Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Operasi Urine Hakim Narkoba

Tertangkapnya hakim Puji Wijayanto mendorong Komisi Yudisial dan Badan Narkotika Nasional membongkar jaringan narkoba di lembaga peradilan. Langkah awal: mengetes urine para hakim.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOILET lantai satu Pengadilan Negeri Pontianak mendadak penuh sesak. Menenteng botol plastik kecil, puluhan hakim dan anggota staf Pengadilan silih berganti keluar-masuk toilet dua kamar itu. Antrean menunggu giliran masuk toilet mengular hingga selasar Pengadilan.

Hiruk-pikuk itu terjadi beberapa menit setelah Ketua Pengadilan Pontianak Agung Wibowo, Selasa pekan lalu, mengumumkan Badan Narkotika Nasional akan datang ke sana. Mereka datang untuk melakukan pemeriksaan "bebas narkoba" semua personel di pengadilan kelas 1A di Kalimantan Barat itu, terutama hakim. Agung lalu menginstruksikan para hakim dan anggota staf Pengadilan menyiapkan sampel ­urine mereka. "Ini operasi mendadak," kata Agung, Selasa pekan lalu. Berlangsung tiga jam, tes urine tersebut diikuti 20 hakim dan 80 anggota staf Pengadilan, termasuk pimpinan pengadilan dan hakim ad hoc.

Hasil pemeriksaan itu melegakan Agung. Tak ada satu pun hakim atau anggota staf pengadilan yang urinenya mengandung narkoba. Adapun, menurut Ketua BNN Kota Pontianak Ajun Komisaris Besar Polisi Andi Harun A.R., pemeriksaan itu sebagai langkah antisipasi. "Karena jaringan narkoba sudah masuk pengadilan."

Harun menunjuk tertangkapnya hakim Pengadilan Negeri Bekasi, Puji Wijayanto, ketika tengah berpesta narkoba sebagai indikasi itu. Pada 16 Oktober lalu, enam penyidik BNN mencokok hakim Puji di kamar 331 Diskotek Illigals, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Bersama dua teman prianya dari Papua, saat itu dia tengah menggelar pesta narkoba dan ditemani empat wanita penghibur.

Tanpa perlawanan, Puji bersama enam temannya tersebut digelandang ke markas BNN di Cawang, Jakarta. Setelah melakukan tes urine, dia dinyatakan positif memakai narkoba. Begitu juga satu rekan pria dan tiga perempuan yang menemani Puji. Semuanya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di rumah tahanan BNN. Dua orang lainnya dilepas karena tak terbukti memakai narkoba.

Saat menggerebek Puji, penyidik BNN menemukan 15 butir ekstasi dan 0,4 gram sabu. Menurut Kepala Hubungan Masyarakat BNN Sumirat Dwiyanto, Puji merogoh kocek sampai Rp 22 juta untuk pesta narkoba itu: Rp 11 juta untuk membeli ekstasi, Rp 3,5 juta buat membeli sabu, dan sisanya untuk sewa kamar. "Itu pengakuan teman-temannya yang tertangkap," ujar Sumirat.

Menurut Sumirat, selain berpesta narkoba, Puji tengah membahas kasus rekannya itu di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura. Dia diduga konsultan bagi temannya yang tengah memiliki kasus di PTUN. "Kemungkinan kasus ini berkembang ke tuduhan lain terbuka," katanya.

Kepada wartawan, beberapa saat setelah ditangkap, Puji mengatakan ia menggelar pesta tersebut untuk menyambut dua tamunya dari Papua. Keduanya, kata dia, rekannya ketika ia bertugas di Jayapura. "Saya sambut mereka dengan karaoke."

Puji sebenarnya sudah masuk "radar" BNN sejak dua bulan lalu. Menurut Sumirat, awalnya ada laporan ke BNN yang menginformasikan bekas Ketua Pengadilan Negeri Sabang, Aceh, ini gemar mengkonsumsi narkoba. Selama dua bulan itu, gerak-gerik Puji terus dipantau BNN.

Bekas hakim Yogyakarta ini juga bukan nama asing bagi Komisi Yudisial. Menurut Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki, sejak 2011, pihaknya menerima lima laporan soal hakim karier ini. Dua di antaranya, kata Suparman, laporan dugaan Puji mengkonsumsi narkoba. "Laporan lain menyangkut tuduhan suap dan pelanggaran etika," ujarnya.

Bukan hanya Puji yang dinilai gemar memakai narkoba. Menurut Suparman, ada sembilan hakim lain yang dilaporkan juga mengkonsumsi narkoba. Beberapa di antaranya, kata dia, juga dilaporkan doyan main perempuan. Dua tabiat ini, gemar memakai narkoba dan main wanita, ujar Suparman, jelas merusak kredibilitas dan integritas hakim. "Kalau hakimnya seperti ini, apa jadinya putusan mereka," ucapnya.

Menurut sumber Tempo, sembilan hakim yang dilaporkan ke Komisi Yudisial sejak 2011 itu terdiri atas enam hakim karier di pengadilan umum dan hakim ad hoc di pengadilan tindak pidana korupsi. Empat di antaranya, kata sumber ini, bertugas di Jawa. Sisanya di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Sebagian dari mereka sudah masuk kategori pecandu.

Sumber ini menyebutkan dua hakim ad hoc yang dilaporkan itu pernah bertugas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jawa Tengah. Keduanya sejak September lalu sudah dipindah ke luar Jawa. Satu di antaranya, ujar dia, pernah beberapa kali dilaporkan ke Komisi Yudisial karena menjadi anggota majelis yang kerap memvonis bebas terdakwa korupsi. Menurut penelusuran Komisi Yudisial, hakim ad hoc bekas pengacara itu juga punya tiga istri lain yang dinikahi secara siri. "Dia juga doyan mabuk-mabukan dan suka kehidupan malam," katanya.

Dari Semarang, juru bicara Pengadilan Tipikor Semarang, Togar, tak percaya jika ada hakim di pengadilan itu pemakai narkoba. "Saya tak pernah dengar ada hakim sini pakai narkoba," ucapnya.

Nama hakim lain yang kerap memakai narkoba juga muncul dari pengakuan Puji. Awal November lalu, Suparman dan Komisioner Komisi Yudisial lain, Imam Anshari Saleh, serta dua anggota staf ahli Komisi mendatangi Puji di kantor BNN. Kepada mereka, dia mengaku pernah mengkonsumsi narkoba bersama empat hakim Jakarta dan seorang anggota staf Mahkamah Agung. Tapi, menurut Suparman dan Imam, Puji tak mau menyebut nama hakim itu. "Dia juga bilang ada hakim militer pakai narkoba," kata Imam.

Menurut Imam, Puji hanya mau menyebutkan tempat empat hakim itu bertugas. Ketika ia menyebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kata Imam, Puji mengangguk. Tapi keterangan berbeda diungkapkan Puji kepada tiga hakim tinggi pengawasan MA. Kepada mereka, dia membantah pernah mengatakan ke Komisi Yudisial pernah memakai narkoba dengan hakim lain. "Dia mengaku tak pernah mengatakan soal itu," ujar Setyawan Hartono, salah satu hakim yang menemui Puji.

Imam mengaku punya rekaman pengakuan Puji itu. Suparman dan dua anggota staf ahli Komisi Yudisial juga membenarkan Puji mengatakan nama empat hakim itu. Adapun Puji belum dapat ditemui Tempo. Permintaan wawancara dengan dia lewat BNN belum direspons. Puji sejauh ini belum didampingi pengacara.

Kasus Puji ini dijadikan Komisi Yudisial untuk menelisik para hakim yang doyan narkoba. Komisi meminta BNN menggelar tes urine di lingkungan peradilan. Sejak 22 Oktober lalu, BNN menggelar tes urine di beberapa pengadilan. Misalnya di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, dan Pengadilan Negeri Payakumbuh, Sumatera Barat. Di dua pengadilan itu, tak ada hakim yang urinenya mengandung narkoba.

Akhir Oktober lalu, Komisi Yudisial dan BNN meneken memorandum of understand­ing pencegahan dan pemberantasan narkoba di pengadilan. Menurut Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman, MoU ini upaya menangkal peredaran narkoba di pengadilan. Tes urine, kata dia, tak hanya dilakukan kepada hakim, tapi juga hingga hakim agung. "Kami meminta BNN memberikan shock therapy kepada Mahkamah Agung," ujarnya.

Suparman menambahkan, ada beberapa modus jaringan narkoba mendekati hakim. Salah satunya, ujar dia, dengan memacari hakim. Kasus Puji adalah contohnya. Menurut Suparman, pendekatan ini menjadi modal bagi jaringan narkoba jika hakim itu menangani kasus mereka kelak. Untuk kasus Puji, kata dia, hakim tersebut diduga dipakai untuk melobi hakim lain yang tengah menangani kasus narkoba.

Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali menyambut baik upaya Komisi Yudisial memberantas sindikat narkoba di lembaga peradilan. Dia berjanji tak akan melindungi hakim semacam itu. Puji, misalnya, kata dia, kini sudah dipecat. Hatta juga mengatakan akan menindaklanjuti pengakuan Puji ke Komisi Yudisial perihal adanya hakim lain yang terlibat narkoba.

Pengakuan Puji memang membuat para hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat gerah. Menurut juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bagus Irawan, untuk menangkal tuduhan itu, semua hakim di lembaganya siap dites urine BNN.

Anton aprianto (Jakarta), Joniansyah (Tangerang), Aseanty Pahlevi (Pontianak), Rofiuddin (Semarang)


Bersama Narkoba, Juga Cewek

BAGI sebagian panitera Pengadilan Negeri Jayapura, Papua, hakim Puji Wijayanto dikenal bukan tipe orang yang suka mengumbar kehidupan pribadi. Karena itu, kabar tertangkapnya hakim yang kini bertugas di Pengadilan Negeri Bekasi ini membuat mereka terkaget-kaget. "Saya kaget kalau dia pecandu narkoba," kata Pieter Usmany, Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Jayapura, kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Pieter mengaku dekat dengan Puji. Menurut dia, pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, 20 Oktober 1964, itu adalah hakim yang tegas. Selama menangani kasus-kasus di Pengadilan Negeri Jayapura, Puji tak segan-segan menghukum berat terdakwa yang terbukti bersalah. "Sebaliknya, dia juga akan memvonis bebas terdakwa jika dakwaan jaksa lemah atau keliru," ujarnya. Di Jayapura, kata dia, Puji beberapa kali pernah menangani perkara narkoba.

Freddy Panggalingan, anggota staf Panitera Pidana Pengadilan Negeri Jayapura, juga menyebut Puji hakim yang baik. Ia mengaku baru tahu keburukan Puji setelah hakim itu ditangkap Badan Narkotika Nasional.

Menurut catatan panitera pengadilan itu, salah satu perkara narkoba yang pernah ditangani Puji adalah kasus kepemilikan ganja oleh seorang pemuda bernama Roberto Swages di Jayapura, pertengahan Mei 2010. Roberto dibebaskan majelis hakim yang diketuai Puji karena tidak terbukti memiliki barang haram tersebut. Padahal jaksa menuntutnya lima tahun penjara.

Penasihat hukum Roberto, Gustaf Kawer, mengatakan kasus kliennya ketika itu dipelintir jaksa dari dugaan penganiayaan dan perusakan rumah ke kasus narkoba. "Tuduhan soal narkoba itu bohong," katanya.

Puji bertugas di Pengadilan Negeri Jayapura selama dua tahun, dari 2008 hingga pertengahan 2010. Sebelum ke Papua, ia bertugas di Pengadilan Ternate. Puji adalah hakim angkatan keenam. Sebelum bertugas di wilayah Indonesia bagian timur, dia menjadi hakim "non-palu" di Yogyakarta selama kurang-lebih setahun. Saat itu, Puji tak boleh memegang perkara apa pun,

Menurut Komisioner Komisi Yudisial Imam Anshari Saleh, Puji mendapat hukuman itu karena ulahnya saat menjadi Ketua Pengadilan Negeri Sabang, Aceh. Kala itu, pada 12 April 2007, dia tertangkap basah tengah berbuat mesum dengan seorang perempuan di hotel Mess Pamen Samudera, Sabang. Tak sempat dihukum cambuk berdasarkan hukum syariat di Aceh, hakim Puji dipindahkan ke Yogyakarta. "Itu sanksi bagi Puji," ujar Imam.

Laporan tingkah laku Puji yang suka main cewek juga pernah diterima Komisi Yudisial. "Dua kali kami menerima laporan itu," kata Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki.

Kepada Tempo, seorang panitera di Pengadilan Negeri Bekasi mengatakan hakim Puji memang dikenal suka main perempuan dan doyan narkoba. Bekas kolega Puji di Pengadilan Negeri Bekasi, Barita Lumban Gaol, mengaku tak heran kalau Puji terlibat kasus narkoba. Tiga bulan lalu, ujar dia, hakim pengawas dari Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan terhadap Puji di Kepolisian Resor Bekasi karena ada laporan ia memakai narkoba. "Dia target operasi," kata Barita.

Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengungkapkan Puji gemar berkaraoke di tempat-tempat yang seharusnya tabu bagi hakim. Akibat hobinya itu, ucap Hatta, jabatan Puji kerap diturunkan.

Kepada dua Komisioner Komisi Yudisial, Suparman dan Imam Anshari, Puji mengatakan menggunakan narkoba setelah berpacaran dengan Dewi ketika bertugas di Papua. Ia mengaku bertemu dengan Supervisor Swiss-Belhotel Jayapura itu di klub malam hotel tersebut. Kala itu, istri Puji dan dua anaknya memilih tinggal di Bogor. "Dia bilangnya kesepian," ujar Imam.

Dari Dewi inilah Puji mengenal narkoba. Pertama, pertemuan asal Manado ini mengajak Puji mengkonsumsi sabu-sabu. Setelah itu, kata dia, Dewi sering mengajaknya pesta ganja dan jenis narkoba jenis lain. "Dari situlah dia menjadi pecandu narkoba," ujar Imam.

Kepada dua komisioner Komisi Yudisial itu, Puji mengaku kebiasaannya mengkonsumsi narkoba terbawa sampai ia dipindah dari Jayapura ke Bekasi. Dia mengaku kerap menggigil jika satu pekan tak mengkonsumsi narkoba. Pernah saking tidak tahannya, sebelum sidang di Pengadilan Negeri Bekasi, Puji mengkonsumsi narkoba. Ketika sidang berlangsung, kata Suparman, Puji mengaku tak berani menatap polisi yang tengah berjaga di ruang sidang karena takut ketahuan baru memakai narkoba.

Karena itulah Komisi Yudisial akan memeriksa putusan-putusan majelis hakim yang diketuai Puji. "Apa jadinya kalau dia memutus perkara ketika pikirannya masih terpengaruh narkoba," ujar Suparman.

Anton Aprianto (Jakarta), Jerry Omona (Jayapura), Hamluddin (Bekasi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus