Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Se-licin-licinnya Mr. Wong, Terbekuk Juga

Mr. Wong (WNI) otak pemalsuan paspor international ditangkap di bangkok bersama 4 anak buahnya. Indonesia meminta agar ia bisa diekstradisi. Juga Singapura. pernah lolos ketika mau dideportasikan.

8 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPANDAI-PANDAI Mr. Wong melompat, masih lebih cepat polisi Muangthai. Tersangka otak pemalsu paspor internasional berkebangsaan Indonesla itu tertangkap di Bangkok, Senin pekan lalu, bersama empat anak buahnya: Tommy Sunardi (WNI), Chiang Ang Ho dan Wong Chun Cheung (Hong Kong), serta Nyonya Wong Sung Yang (Taiwan). Koresponden TEMPO di Bangkok, Yuli Ismartono, melaporkan bahwa mereka disergap di lantai empat sebuah apartemen bernama Grandville House yang terletak di Sukhumvit. Daerah ini merupakan daerah elite yang banyak dihuni orang kaya dan orang asing dari mancanegara. Dari apartemen yang disewa seharga 22 ribu baht atau Rp 850 ribu sebulan itu, Mayor Jenderal (polisi) Wanich Kullama, yang memimpin langsung penyergapan, menemukan bukti-bukti tentang kegiatan kawanan Wong. Sedikitnya ditemukan 56 paspor (palsu) berbagai negara, seperti Muangthai, Singapura, RRC, dan Portugal. Tapi yang terbanyak adalah paspor RI: 41 buah. Ditemukan pula 5 KTP RRC, puluhan stempel palsu lembaga resmi berbagai negara, dan alat peneliti serta pengepres foto. Peralatan tersebut, kata Wanich, "Memungkinkan pemalsuan mereka rapi sekali. Kalau bukan ahli, sulit bisa mengenali bahwa itu paspor palsu." Segera setelah Mr. Wong alias Liman Wibowo -- yang juga memiliki beberapa nama lain -- tertangkap, menurut sebuah sumber, pemerintah RI berupaya agar ia bisa diekstradisikan ke Indonesia. Permintaan yang sama datang dari pemerintah Singapura, karena Wong masuk Muangthai dengan paspor negara tersebut. "Pekan ini, mudah-mudahan sudah ada kabar tentang permintaan ekstradisi kita itu," ujar sumber tadi. Permohonan agar Wong bisa diekstradisikan bukan tanpa alasan. Sejak beberapa waktu lalu ia dinyatakan buron oleh pemerintah Indonesia. Yaitu setelah terbongkarnya pemalsuan sejumlah paspor RI yang dikeluarkm Kantor Imigrasi Tanjungbalai. Pasporp-paspor tadi, ternyata, digunakan oleh warga RRC untuk menyelundup ke AS lewat Meksiko. Dan lima di antaranya, kemudian terdampar di bandar udara Soekarno-Hatta, Jakarta, Juni tahun lalu. Di tahun itu juga, Wong diketahui berada di Hong Kong. Atas permintaan petugas Kejaksaan RI di sana, ia dideportasikan ke Jakarta. Wong, ketika itu, memang naik pesawat yang menuju Jakarta. Ternyata, petugas yang menjemputnya di bandar udara itu harus menggigit jari. Wong tak ada di antara penumpang Garuda malam itu, karena dengan kelicinannya -- ia turun di Singapura. Dan dan sana ia balik lagi masuk Bangkok, sampai akhirnya ia disergap, pekan lalu. Dengan harap-harap cemas, pekan ini pemerintah RI, yang sudah mengirim pejabat kejaksaan dan polri, menanti jawaban tentang permohonan ekstradisi itu. Sebab, kalau tidak bisa dibawa ke Jakarta, gembong pemalsu paspor itu akan bebas. Ia, menurut sumber TEMPO, sudah menyewa pengacara yang berjuang keras agar ia dan kawan-kawan bisa ditahan luar dengan jaminan. Kabarnya, ia sudah pula menyiapkan sejumlah uang untuk jaminan. Guna menguatkan permohonan ekstradisi, "Pihak kita sudah mengumpulkan bukti bahwa Wong adalah warga negara Indonesia." Bukti dimaksud berupa paspor asli atas namanya, yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Cirebon, tertanggal 23 September 1984. Juga ada KTP, yang menyatakan bahwa Liman Wibowo alias Lau Man tinggal di Jalan Pekalipan Gang IV di kota itu. Data lainnya: ia lahir di Jakarta, 12 April 1940, mempunyai seorang istri bernama Lanny Wijaya dan punya dua anak yang sudah dewasa. Wong sendiri tadinya orang RRC. Baru pada 25 April 1961 permohonannya untuk menjadi WNI dikabulkan. Di Jakarta, ia menetap di Kelurahan Krukut, Jakarta Barat. Tidak jelas apa pekerjaannya mula-mula, tapi pada 1980 ia pernah ditahan selama tiga bulan karena perkara paspor palsu. Keluar dari tahanan, ia justru semakin mendalami ilmu pemalsuan paspor, sampai akhirnya bisa menjadi pemalsu internasional dengan sejumlah kaki tangan di berbagai negara. Paspor-paspor "aspal" yang diusahakan di Bangkok, menurut Jenderal Wanich, dijual Rp 2,2 juta sampai Rp 3,8 juta per buah. Konsumennya, kebanyakan orang RRC, yang berniat bekerja di luar negeri. Chiang Ang Ho mengaku bahwa ia bertugas masuk RRC dan mengunjungi Provinsi Fukien, untuk mencari orang--umumnya pemuda -- yang berkeinginan menjadi imigran di negeri orang. Mereka yang berminat, meninggalkan tanah air menuju Bangkok, lewat jalan darat melintasi Burma atau Nepal. Tak ada kesulitan bagi mereka untuk masuk Muangthai. "Pemerintah kami memberlakukan bebas visa bagi siapa saja yang berkunjung sampai batas waktu 15 hari," kata Wanich. Lima warga RRC, yang kini diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, juga memang memperoleh paspor RI di Bangkok dari Wong. Atas jasa Wong, mereka itu -- Wang Xing Ming, Zheng Sheng Rong, Li Ri Hong, Huang Jian Hong, dan Zheng Zi Qiang -- bisa mengantungi paspor RI keluaran Tanjungbalai. Kepala Imigrasi Tanjungbalai, Sofiandi, belum lama ini sudah divonis 12 tahun penjara. Ia terbukti menerbitkan sejumlah paspor aspal dan mengantungi imbalan yang ditaksir lebih Rp 100 juta. Perkaranya kini dalam tingkat banding. Menurut sebuah sumber, bekas pejabat Imigrasi itu sudah dibina Wong semenjak ia bertugas di Biak, Irian Jaya. Semula, tindakannya menerbitkan paspor untuk orang RRC dinilai cukup aman. Mereka toh hanya menggunakannya di luar negeri: dari Bangkok ke Meksiko. Di luar perhitungan, terjadilah "kecelakaan": oleh pemerintah Meksiko, orang-orang Cina itu dideportasikan ke Bangkok. Lima di antaranya, yang kini sedang diadili, malah terdampar di Jakarta. Selain Indonesia, dan Singapura, pemerintah Muanthai juga cukup bernafsu memperkarakan Wong dan kawan-kawan. Berdasar hukum di sana, mereka bisa dipidana masing-masing 5 tahun penjara. Khusus bagi Wong dan Tommy, ancamannya menjadi 10 tahun, karena kesalahan tambahan: mencoba menyogok polisi. Surasono Laporan Yuli Ismartono (Bangkok) & A Luqman (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus