Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

"Hati Kami Tak Bertato," Katanya

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAYMOND Kayadu cuma seorang perantau asal Ambon. Pemuda berusia 32 tahun itu tentu tak sebanding dengan mantan "penguasa Tanahabang" Hercules ataupun bekas perampok kelas kakap Slamet Gundul. Karena itu, begitu mentari nongol dari peraduan, Raymond sudah rapi dan meninggalkan rumah kontrakannya di kawasan Depok. Keluar dari gang, ia mencegat angkutan kota (angkot) menuju stasiun kereta api. Turun dari angkot, lelaki yang sepanjang lengannya bertato itu cuma melambaikan tangan. "Sudah kenal. Jadi, enggak perlu bayar," ucapnya.

Waktu masih setengah enam pagi saat kereta rel listrik jurusan Bogor-Jakarta tiba di Stasiun Depok Baru. Meski kereta sudah dipadati penumpang, Raymond memaksa masuk. Sampai di Stasiun Cawang, ia naik bus ke Kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang. Di situ, ia menyeberangi jalan dan bersua dengan kawan-kawannya yang juga dari Ambon. Dua puluh orang berkumpul mengatur giliran kerja. "Kami bergiliran tiap satu jam, hingga pukul tiga sore," tuturnya.

Raymond menginjak Jakarta sejak 1988. Saat itu, ia terpaksa hidup sebagai gembel, tidur beratap langit dan beralas bangku di Terminal Cililitan. Untuk menyambung hidup, ia menjadi calo di terminal. Dua tahun hidup menggelandang, Raymond lalu bekerja di galangan kapal Pelabuhan Tanjungpriok. Tapi ia tak tahan karena upahnya amat rendah. Sejak saat itu, ia berkelana dari terminal ke terminal menjadi tukang palak sopir angkot. Dua tahun belakangan ini, ia menemukan komunitasnya di depan Kampus UKI.

Namun, Raymond membantah bila dirinya dianggap sebagai preman. "Saya kerja nyariin penumpang," ujarnya. Setiap angkutan yang lewat, entah bus kota, metromini, atau Kopaja, dikutipnya Rp 500. Sedangkan angkot dan mikrolet cuma kena Rp 200. Tentu saja awak angkutan menurut—kalau tidak, kernet ataupun angkutannya dirusak.

Sekalipun demikian, Raymond mengaku anti-mengganggu penumpang. Katanya, sudah ada aturan tak tertulis di kalangan preman Ambon di UKI yang melarang mereka menodong atau merampas barang penumpang. Kalau itu terjadi, bisa-bisa wilayah itu "dibersihkan" dan mereka kehilangan sumber uang. "Hukum" itu ditaati Raymond dan rekan-rekan. "Badan kami memang bertato. Tapi, jangan salah, hati kami tidak," kata Raymond.

Dengan gaya kerja demikian, Raymond bisa mengontrak rumah di Depok seharga Rp 150 ribu per bulan. Di kediamannya ada televisi warna 21 inci. Sehari ia membawa pulang Rp 20 ribu. Uang itu untuk kebutuhan sehari-hari dan ditabung buat pulang kampung. Sesekali ia menenggak minuman keras bersama teman seasal. "Tapi enggak di sini. Ini tempat kami cari duit," katanya.

Di wilayah kerjanya, Raymond mengaku tak mengenal setoran kepada pihak lain. Yang jelas, peran mereka sudah diketahui aparat keamanan. Maklum, di dekat mereka ada markas Kodam Jaya. "Kami sudah 'begini' dengan petugas," ujarnya sembari menyimpulkan dua telunjuk tangannya. Tak ada petugas yang meminta jatah uang. "Mereka hanya berpesan agar kami ikut menjaga ketertiban di kawasan ini. Kalau tidak, kami digulung," tuturnya.

Memang, Raymond tak cuma sibuk di Cawang. Terkadang ia melakoni bisnis sebagai debt collector. Kalau ada order, beberapa hari ia tak muncul di depan UKI. Tapi bisnis yang mendatangkan honor besar itu tak selalu dipenuhinya karena makan waktu dan biaya.

Toh, Raymond mengaku bosan hidup sebagai pemalak. Ia berharap bisa bekerja benar, misalnya menjadi tukang las atau sekuriti. "Kehidupan di jalan penuh was-was. Kalau tak pintar menjaga diri, nyawa taruhannya," kata Raymond.

Di seberang wilayah Raymond dan teman-temannya, ada komunitas preman lain. Tampak di antaranya seorang lelaki kurus bernama Benny, yang sedang menenggak tuak di sebuah lapo (warung). Ia mengawasi kawan-kawannya yang tengah memalaki bus-bus jurusan Bogor. Beberapa di antaranya berteriak memanggil-manggil penumpang untuk naik bus Giri Indah. Beberapa bus lainnya menunggu giliran. Tiap bus dikutip Rp 3.000. Daerah itu dikuasai preman asal Korea (Batak).

Benny, yang bertato di dada, punggung, dan tangan, mengaku sudah dua tahun memburu rezeki di seberang Kampus UKI. Sebelumnya, Benny mengaku menjadi pencopet di mikrolet, penjambret, ataupun penodong. "Mendingan begini, lebih aman," ujarnya. Namun, Benny tak membantah tudingan bahwa di kawasannya sering terjadi pemerasan dan pencopetan. "Itu sih anak-anak lain," ucap Benny. Meski mengenal para pelaku itu, Benny tak mungkin mengganggu sesama pencari rezeki. Toh, ia juga mengaku tak diganggu oleh aparat keamanan.

Ahmad Taufik, Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus