KALI ini Kejaksaan Negeri Denpasar, Bali, membuat kejutan. Tanpa melalui penyidikan polisi (satu-satunya penyidik menurut KUHAP), pekan-pekan ini, intansi pentuntut umum itu menambahi pasal tuduhan terhadap salah seorang dari empat terdakwa warga negara Jepang, Kazuo Sakai, 40 tahun, yang diadili karena menjerumuskan delapan vadis Bali ke dunia hitam di Jepang. Semula Sakai dan tiga rekannya disidik polisi cuma dengan tuduhan telah mengirimkan tenaga kerja, tanpa izin, ke Jepang (pasal 239 KUHP dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja tahun 1988). Pasal ini mengancam terdakwa dengan hukuman paling banter enam bulan penjara atau denda Rp 4.500 -- dan tentu saja terdakwa tak bisa ditahan. Ternyata, ketika perkara disidangkan jaksa menambahi tuduhan itu dengan pasal melarikan wanita (pasal 332 KUHP) dan perbuatan tidak menyenangkan (pasal 335 KUHP). Akibat pasal "tambahan" itu, Sakai bisa dihukum sembilan tahun penjara. Bahkan, begitu perkara disidangkan, awal bulan ini majelis hakim, yang diketuai Ridwan Nasution, langsung menetapkan penahanan terhadap Sakai. Cara dan dakwaan kejaksaan itu sempat diprotes pengacara Sakai, Suryatin Lijaya. Menurut Suryatin, pasal tambahan tak sah. Sebab, katanya, kejaksaan menambahkan dua pasal itu berdasarkan pengaduan dari salah seorang saksi korban, Sucita, pada 18 September 1989. Padahal, "hanya polisi yang bewenang menerima dan menyidik delik aduan," ujar Suryatin. Kalaupun pengaduan itu terjadi sewaktu perkara tersebut ditangani kejaksaan, masih menurut Suryatin, seharusnya instansi itu mengembalikan berkas perkara ke polisi. Tapi, karena tenggang waktu bolak-baliknya berkas perkara antara polisi dan jaksa selama 14 hari, menurut KUHAP sudah terlampaui, jaksa tak melakukannya. "Mestinya pengaduan itu, ya, dibuat dalam berkas perkara terpisah," katanya. Sakai dan ketiga rekannya diperkarakan karena telah megelabui delapan gadis asal Bali, berusia maksimum 22 tahun, pada Maret dan April silam. Semula para gadis itu dijanjikan akan bekerja di sebuah perusahaan biro perjalanan di Jepang. Ternyata, Sakai dan kawan-kawan memaksa gadis-gadis itu bekerja sebagai pramuria bar di berbagai kota di negara matahari terbit tersebut. Polda Nusa Tenggara (Nusra), belakangan, hanya menyidik kasus itu dari segi pengiriman tenaga kerja wanita tanpa izin (pasal 239 KUHP). Tapi, tidak untuk kasus melarikan gadis dan perbuatan tak menyenangkan. "Karena tempat kejadian perkara di Jepang, kan polisi tidak tahu perlakuan apa saja yang terjadi pada mereka di situ," kata Kadispen Polda Nusra Letkol. Pol. I Gusti Ayu Suryati. Tapi tuduhan itu, khususnya terhadap Sakai -- yang dianggap otak kasus itu oleh kejaksaan, dianggap terlalu tipis. Sebab itu, jaksa menambahkan pasal 332 dan 335 KUHP. Sebab, sesuai dengan pengaduan Sucita, Saki pernah mencoba memperkosa gadis itu. Selain itu, ia menyekap korban, dan menahan uang saku, gaji, plus paspor para korban. Karena kasus itu menyangkut harga diri bangsa dan negara, "Kita harus menjatuhkan hukuman berat," kata Kepala Kejaksaan Negeri Denpasar M. Alam Kuffal. Ketua majelis hakim Ridwan Nasution, 7 Oktober lalu, ternyata menilai pemrosesan pengaduan Sucita itu sudah memenuhi ketentuan KUHAP. Sebab, satu saksi saja, Sucita, sudah cukup untuk memberkas pengaduan itu. "Sesuai dengan pasal 14 KUHAP, jaksa hanya sekadar melengkapi berkas perkara," ujar Ridwan. Kini, giliran putusan sela itu yang dituding Suryatin sebagai tak masuk akal. "Yang dipersoalkan adalah wewenang jaksa memproses pengaduan Sucita, kok majelis hakim menjawab bahwa satu saksi pengadu sudah cukup," dalihnya. Happy S. dan Djoko D. (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini