"SAYA pernah 'bunuh orang dan baru keluar penjara Kalisosok. Harap sediakan uang, taruh dekat pagar rumah. Kalau menolak, tahu sendiri." Begitu kira-kira ancaman lewat surat dan telepon yang diterima Bintoro, seorang pengusaha dan kontraktor di Surabaya. Karena ancaman dari orang yang menamakan diri Anton begitu serius, ia melapor ke polisi. Pada malam yang ditentukan, ia menaruh sebuah bungkusan di dekat pagar rumahnya di Jalan Embong Cerme. Dan lepas magrib, seorang pemuda bertubuh kurus muncul naik sepeda motor. Perlahan-lahan ia mendekati rumah Bintoro dan mencoba mengambil bungkusan. Di saat itu, dengan gerak cepat, beberapa angota polisi, dipimpin Letkol Slamet Wahyudi dari Polda Jawa Timur, datang menyergap. Tersangka segera diperiksa dan Wahyudi terbelalak. "Ia ternyata Sutiko," katanya. Bintoro sendiri adalah bekas majikan tersangka. Sampai pekan lalu, ia masih diperiksa, setelah tertangkap pekan sebelumnya. Siapa Sutiko? Ia adalah seorang pembunuh yang "beruntung". Pada 22 September 1984, ia divonis 5 tahun 6 bulan penjara karena terbukti melakukan pembunuhan di rumah A. Wenas, pimpinan klub sepak bola Niac Mitra. Sedangkan adiknya, Sutikno, oleh Pengadilan Negeri Surabaya di hari yang sama divonis 2 tahun 6 bulan penjara. Ia hanya terbukti ikut menganiaya. Korbannya adalah Suratmin, tukang kebun, yang memergoki kedua kakak beradik itu memasuki halaman rumah Wenas untuk mencuri. Meski kepergok, malam itu, Januari 1984, mereka berhasil melarikan diri. Belakangan keduanya tertangkap dan diadili. Baru beberapa bulan menjalani hukuman, tepatnya 3 Januari 1985, kakak beradik itu terpaksa dilepas dari LP Kalisosok, Surabaya. Soalnya, berkas permohonan banding jaksa dikirimkan terlambat ke alamat pengadilan tinggi.Jaksa mengajukan banding, karena menilai vonis hakim terlalu ringan, dibandingkan tuntutannya yang masing-masing 10 tahun dan 7 tahun penjara. Keterlambatan pengiriman berkas, agaknya, terjadi karena kesemrawutan administrasi di Pengadilan Negeri Surabaya. Dan kelemahan tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pengacara terdakwa, Djawara dan Pieter. Sutiko tentunya merasa berterima kasih. Ketika mengancam Bintoro, dengan nada bangga, ia menyatakan, "Saya bisa bebas dari LP karena kelihaian pengacara." Kata-kata itu cukup menarik perhatian Letkol Wahyudi. Selain mengusut kasus pemerasan terhadap Bintoro, Wahyudi berniat meneliti kembali soal pembebasan Sutiko dan Sutikno. Eh, siapa tahu pembebasan itu bukan sekadar karena kesemrawutan administrasi. Djawara tak keberatan karena merasa tak ada permainan dalam masalah pembebasan itu. "Saya semata hanya memanfaatkan cara kerja yang acak-acakan di pengadilan," katanya lantang. Selain Sutiko dan Sutikno, katanya, ada lima terpidana lain yang bisa ia keluarkan dari LP. Pengacara Pieter menambahkan bahwa sejak semula ia merasa tidak selayaknya Sutiko dihukum. "Bukan berarti ia harus bebas berkeliaran. Ia sebaiknya dirawat di rumah sakit jiwa," katanya kepada Saiff Bakham dari TEMPO. Berdasar pengamatannya, kliennya itu menunjukkan gejala tidak normal. Kalau ia normal, katanya, mengapa saat mencoba memeras Bintoro ia mesti menyebut identitas dirinya--dengan mengatakan sebagai pelaku pembunuhan di rumah Wenas ? Lagi pula, yang dimintanya hanya ratusan ribu rupiah. "Kalau hanya seratus ribu, minta saja sama saya," kata Pieter. Tapi sebuah sumber meragukan Sutiko sakit jiwa. Buktinya, ketika masuk ke rumah Wenas tempo hari, ia sengaja memakai baju dan celana berlapis-lapis, "Untuk memberi kesan bahwa dirinya gemuk." Sewaktu dikirim ke Jakarta untuk mengikuti pendidikan tentang pemasaran, ketika masih bekerja pada Bintoro, Sutiko juga dinyatakan lulus dengan cemerlang. Tak mungkin orang sakit jiwa bisa berprestasi baik. "Ia seorang pemain watak," katanya. Berkas perkara si "pemain watak" itu kini sudah di tingkat kasasi, setelah di tingkat banding ia divonis 10 tahun. Entah, berapa ia akan kena untuk kasusnya yang baru -- pemerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini