Orang tua Anda agaknya mampu, masa tidak sanggup menyediakan uang sejumlah itu? Perusahaan kami kesulitan uang. Rumah milik orang tua sudah menjadi agunan. Jadi, kami tidak punya uang lagi. Apakah orang tua Anda terlibat dalam utang piutang tersebut? Tidak. Tapi orang tua saya mengetahuinya. Sebab, Achmad dan Ni Made minta agar mereka ikut mengetahuinya. Setelah kasus yang menimpa Anda ini, kabarnya pacar Anda pun minta putus. Ah, nggak. Malah kami tambah akrab (mesem-mesem).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus