Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang kerja itu tertata apik. Posisinya memanjang di sudut utara dan barat lantai satu gedung utama Mahkamah Agung. Satu sisi ruangan berdinding kaca tembus pandang ke jalan dan area parkir. Sisi lain dibatasi dinding kecokelatan bermotif kayu. "Dulu ruangan ini gudang. Berantakan," kata Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Kamis pekan lalu.
Ruangan ditata menjadi tiga bagian. Di dekat pintu masuk, sofa kulit terpasang mengelilingi meja segi empat, membelakangi lukisan kaligrafi. Bagian tengah ruangan dibiarkan kosong. Di sini terhampar karpet tebal berwarna cokelat susu, senada dengan lantai krem bermotif kayu. Di ujung ruangan, meja kerja panjang terpasang membelakangi rak buku.
Menurut Nurhadi, ruangan itu dia bangun dengan uang sendiri setelah ia dilantik menjadi kepala kantor Mahkamah Agung, Desember tahun lalu. Selain ruang kerja, ruang tunggu tamu, ruang rapat, dan ruang 20 anggota staf ditata dengan interior berbahan kombinasi kulit, kayu, dan baja. "Habis Rp 300 jutaanlah," ujarnya.
Nurhadi lantas menuturkan apa saja yang sudah dia berikan untuk kantor dan koleganya. Misalnya dia mengaku menata ruang Kepala Biro Hukum dan Humas dengan uang sendiri, lalu menghibahkan semua perabotÂan untuk pejabat pengganti dia.
Nurhadi pun mengaku tak pernah menyentuh mobil dinasnya, Toyota Camry. Mobil dinas berumur tujuh tahun itu dia pinjamkan kepada seÂorang ketua muda di Mahkamah Agung yang mobil dinasnya rusak. Adapun ia membeli sendiri mobil Camry keluaran terbaru.
Rumah dinas di Kemayoran, Jakarta Pusat, pun tak pernah ia tempati. Alumnus pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, itu memilih tinggal di rumah pribadinya di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Rumah di Kemayoran akhirnya ditempati seorang hakim agung yang belum mendapat jatah rumah dinas. "Daripada mubazir," kata Nurhadi.
Di akhir cerita, Nurhadi menuturkan bahwa dialah yang membiayai pesta perpisahan mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa, 29 Februari lalu. Alasannya, dia sudah menganggap Harifin Tumpa sebagai orang tua. "Anak dan orang tua tak perhitungan," ujar suami Tin Zuraida, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung, itu. Sumber Tempo yang menghadiri pesta tersebut mengatakan itu pesta perpisahan termewah sepanjang sejarah Mahkamah Agung.
Rapat pleno terakhir persiapan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung pada 23 Oktober lalu awalnya berjalan biasa saja. Sewaktu Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali membuka rapat di ruang Wirjono itu, hadirin menyimak tanpa bersuara. Tapi ketenangan tak bertahan lama. Ketika panitia memaparkan jadwal keberangkatan peserta rapat di Manado itu, hakim agung Gayus Topane Lumbuun mendadak menyela.
Gayus mempertanyakan perbedaan kelas pesawat hakim agung yang dijadwalkan berangkat pada 28 Oktober ke Manado. Mengacu pada peraturan protokoler, perjalanan dalam negeri hakim agung harus memakai pesawat kelas bisnis. Faktanya, Gayus melihat, sebagian besar hakim agung berangkat dengan kelas ekonomi.
Panitia mencoba menjelaskan bahwa pagi itu hanya ada dua pesawat yang bertolak ke Manado. Di pesawat pertama, hanya ada 12 kursi kelas bisnis. Di pesawat kedua, ada 16 kursi. Padahal hakim Agung berjumlah 54 orang. Jadi tak mungkin semuanya naik kelas bisnis. "Siapa pun tak mungkin bisa mengatasi kesulitan teknis itu," kata Nurhadi, yang juga Ketua Panitia Pelaksana Rakernas.
Rupanya penjelasan panitia tak memuaskan Gayus. Apalagi dia telanjur melihat daftar beberapa birokrat eselon I yang bakal duduk di kelas bisnis, meski berangkat dengan pesawat berbeda. "Kami dianggap warga kelas kambing," ujar Gayus. Ia pun melebarkan persoalan ke urusan keterbukaan pengelolaan keuangan di Mahkamah Agung.
Dua hari setelah itu, ribut-ribut dalam rapat pleno tersebut mencuat di media. Kepada Tempo, Gayus mengaku tak punya persoalan pribadi dengan pimpinan dan pejabat birokrasi MA. Dia hanya menuntut keterbukaan, misalnya, soal pengelolaan keuangan, perekrutan pegawai, serta pengadaan barang dan proyek.
Gayus juga meminta hakim agung terbuka menjelaskan putusan kepada masyarakat. Hakim tak cukup mencantumkan pertimbangan dalam putusan kasasi dan peninjauan kembali. Pencari keadilan, kata Gayus, perlu tahu mengapa hukuman ditambah, dikurangi, atau dibatalkan. "Baru minta begitu saja saya mau dilabrak," katanya.
Terpancing seruan Gayus, Ketua Muda Pidana Khusus MA Djoko Sarwoko pun berkomentar pedas di media. Dia menyarankan Gayus mundur ketimbang menebar permusuhan di kalangan internal MA. Djoko pun tak lupa membela Nurhadi dan kawan-kawan.
Pembelaan Djoko dan pengakuan Nurhadi bahwa dia sering menyumbang MA malah menjadi bola liar. Bukan hanya Gayus yang menyambar bola itu. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad pun mempertanyakan asal-usul kekayaan Nurhadi. Jika dilihat dari gaji seorang pejabat eselon I, kata Abraham, kebiasaan Nurhadi jelas tak lazim. Karena itu, dia meminta Direktorat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara KPK segera menelusuri harta Nurhadi.
Ternyata, hingga awal pekan lalu, Nurhadi belum menyerahkan laporan kekayaan. Setelah terus diberitakan media, Kamis sore pekan lalu Nurhadi akhirnya mengirimkan laporan kekayaan ke KPK. Keesokan harinya, KPK langsung memverifikasi laporan itu. "Karena jadi sorotan publik, kami harus bekerja cepat," ujar Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas.
Nurhadi telah menerima surat permintaan laporan kekayaan dari KPK sejak awal Maret lalu. Tapi dia mengaku perlu waktu untuk mengisi formulir dan melengkapi berkas laporan itu. "Kalau rumah dan mobil saya cuma satu-satu, pasti lebih cepat," katanya.
Dengan dalih menunggu hasil verifikasi KPK, Nurhadi pun menolak menyebutkan berapa nilai kekayaannya kepada Tempo. Yang pasti, menurut dia, sejak sepuluh tahun lalu, hartanya sudah puluhan miliar rupiah. "Saya punya usaha jauh sebelum bekerja di MA," ujar Nurhadi, yang menyebutkan gaji terakhirnya Rp 18 juta per bulan.
Nurhadi mengaku merintis usaha peternakan burung walet sejak 1981. Sewaktu diangkat sebagai anggota staf di bagian Penelaah Perkara Kasasi MA pada 1987, dia mengaku sudah membeli mobil dan rumah di Jakarta. "Mobil bagus, lebih dari satu pula," ujarnya.
Bukan kali ini saja orang mempertanyakan kekayaan Nurhadi. Pada 2010, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pernah mencurigai transaksi di rekening milik istri Nurhadi, Tin Zuraida. Atas laporan PPATK, Kejaksaan Agung pernah membentuk tim khusus melacak asal-usul duit di rekening itu.
Nurhadi membenarkan rekening istrinya pernah terjaring radar PPATK. Selain menyerahkan riwayat transaksi bank selama sepuluh tahun ke belakang, Nurhadi mengajak tim kejaksaan ke rumah burung walet di Mojokerto. Baru melihat satu rumah penuh sarang walet saja, "Mereka bilang cukup," ujarnya. Padahal dia mengaku punya rumah walet di Tulungagung, Kediri, dan Karawang.
Di Tulungagung, Nurhadi mengaku punya gedung walet bertingkat empat di Jalan Ade Irma Suryani. Di sepanjang jalan itu memang ada dua rumah besar yang dikenal sebagai rumah walet. Tapi, menurut sumber Tempo yang tinggal di jalan tersebut, satu rumah walet lama tak beroperasi. Lubang-lubang kecil jalan masuk burung di rumah itu sudah ditutupi semen. Menurut warga sekitar, bangunan itu milik orang Surabaya.
Lima puluh meter dari rumah walet pertama, ada rumah walet yang lebih besar. ÂJumat siang pekan lalu, burung masih berseliweran di rumah itu, tapi jumlahnya tak banyak. Tetangga menyebutkan rumah walet itu milik Haji Kongsul, bukan Nurhadi.
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, meminta Nurhadi membuktikan semua uang yang dia sumbangkan untuk Mahkamah Agung itu "bersih". Kalaupun uang itu benar dari saku pribadi Nurhadi, Emerson masih mempertanyakan motifnya. "Tak ada makan siang gratis," katanya.
Jajang Jamaludin, Sukma N. Lopies, Hari Tri Wasono (Kediri)
Nurhadi:
Yang Menuduh, Silakan Buktikan
Sepekan terakhir ini nama Nurhadi menjadi buah bibir. Itu antara lain karena "pertikaian"-nya dengan Gayus Topane Lumbuun dan "kedermawanan"-nya memenuhi sejumlah keperluan Mahkamah Agung, termasuk membenahi kantor. Tak kurang hakim agung dan juru bicara Mahkamah membelanya dan menyebut pria kelahiran Kudus, 19 Juni 1957, itu memang orang kaya lantaran memiliki bisnis sarang walet. Terkesan bersembunyi dari wartawan, Jumat pekan lalu, mantan Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung ini akhirnya bersedia diwawancarai wartawan Tempo, Jajang Jamaludin dan Sukma N. Loppies.
Ini sesuatu yang tak lazim, Anda memakai uang pribadi untuk membenahi kantor. Mengapa?
Saya dilantik akhir 2011. Kalau harus menunggu dana APBN, saya baru bisa mengusulkan pada 2012. Kalaupun disetujui, paling saya bisa merenovasi kantor pada akhir 2013. Saya mau bekerja cepat, tapi tidak mau menabrak aturan. Saya melakukan tak hanya sekarang. Saya dulu juga membangun ruang humas. Terus barang-barang saya hibahkan agar dipakai penerus saya.
Tapi sekarang sumbangan Anda dipermasalahkan....
Sepanjang uang itu bukan pemberian orang, bukan hasil korupsi, atau hasil memeras orang, apa itu salah? Itu uang pribadi hasil kerja keras saya sebagai pengusaha. Saya bekerja di sini. Barang pribadi saya bawa ke sini. Apa itu juga salah? Yang penting asal-usul uangnya.
Ya, tapi banyak yang bertanya, sumber uang itu dari mana?
Sejak 1981, saya sudah mulai usaha sarang walet. Sewaktu masuk Mahkamah Agung pada 1987, saya sudah punya penghasilan. Sudah bisa beli rumah di Jakarta dan punya mobil lebih dari satu. Mobil bagus pula. Setelah itu, saya terus membeli dan membangun rumah walet di mana-mana. Awalnya di Tulungagung, lalu Kediri, Mojokerto, dan Karawang.
Bukankah penghasilan usaha burung walet tak menentu?
Yang saya urus kan bukan mesin. Produksinya naik-turun, tergantung kondisi alam. Harganya juga tidak tetap. Sekarang harga sarang walet lagi jatuh, Rp 3 juta per kilogram. Masa keemasannya dulu, sewaktu Indonesia dilanda krisis moneter, dari 1997 sampai 1999. Harganya Rp 30 juta per kilogram. Saya bisa jual minimal 50 kilogram setiap dua bulan.
Kalau begitu, kekayaan Anda berapa sekarang?
Tanya KPK saja, nanti mereka yang umumkan. Yang pasti, sepuluh tahun lalu, keuangan saya sudah puluhan miliar. Jadi tolong jangan kaitkan gaya saya dengan gaji saya. Sebagai eselon I, gaji pokok dan remunerasi saya hanya Rp 18 juta per bulan.
Anda sudah lama kaya dan menjadi pejabat publik, mengapa baru melaporkan kekayaan?
Undang-undang hanya mewajibkan laporan harta dan kekayaan itu kepada pejabat eselon I. Untuk eselon II hanya jabatan tertentu, seperti pejabat yang memegang keuangan. Sewaktu menjadi Kepala Biro Humas, saya tidak pegang anggaran. Sewaktu saya diusulkan ke tim penilai akhir untuk naik menjadi eselon I, juga belum ada syarat harus memasukkan laporan kekayaan. Saya taat asas saja.
Kan, Anda sudah lama dilantik jadi pejabat eselon I....
KPK baru mengirim formulir pada 28 Februari 2012. Saya terima awal Maret. Waktu itu saya sudah mulai mencicil. Tapi kan tidak mudah. Karena ini laporan pertama, saya harus melengkapi asal-usul, nilai saat perolehan, dan nilai sekarang. Kalau saya cuma punya satu rumah, satu mobil, pasti mudah dan cepat mengisinya.
Di luar protes Gayus, Anda disebut-sebut rajin "menyervis" hakim agung?
Saya menempatkan diri sebagai pelayan. Saya melayani hakim agung sebaik-baiknya. Dulu hakim agung tidak mendapat fasilitas makan siang, sekarang mereka dapat. Dulu mereka tak mendapat sopir dari kantor, sekarang pakai sopir honorer. Mereka luar biasa senangnya.…
Anda juga membantu hakim di luar urusan kedinasan?
Kalau masih dalam batas kewajaran dan saya bisa melakukannya, mengapa tidak?
Benarkah bila ada hakim agung kesulitan uang, Anda bantu juga?
Tidak etis kalau saya sampai katakan begitu. Yang saya bantu tak hanya di kantor ini. Sanak saudara, teman, kenalan, yang kesulitan juga saya bantu. Membantu orang tak membuat saya miskin. Bila ditahan, uang itu juga tak membuat saya lebih kaya.
Juga membantu kenalan yang beperkara?
Kalau ada yang berani menuduh begitu, silakan buktikan. Kapan dan di mana? Saya tantang sekalian. Sejak memilih jadi birokrat, saya punya tujuan. Untuk mencapai posisi tertinggi, saya harus menjaga diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo