Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membabat Kulit, Bukan Pokok

Preman diburu dan ditertibkan. Tanpa konsep yang sistemis, bisakah kekerasan lawan kekerasan mengatasi masalah?

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


GENDERANG perang terhadap preman sudah ditabuh Gubernur Jakarta Sutiyoso. Ia bertekad membersihkan Jakarta dari premanisme. Agaknya, Sutiyoso hendak mengembalikan pamor Jakarta sebagai pusat niaga, pemerintahan, sekaligus politik. Segala orang, uang, dan barang tumplek di Jakarta.

Jakarta memang kepingan metropolitan yang gemerlap. Pelbagai gedung pencakar langit, jalan tol, dan pusat hiburan merebak. Aneka mobil mewah berseliweran. Jakarta juga pusat magnet bagi kaum urban. Setelah krisis ekonomi melanda, tak mustahil jumlah penduduk miskin di Jakarta sudah jauh di atas 18,17 persen dari total warga Jakarta sebanyak 9 juta orang. Angka 18,17 persen itu merupakan data tahun 1999.

Tak aneh bila angka kriminalitas pada Februari 2001 di Jakarta, menurut kepolisian, naik 70 persen dibandingkan dengan Februari 2000. Statistik ini mungkin dingin di atas kertas. Namun, di kenyataan sehari-hari, hidup di Jakarta seperti di atas bara api. Setiap saat mudah terkena kejahatan ataupun kekerasan di jalan raya.

Karena itu, Gubernur Sutiyoso menganggap operasi preman adalah keniscayaan. Namun, baru beberapa hari operasi digelar, masyarakat menyambutnya secara sinis. Satya Arinanto dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, contohnya, menganggap operasi yang didahului dengan pengumuman itu tak akan efektif. "Kalau operasinya diumumkan, tentu saja premannya kabur," ujar Satya. Bahkan, Satya menduga operasi preman itu sekadar basa-basi politik.

Kriminolog Adrianus Meliala berpendapat bahwa operasi Sutiyoso tak jelas target dan petunjuk pelaksanaannya di lapangan. "Bagaimana operasi itu bisa lancar dijalankan? Kecuali kalau niat Sutiyoso sekadar untuk menghabiskan dana proyek," kata Adrianus.

Berbeda dengan dua dosen itu, Ketua Ikatan Keluarga Besar Tenabang (IKBT), Bang Ucu, melihatnya lebih dari segi kenyataan di lapangan. Menurut Ucu, gebrakan Sutiyoso hanya akan berhasil dengan baik bila melibatkan warga—maksudnya IKBT. "Enggak usah repot-repot. Adakan saja kerja sama antara aparat terkait dan IKBT. Jangankan Tanahabang, seluruh Jakarta pun kami sanggup," kata Ucu.

Namun, "pelindung" para pedagang dan sopir di Pasar Tanahabang itu juga wanti-wanti agar gebrakan Sutiyoso tak cuma sampai di situ. Bagaimanapun, katanya, harus ada kelanjutannya, misalnya menyediakan lapangan kerja buat preman yang mau bertobat. "Kalau premannya masih tetap bandel, biar gue bacok," kata Ucu memamerkan gaya kekuasaannya.

Boleh dibilang ketiga orang di atas mewakili pendapat yang menganggap gebrakan pemberantasan preman tak banyak berguna. Cara kekuasaan dengan kekerasan semasa Orde Baru juga pernah dilakukan terhadap preman, dengan operasi penembakan misterius. Toh, aksi yang amat menafikan hak asasi manusia itu cuma bisa menanggulangi masalah kriminalitas di tingkat permukaan beberapa tahun.

Sekalipun demikian, buat Kepala Penerangan Kodam Jaya, Kolonel D.J. Nachrowi, operasi pembersihan preman setidaknya merupakan tindakan konkret untuk mengurangi kriminalitas.

Memang, mustahil menghapuskan kejahatan. Di negara paling maju pun, kejahatan dan kekerasan tetap ada. "Apalagi di Jakarta, yang sebagian besar masyarakatnya masih dilanda kesulitan ekonomi," ujar Nachrowi.

Argumentasi Nachrowi sah-sah saja. Kriminalitas memang tak pernah disebabkan oleh faktor tunggal, umpamanya keadaan ekonomi atau perilaku pelaku. Masih banyak faktor yang mungkin lebih signifikan pengaruhnya. Entah faktor amburadulnya hukum, ricuh perpolitikan, ataupun premanisme tingkat tinggi yang tak kunjung diberantas. Sesungguhnya preman-preman kroco yang ditertibkan Sutiyoso cuma meniru preman elite.

Sementara itu, orang jarang menemukan patroli polisi di jalan-jalan, terutama ketika malam. Lampu-lampu penerangan juga tak keruan wujudnya. Dan pelosok-pelosok kota pun tampak semakin kusam. Jadi, lebih besar pasak ketimbang tiang bila berharap operasi pembersihan preman kroco bisa menanggulangi kriminalitas.

KMN, Setiyardi, Gita W. Laksmini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus