TAK sulit bagi masyarakat awam untuk menilai bank mana yang sehat dan yang sakit. Mereka tinggal nguping, bank mana yang kalah kliring. Kalau mereka lalu menarik dananya dengan mendadak, mereka tak bisa disalahkan. Sebab, dengan sistem yang berlaku sekarang ini, tak ada satu orang pun yang tahu persis kecuali Bank Indonesia apakah satu bank itu sehat atau sakit. Para pengamat dan analis boleh mencoba menghitung rasio dari laporan keuangan bank, untuk memperoleh kesimpulan. Tapi analisanya tak akan pernah tepat. Beberapa variabel yang digunakan untuk perhitungan rasio oleh Bank Indonesia (BI) sifatnya tertutup. Ambillah perhitungan ''aktiva tertimbang menurut risiko''. Orang luar bisa mencari nilai aktiva, tapi apa itu aktiva ''menurut risiko'', hanya BI yang tahu. Selama kesehatan bank hanya BI yang tahu, masyarakat akan terus meraba dengan data dan pengetahuan yang terbatas. Dan kalau kesimpulan mereka salah, harap dimaklumi. Persepsi nasabah seperti ini bisa menjadi sasaran empuk mulut usil. Mencari asal-usul mulut usil ini akan sia-sia. Jawabannya, sekali lagi, terletak pada adanya sistem yang lebih terbuka dari BI, dan masyarakat bisa tahu, mana bank yang sakit dan sehat. Dalam perkembangannya selama ini, ada dua macam krisis yang pernah mengancam perbankan di Indonesia. Krisis likuiditas dan krisis operasional. Krisis operasional bisa timbul karena satu kegiatan tertentu ternyata tidak menghasilkan seperti yang diharapkan, tapi justru merugikan. Ini terjadi ketika Bank Duta menderita kerugian dalam transaksi valuta asing. Ancaman yang lebih serius adalah krisis likuiditas yang bisa timbul dari terjadinya mismatch, yakni sewaktu dana jangka pendek digunakan untuk kredit jangka panjang. Besar kemungkinan bahwa dengan adanya ''salah sambung'' ini, bank tidak bisa memenuhi kewajiban jangka pendeknya, bila jatuh tempo. Bila ini terjadi, bank harus mencari pinjaman dari pasar antarbank dengan bunga yang tinggi, atau pemilik memberi injeksi dana segar. Krisis likuiditas pernah melanda beberapa bank-bank swasta nasional di Jakarta, seperti Bank Pertiwi, Bank Perkembangan Asia, Bank Artha Pusara, dan Bank Umum Majapahit Jaya, dan terakhir Bank Summa. Karena krisis likuiditas efeknya bisa brutal, bank harus diberi rambu pengaman agar tidak nyelonong. Kalau Pemerintah mengklaim bahwa kondisi bank sekarang ini sehat, klaim ini memang ada dasarnya. Rambu pengaman yang sudah dipasang BI telah menyebabkan bank-bank bergerak dengan superhati-hati. Bank lebih mementingkan usaha konsolidasi daripada usaha meningkatkan kredit. Usaha mereka memang sudah tampak. Dari 217 bank komersial yang ada, hanya 18 bank yang belum mencapai rasio kecukupan modal (CAR, capital adequacy ratio) 7%, satu syarat yang harus mereka penuhi pada akhir Maret 1993. Bank yang rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) di atas 110% tinggal 38%. Artinya, sebagian besar bank dalam pemberian kredit masih memperhatikan kekuatan deposito yang dikumpulkan dari nasabah. Ini perlu untuk mengamankan bank sendiri dari ancaman krisis likuiditas. Tapi gambaran perbankan yang sudah sehat ini belum terkomunikasi dengan baik ke nasabah. Dan ironisnya, bank yang mengalami penarikan dana besar-besaran dari nasabah justru bank yang berdasarkan angka-angka yang kita ketahui tergolong cukup kuat. BCA, misalnya, yang asetnya sudah di atas Rp 14 triliun, menyimpan dana nasabah sebesar Rp 11 triliun. Tapi yang disalurkan sebagai kredit hanya Rp 9,5 triliun. Masyarakat memang tidak tahu, dengan LDR 85% ini, BCA tetap berdiri kukuh. Begitu pula dengan Bank Bali. Dengan CAR 10,4%, Bank Bali merupakan salah satu bank swasta yang struktur modalnya cukup kuat. Sahamnya di Bursa Efek Jakarta merupakan favorit investor (blue chips). Musibah Bank Summa memang mempengaruhi bank swasta, tapi pengaruhnya tidak merata. Dana masyarakat yang mengalir ke bank swasta devisa masih terus meningkat. Setelah mengalami penurunan pada kuartal pertama 1992, dana masyarakat yang masuk ke bank swasta devisa di Jakarta naik Rp 2 triliun pada kuartal kedua, naik Rp 1,6 triliun pada kuartal ketiga, dan meloncat dengan Rp 6,8 triliun pada kuartal terakhir tahun lalu. Sebaliknya dana masyarakat yang mengalir ke bank swasta bukan bank devisa di Jakarta makin menyusut. Setelah naik Rp 0,6 triliun pada kuartal kedua, dana yang masuk naik Rp 0,3 triliun pada kuartal ketiga, dan pada kuartal empat turun Rp 0,4 triliun. Dengan kata lain, dampak krisis Bank Summa yang berlarut-larut sepanjang 1992 cukup terasa bagi bank swasta bukan devisa. Penurunan dana masyarakat yang masuk menunjukkan adanya erosi kepercayaan terhadap bank swasta nasional bukan devisa, yakni bank kecil. Karena kecil tidak berarti lemah, persepsi masyarakat yang kurang benar ini perlu diluruskan. Apalagi Pemerintah harus merahasiakan kondisi kesehatan bank, tapi di lain pihak nasabah harus merasa tenang. Maka sudah saatnya sekarang Pemerintah memikirkan secara lebih serius, diperkenalkannya sistem asuransi deposito, semacam FDIC yang dilakukan di AS. Adanya asuransi deposito yang menjamin uang nasabah akan memberi rasa tenang, dan akan mencegah mereka melakukan rush terhadap bank. Mereka tak usah cemas memikirkan apakah banknya masih sehat atau sakit, karena hal ini merupakan urusan BI dan para analis di bursa efek. Sebagai nasabah, mereka tak perlu ikut dek-dekan, bila mengetahui bahwa banknya mulai batuk-batuk. Dan tak perlu terjadi, karena satu bank bersin, bank yang lain kena flu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini