Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berjarak lima kilometer dari ger-bang Desa Air Batu, Betung-, Pa-lembang, Sumatera -Sela-tan-, lahan- perkebunan yang berse-bela-han- dengan kuburan Cina itu di-kepung belukar. Terasa sunyi, dalam ra-dius satu kilometer hanya ada delapan ke-pala keluarga. Semuanya penjaga ke-bun-.
Menuju lahan 18 hektare itu, dari kota Palembang menghabiskan 1,5 jam de-ngan sepeda motor berkecepatan 50 kilo-meter per jam. Saat Tempo mengunjungi- lokasi, akhir bulan lalu, lahan yang telah digarap traktor itu mulai ditumbuhi rumput.
Di tengah lahan ada bangunan ber-tingkat bercat merah dan kuning.
Di sinilah Cang Se Pao, 60 tahun, mengomandoi penggarapan kebun. Namun, pria yang juga memiliki nama lain Fauzi Thamrin ini mengatakan hanya membantu menggarap kebun temannya, Herman Chu, 56 tahun, yang bermukim di Hong Kong.
Menurut Cang Se Pao, penggarapan kebun dimulai akhir April lalu. Dia ha-nya tahu Herman Chu yang juga ber-nama- Wong itu berencana menanam ubi kayu. ”Wong memesan bibit ubi kayu khu-sus dari Cina,” katanya. Dia juga dibekali uang Rp 20 juta untuk mencari dua ahli pertanian.
Cang Se Pao baru terkejut setelah sepekan beraktivitas di kebun. Dia tak me-nyangka, sejumlah polisi mengepung- kebun itu awal Mei lalu. ”Mereka me-meriksa lahan dan bangunan,” kata Sukijo, seorang penjaga kebun.
Polisi menduga tempat ini cikal-bakal pabrik ekstasi dan sabu-sabu. Karena itu, dua kontainer ubi kayu impor dari Cina juga digeledah. ”Jika ada narkoba- di dalamnya entah bagaimana nasib saya,” kata Cang. Untunglah, polisi tak menemukan narkoba di kebun ini.
Polisi tak hanya menyisir kebun ubi. Mereka juga menyergap Wong yang me-nginap di Hotel Limas, Jalan Letkol -Iskandar, Palembang, awal Mei itu. Yang menangkap Wong adalah aparat dari Kepolisian Daerah Metro Jaya yang dipimpin Kepala Satuan Psikotropika, Ajun Komisaris Besar Hendra Joni. Tentu mereka bekerja sama dengan kepolisian setempat.
Sepak terjang Wong memang terekam dalam data Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya. Nama Wong mulai muncul- di dunia narkoba Indonesia sejak 2001. In-ca-ran makin terang setelah polisi mem-bongkar jaringan pengedar narko-ba- yang dikendalikan Haryano Agus Cah-yono dan Ricky Candra. Keduanya- di-tangkap di kompleks Green Garden, Ja-karta Barat, 11 Mei 2005. Polisi menyi-ta- 54 kilogram sabu-sabu dan 77 ribu pil eks-tasi. ”Kami memesannya dari Wong di Cina,” kata Haryono kepada penyi-dik-.
Sejak itu, Direktur Narkoba Polda Me-tro Jaya, Komisaris Besar Carlo B. Tewu, mulai menyelidiki sosok Wong. Sejalan dengan penelusuran jejak Wong, pemberantasan narkoba terus berjalan. Polisi menangkap pengedar ekstasi, seorang -wa-nita bernama A Ling, di Tower B Apartemen Mediterania, Kelapa Gading, Jakarta Utara, 10 September 2005.
A Ling menunjuk Wong sebagai sumber- 1,2 kilogram sabu-sabu yang disita darinya. ”Saya tujuh kali memesan- sabu-sabu dari Wong,” katanya. Bahkan A Ling bertransaksi langsung dengan Wong di Hong Kong.
Ajaib, Pengadilan Negeri Jakarta Uta-ra cuma menghukum A Ling tiga bulan penjara. Dia bebas pada 3 Januari lalu. Polisi menangkapnya lagi di Apartemen- Artha Gading, Jakarta Utara, 27 Januari lalu. Lagi-lagi, A Ling menunjuk Wong sebagai sumber 57 ribu butir ekstasi yang disita darinya.
Nama Wong muncul lagi dari mulut Sulaiman Ongki yang ditangkap polisi di Hotel Four Season, Kuningan, Jakarta Selatan, 3 Desember 2005. Barang bukti 1,5 kilogram sabu-sabu yang di-sita polisi dikatakan kiriman Wong dari negeri Cina.
Sulaiman bukan orang baru di dunia- narkoba. Dia pernah ditangkap- bersama- Indaryanto di salah satu tempat- di Jakar-ta pada Februari 2005. Namun, ke-dua-nya bebas berkeliaran. Bahkan Indar-yanto yang biasa disapa Wawan ini diperkirakan telah kabur ke Hong Kong. ”Kini dia berstatus fugitive da-lam- In-terna-tional Drugs Enforcement Conferen-ce ,” kata Komisaris Besar Carlo- -B. Te-wu.
Dari jejak itulah Carlo yakin sosok Wong bukan hanya rekaan tersangka semata. Itulah sebabnya, Carlo membentuk satu tim yang dinamai Golf untuk- memburu Wong, Januari lalu. Golf ini maksudnya adalah ”G” yang diambil dari nama salah satu peranti lunak yang sering digunakan untuk mengungkap perkara narkoba. Carlo menunjuk Kepala Satuan Psikotropika Polda Metro- Jaya, Ajun Komisaris Besar Hendra Joni, untuk memimpin tim ini.
Dua anggota tim Golf diterbangkan- ke Hong Kong. Hasilnya, mereka memperoleh keterangan lengkap sosok Wong. Dia a-da-lah seorang pria kelahira-n Palembang.
Wong diketahui menjalin hubungan dengan Benny Sudrajat pada 1996. Benny tersangka pemilik pabrik ekstasi di Cikande, Banten. Dia ditangkap pada 11 November 2005. Sejak itu, menurut data kepolisian, Wong menjalin kontak de-ngan beberapa jaringan narkoba di Jawa, Bali, dan Sumatra.
Tim Golf juga mengantongi fotokopi dua paspor atas nama Kwan Fuk Sing yang dikeluarkan di Cina, satu lagi atas nama Herman Chu yang dikeluarkan di Indonesia. ”Dua paspor itu satu orang pemiliknya,” kata Carlo. Dari paspor ini pula diketahui Wong sudah berada di Palembang sejak tujuh bulan lalu.
Lalu tim Golf menyebar di Jakarta, Medan, dan Palembang. Hendra Joni menginap di Hotel Limas, tepat di depan kamar yang ditempati Wong, April lalu. Sepekan menginap, Hendra ber-sama -beberapa anak buahnya menangkap Wong pada awal Mei.
Wong berlagak bingung saat ditangkap. ”Ada apa ini?” katanya. Namun, dia tak melawan. Hari itu juga dia diterbangkan ke Jakarta. Menurut penyidik, Wong tak berkutik setelah dihadapkan dengan A Ling dan beberapa tersangka lain yang sudah ditangkap sebelumnya. ”Ternyata kamu bisa bahasa Indonesia,” kata A Ling saat bercakap dengan Wong di tahanan Polda Metro Jaya.
Setelah ditangkap, Wong menunjuk sejumlah kaki tangannya yang bergerak di Jakarta. Selama Mei, polisi menangkap lima anak buah Wong. Seorang lagi diduga kabur ke Cina. Tersangka yang telah dibekuk kini ditahan dalam ta-hanan Narkoba Polda Metro Jaya.
Dari mereka polisi menyita 3,2 -kilogram sabu-sabu dan 132 ribu butir- pil eks-tasi. Polisi menduga dalam satu bu-lan- jaringan ini mengedarkan 100 ki-logram sabu-sabu dan 500 ribu butir- ekstasi-. Omzetnya diperkirakan mencapai- Rp 215 miliar.
Akhir Mei lalu, Wong menerima war-tawan Tempo yang mengunjunginya- di tahanan Polda Metro Jaya. Pria berkaca-mata yang rambutnya telah penuh uban ini mengumbar senyum. Dia ha-nya melayani pertanyaan yang tak menyinggung- kasusnya. Wong mengaku besar di Palembang.
Dia lahir di Luring Himalaya, 16 Ilir, Palembang. Orang tuanya adalah pedagang sembako. Ekonomi keluarga Wong memburuk pada 1965. Wong hanya mampu mengecap pendidikan setingkat SMP di Palembang. ”Tahun 1965, semua sekolah orang Tionghoa ditutup, nggak ada sekolah buat kami,” katanya.
Setelah orang tuanya meninggal, Wong merantau ke Hong Kong. Waktu itu sedang pecah peristiwa G-30-S. Usianya baru 15 tahun. Di Hong Kong, Wong juga tak melanjutkan sekolah-nya. Dia mengaku hanya mendalami ke-giatan bisnis.
Wong mulai berhati-hati ketika disinggung pertemuannya dengan A Ling di Hong Kong. Dia terlihat kaget dan berhenti bercakap sejenak. Kemudian dia mengakui bertemu dengan A Ling. Dia waktu itu menggunakan bahasa Mandarin karena waspada. ”Kan saya baru kenal dengannya, jadi perlu hati-hati,” katanya. Wong hanya tertawa saat ditanya riwayat bisnis narkobanya. Dia membantah membangun pabrik sabu-sabu di Palembang.
Di Palembang, Wong mempunyai teman akrab, Cang Se Pao, yang dikenalnya sejak kecil. Cang Se Pao bertemu lagi dengan Wong pada awal 2005. Setiap ke Palembang, Wong selalu menemuinya di sebuah kelenteng. Wong dikenal dermawan. Dialah yang memugar kelenteng hingga tak lagi kebanjiran di kala hujan datang.
Kepada Cang Se Pao, Wong berkisah tentang perjalanan hidupnya di Cina. Dia menggeluti beragam pekerjaan, mulai dari penagih utang, pemain saham, bisnis kapal, penyelundup, sampai jadi calo imigrasi. ”Dia pernah menangis saat menceritakan kisah hidupnya itu,” kata Cang. Tapi, Wong tak menceritakan soal bisnis narkoba.
Nurlis E. Meuko, dan Yuliawati (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo