Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menuai Pailit Setelah Merger

Akibat utang Rp 134 miliar, Danamon dituntut pailit oleh sesama bank. Tapi Bank Indonesia mengulur-ulur tuntutan itu.

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


SEPERTI menginjak kerikil dalam sepatu, kecil tapi sangat mengganggu. Begitulah yang dialami Bank Danamon saat ini. Bank yang 99,7 persen sahamnya kini dimiliki pemerintah itu pekan lalu menghadapi "kerikil tajam" berupa petisi pailit (kebangkrutan) dari Bank Indonesian Finance and Investment Company (IFI). Ironisnya, ancaman bangkrut itu cuma gara-gara warisan utang US$ 12,2 juta yang beralih ke Danamon dari Bank Nusa Nasional (BNN), salah satu bank yang dimerger ke Danamon.

Tudingan mengemplang utang yang menimpa Danamon itu sebenarnya berasal dari cerita lama pada 1996. Saat itu, sebuah perusahaan pulp dan kertas di Riau, PT Riau Prima Energi, mengajukan kredit sindikasi ke BNN sebesar US$ 16 juta. Rencananya, PT Riau mau membangun infrastruktur pembangkit energi di pabriknya.

Meski tak memiliki cukup dana, BNN menyetujui proposal pinjaman tersebut. Pada 18 Desember 1996, BNN menggandeng Bank IFI dalam kerja sama "subpartisipasi". Artinya, IFI tidak termasuk dalam sindikasi bank yang memberikan kredit kepada PT Riau Prima Energi. Bank IFI hanya memberikan kucuran utang ke BNN sebesar US$ 5 juta dengan masa pinjaman dua tahun. Dana inilah yang kemudian diteruskan ke PT Riau. Sampai di sini, segalanya berjalan mulus.

Belakangan, ternyata terjadi pertikaian bisnis antara BNN dan IFI. Rupanya, itu lantaran nasib PT Riau kian sekarat begitu prahara krisis ekonomi menghantam pada akhir 1997. Kewajiban pembayaran cicilan utangnya kepada BNN tak terpenuhi—dan akhirnya macet. Akibatnya merembet, BNN tak sanggup melunasi kewajiban kepada Bank IFI, yang sudah jatuh tempo sejak 19 Desember 1998.

Urusan pun menular ke Bank Danamon. Sebab, pada 2 Juni 2000, BNN bersama tujuh bank take-over (BTO) lainnya dilebur ke Danamon oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Karena itu, semua hak dan kewajiban BNN berpindah ke Bank Danamon.

Karena urusan sudah beralih ke Danamon, IFI pun melayangkan beberapa kali somasi (peringatan). Toh, Danamon tak mengindahkannya. Padahal, akibat pembengkakan bunga dan denda, utang tersebut telah menjadi US$ 12,2 juta.

Merasa sudah patah arang, IFI pun menuntut pailit Danamon lewat Pengacara Hotman Paris Hutapea. "Seperti konglomerat lain, Danamon berniat mengemplang utangnya," ujar Hotman, yang sering memenangi perkara kepailitan, termasuk tuntutan pailit IFI terhadap pengusaha Fadel Muhammad.

Namun, jalan panjang mesti ditempuh lebih dulu oleh IFI. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kepailitan Tahun 1998, khusus untuk perkara pailit bank, permohonannya harus diajukan melalui Bank Indonesia. Nanti, pemegang otoritas perbankan itulah yang akan mengajukan tuntutan pailit ke pengadilan niaga.

Sementara itu, Danamon agaknya merasa gerah dengan ancaman pailit dari IFI. Itu bukan saja lantaran Danamon bisa "tutup buku", melainkan sebelumnya juga bisa terancam rush. Padahal, Danamon mengaku sanggup memenuhi kewajibannya selaku debitor. Tapi, kata pengacara Danamon, Amir Syamsuddin, kliennya hanya mau menerima angka utang pokok. Adapun soal angka denda keterlambatan dan pembayaran bunga, Danamon ingin menegosiasikannya kembali. "Total tagihannya sangat tak masuk akal," ucap Amir.

Jadi, buat Danamon, persoalannya lebih pada total utang yang amat membengkak dari pokok sekitar US$ 5 juta menjadi US$ 12,2 juta. Persoalan ini pula agaknya yang membuat Bank Indonesia ekstra-hati-hati untuk meneruskan proses pailit Danamon. Apalagi, kalau Danamon dipailitkan, jadi ironis. Bagaimana mungkin bank yang kini beraset Rp 60 triliun itu mesti gulung tikar cuma gara-gara utang sebesar US$ 12,2 juta?

Tak aneh bila pagi-pagi Bank Indonesia mengisyaratkan jalan tengah untuk menghindarkan pertama kalinya terjadi sebuah bank pailit akibat tuntutan sesama bank. "Bank Indonesia tak mengenal pailit bank. Jadi, kami akan menawarkan jalan damai," kata Yunus Husein, Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia. Kalau demikian, Danamon bisa selamat?

Setiyardi, Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus