Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Operasi Temporer Menggasak Kroco

Gebrakan memberantas preman berlangsung di Jakarta. Tapi yang tergaruk cuma pelaku kelas teri. Pemerasan pun tetap mencekam di pelbagai pelosok.

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


SETELAH menjadi Gubernur Jakarta, kini Sutiyoso punya perhelatan besar, yakni operasi pemberantasan preman. Boleh jadi Sutiyoso baru kali ini merasa yakin bahwa jumlah preman di Jakarta kian membeludak. Pelbagai jenis kejahatan mereka pun semakin meresahkan masyarakat. Tak aneh bila kemudian Pemerintah Daerah Jakarta bersama dengan Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian perlu dana yang kabarnya sampai Rp 24 miliar untuk operasi gabungan itu.

Dengan operasi yang berlangsung sejak pekan lalu itu, warga Jakarta lantas bisa bernapas lega? Yang pasti, beberapa menit setelah Sutiyoso serta rombongannya mengawali operasi itu pada Senin pekan lalu dengan mengunjungi Pasar Tanahabang, tak ada yang berubah di kawasan sibuk itu. Sekelompok preman bergegas mendatangi seorang pedagang kolang-kaling yang sempat melaporkan soal pungutan di situ kepada Sutiyoso. "Lu ngomong apa sama Gubernur? Udah bosen dagang di sini atau mau mati?" kata sang preman mengancam pedagang itu.

Memang, Pasar Tanahabang tergolong salah satu surga di Jakarta bagi para "penguasa bayangan". Di sisi barat dan selatan kawasan itu, tokoh seperti Hercules pernah berjaya. Di kawasan Pasar Tanahabang, tak terhitung lagi perputaran uang yang mengalir ke kocek preman. Setiap hari ribuan kendaraan lewat. Truk-truk trailer pengangkut tekstil milik para pedagang dari Afrika pun memuat barang. Belum lagi lapak-lapak pedagang kaki lima, tukang buah, dan badan jalan yang menjadi lahan parkir.

Menurut salah seorang pedagang di luar bangunan pasar, Pudiono, sehari ia dipaksa membayar uang sedikitnya Rp 5.000 kepada preman. "Saya tak berani melawan. Nanti malah tak bisa dagang," tutur Pudiono. Kalau pedagang sekadar memprotes saja, bisa-bisa dagangan mereka dirusak, bahkan tak jarang mereka pun dianiaya preman. Pedagang di dalam pasar malah bisa kena Rp 15 ribu sehari—sebagian uang itu untuk pungutan resmi.

Tak aneh, ketika Sutiyoso bertanya kepada pedagang, tak ada yang berani menceritakan kisah pungutan. Mereka malah mengaku tak dipalak preman, tapi hanya sekadar membayar retribusi Rp 500 lewat Ikatan Keluarga Besar Tenabang (IKBT) pimpinan Yusuf Muhi. Bang Ucu, begitu panggilan Ketua IKBT, juga berang menanggapi tudingan bahwa IKBT tak berbeda dengan himpunan preman. "Enggak benar kami menaungi preman. Para sopir dan pedagang yang minta perlindungan agar kami menjaga keamanan," katanya. IKBT, ujarnya, tiap hari memungut retribusi Rp 500 dari pedagang dan sopir mikrolet. Sehari, menurut Ucu, IKBT cuma mendapat Rp 200 ribu.

Tapi itu kata Ucu. Seorang sopir mikrolet M-09 jurusan Kebayoran Lama-Tanahabang mengaku, selain membayar Rp 500 ke IKBT, juga diperas Rp 200 tiap melewati depan Bioskop Surya dan pengkolan Jalan Fachrudin. Sehari pungutan itu bisa mencapai Rp 10 ribu.

Buat sopir taksi, lebih seram pungutannya. Mereka bisa kena minimal Rp 1.000. Bahkan, sopir pun mesti membayar lagi Rp 1.000 untuk satu penumpang yang diperolehnya. Bayangkan bila sopir taksi mendapat tiga penumpang. Padahal, ongkos taksi yang dibayar penumpangnya cuma sampai argo seharga Rp 10 ribu. Itu sebabnya para sopir taksi hanya berani mengambil penumpang bila jauh dari pasar atau stasiun kereta api Tanahabang.

Pernah ada seorang perempuan, Leila, mau naik bajaj. Eh, preman datang meminta uang kepada sopir bajaj dan Leila. Segera Leila berkata, "Gua bilangin Bang Ucu, lu. Gua anak Kebonpala (daerah kediaman Ucu di Tanahabang)." Preman itu ngeloyor pergi.

Selain ada kutipan macam di atas, parkir di sekitar pasar juga harus membayar Rp 3.000, kendati aturannya cuma Rp 1.000. Petugas parkir berseragam resmi cuma berdalih bahwa ia harus menyisihkan uang untuk setoran ke "pengaman"-nya.

Belum lagi operasi para "Pak Ogah" di tiap putaran jalan. Mereka meminta uang Rp 500 kepada setiap sopir mobil. Hebatnya, kerumunan Pak Ogah sepertinya malah dijaga oleh belasan petugas berseragam pertahanan sipil. Dan para Pak Ogah pun tak jarang berulah seolah-olah sandalnya terlindas ban mobil, sehingga menuntut ganti rugi sampai Rp 15 ribu, atau mereka pura-pura tersenggol mobil, lantas minta biaya pengobatan Rp 50 ribu.

Tarif parkir membengkak juga terjadi di sepanjang Jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk, sampai kawasan Glodok, Jakarta Kota. Dengan alasan harus menyetor ke preman asal Maluku, petugas parkir berseragam biru minta dibayar Rp 2.000 sekali parkir.

Di Glodok, setoran ke preman juga berasal dari lapak-lapak penjual VCD dan alat-alat elektronik serta pedagang minuman ringan. "Kami dikutip Rp 10 ribu tiap hari," kata Bonar Siagian, penjual VCD bajakan.

Tak demikian halnya para pemilik toko serta tempat hiburan, mesin keping, dan judi. Mereka, menurut Haji Cholil, bekas preman asal Madura di pusat hiburan Manggabesar, dibekingi aparat keamanan, baik TNI maupun polisi. Itu terjadi setelah kerusuhan Mei 1998 menghantam kawasan tersebut.

Sementara itu, di Cawang, Jakarta Timur, tepatnya di depan Kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI), sekelompok preman berambut keriting berkulit gelap beraksi memalaki bus, metromini, mikrolet, dan angkutan kota. Seperti para sopir dan pedagang di Tanahabang, seorang kernet bus kota P2, Wawan, mengaku tak punya pilihan selain memberikan uang Rp 500 kepada para preman asal Ambon itu. "Daripada bus dirusak atau saya digebuki," ucapnya.

Di seberang UKI, lain pula kawanan premannya. Mereka dikenal sebagai kelompok Korea (Batak) yang memalaki kernet bus luar kota. "Beginilah kerja kami, daripada menodong," ujar Benny, yang mengawasi kerja rekan-rekannya. Katanya, kebanyakan aksi pemerasan dan pencopetan di situ bukan dilakukan oleh kelompoknya.

Berbeda dengan di Tanahabang dan Cawang, di Terminal Tanjungpriok, Jakarta Utara, sepertinya preman tak kelihatan lagi. "Sudah dua tahun Terminal dan Stasiun Tanjungpriok bersih dari preman," kata Bejo, seorang tukang ojek. Toh, itu bukan berarti tak ada pungutan. Seorang tentara tampak meminta uang dari para tukang ojek. Rupanya, tukang ojek mesti membayar Rp 1.000 sehari.

Tanjungpriok, Cawang, Glodok, dan Tanahabang sebenarnya cuma sebagian dari 73 titik yang dianggap rawan di Jakarta oleh kepolisian. Selain keempat wilayah tadi, titik rawan lain di antaranya Terminal Blok M, Terminal Pulogadung, Terminal Kampungrambutan, Pluit, dan Cengkareng.

Dengan berlangsungnya operasi pemberantasan preman sepekan ini, agaknya, kriminalitas yang menakutkan belum sirna. Kalaupun surut, boleh jadi itu lantaran preman-preman "beristirahat" sementara.

Namun, Gubernur Sutiyoso menyatakan tetap akan mengoperasi preman. Bagaimanapun, "Jakarta harus bersih dari premanisme," ujar Sutiyoso kepada Setiyardi dari TEMPO. Dukungan juga datang dari Kodam Jaya. Bahkan, Kepala Penerangan Kodam Jaya, Kolonel D.J. Nachrowi, menegaskan akan memproses secara hukum anggota Kodam Jaya yang ketahuan membekingi preman.

Sampai akhir pekan lalu, sudah 32 preman diciduk. Tapi kebanyakan preman itu setingkat tukang palak. Apakah preman kelas begini yang hendak disapu Sutiyoso?

Ahmad Taufik, Agus Hidayat, Agus S. Riyanto, Arif A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus