Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Morat-Marit Kasus Ginandjar

Ginandjar kembali mempraperadilankan Jaksa Agung. Sampai kapan kasus korupsi Pertamina ini bisa ke pengadilan?

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


SALAH satu kehebatan hukum di Indonesia ternyata justru karena amburadulnya. Tilik saja proses hukum kasus korupsi Pertamina yang melibatkan mantan Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita. Kasus itu tak kunjung maju-maju, dan malah bolak-balik berkutat di seputar masalah formal.

Sebagaimana ramai diberitakan, Ginandjar tersangkut kasus korupsi pada bantuan teknis pengeboran kembali empat sumur minyak di Jawa Barat dan Sumatra Selatan. Pada proyek technical assistance contract itu, negara dirugikan US$ 24,8 juta. Tersangka lainnya adalah I.B. Sudjana, Faisal Abda'oe, dan Praptono H. Upoyo.

Dalam proses pengusutan kasus tersebut, ternyata Jaksa Agung Marzuki Darusman tersandung oleh status Ginandjar, yang ketika kasus itu terjadi rupanya masih berpangkat marsekal madya di TNI Angkatan Udara. Karenanya, Ginandjar sebagai personel militer masih diistimewakan oleh sistem hukum. Ia hanya bisa diurus oleh instrumen peradilan militer, yakni atasan yang berhak menghukum (Panglima TNI). Bila panglima berhasrat meneruskan perkara Ginandjar, prosesnya dilanjutkan oleh tim koneksitas.

Berdasarkan hak privilese itulah Ginandjar, Wakil Ketua MPR dari Golkar itu, lantas mempraperadilankan Jaksa Agung. Sebab, kejaksaan sebagai perangkat peradilan umum (sipil) dianggap tak berwenang menyidik, apalagi menahan Ginandjar. Hasilnya, Hakim Rusman Dany Ahmad memenangkannya. Penahanan Ginandjar oleh Jaksa Agung dinyatakan tidak sah.

Ternyata, vonis praperadilan menimbulkan kontroversi. Itu gara-gara hakim tak secara tegas menyatakan bahwa Ginandjar harus dilepaskan dari tahanan. Tapi, menurut Kepala Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Soedarto, ada-tidaknya perintah "lepas demi hukum" tak perlu dipermasalahkan. Soalnya, Pasal 82 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah secara imperatif (keharusan) menentukan pembebasan tersangka begitu praperadilan menyatakan penahanannya tidak sah.

Jadi, kalau Ginandjar tetap ditahan, "Berarti Jaksa Agung telah menganiaya sekaligus menyandera Ginandjar," ujar pengacara Ginandjar, Muchyar Yara.

Tak cuma itu ambiguitas vonis praperadilan. Hakim juga hanya menyatakan bahwa penahanan Ginandjar sampai 9 April 2001 itu yang tidak sah. Kata Soedarto, itu karena pada 9 April 2001 tim koneksitas yang berwenang menahan Ginandjar sudah dibentuk oleh panglima. Tim koneksitas terdiri dari jaksa, oditur militer, dan polisi militer.

Yang jelas, kejaksaan tak kunjung melepaskan Ginandjar. Akibatnya, sampai berhari-hari hingga malam larut, para pengacara Ginandjar berunjuk rasa di depan sel kliennya. Belakangan, pada 17 April 2001, Jaksa Agung mengeluarkan keputusan penahanan baru terhadap Ginandjar. Lagi-lagi, janggalnya, keputusan penahanan itu berlaku surut sejak 9 April 2001.

Kontan, penahanan baru itu dipraperadilankan lagi oleh pengacara Ginandjar. "Masa, orang ditangkap dulu, setelah itu baru diterbitkan surat penahanannya," kata Muchyar. Lagi pula, yang berwenang menahan Ginandjar bukan Jaksa Agung, melainkan tim koneksitas. Sebelumnya, Muchyar juga melaporkan Jaksa Agung ke polisi karena tetap menahan Ginandjar.

Perkara praperadilan kedua itu akan ditangani Soedarto, yang dulu memvonis bebas terdakwa kasus Bank Bali, Joko Tjandra, pada Rabu pekan ini. Bisa diduga, hakim pun akan memenangkan Ginandjar dan kembali menyalahkan Jaksa Agung.

Kalau itu terjadi, ada baiknya Jaksa Agung—kalau sungguh-sungguh mau menuntaskan kasus Ginandjar—perlu melangkah mundur sebentar. Biarlah penyidikan kasus Ginandjar diurus oleh tim koneksitas, yang koordinasinya juga di bawah Jaksa Agung. Itu pun dengan catatan pihak militer—baik Panglima TNI maupun oditur militer dan polisi militer— bersedia memberkas kasus Ginandjar hingga ke meja hijau. Toh, setelah itu penuntutannya tetap ditangani kejaksaan, dan Ginandjar bisa diadili di peradilan umum.

Memang, proses itu jadinya dari awal lagi. Tapi apa boleh buat, daripada penanganan kasus itu semakin morat-marit. Yang penting, pada akhirnya masyarakat bisa percaya bahwa pelbagai kasus korupsi semasa Orde Baru yang menyangkut kroni Soeharto benar-benar diadili.

Happy S., Andari Karina Anom, dan Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus