Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kriminal

Pemerintah Terbitkan PP Legalkan Aborsi untuk Korban Pemerkosaan, ICJR Imbau Komitmen Realisasi Konkret di Lapangan

ICJR menanggapi terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang salah satunya mengatur praktik aborsi legal dengan syarat tertentu.

1 Agustus 2024 | 19.05 WIB

Ilustrasi aborsi. PEDRO ARMESTRE/AFP/Getty Images
Perbesar
Ilustrasi aborsi. PEDRO ARMESTRE/AFP/Getty Images

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menanggapi terbitnya Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Beleid itu salah satunya mengatur praktik aborsi legal dengan syarat tertentu, seperti ada indikasi darurat medis maupun bagi korban perkosaan atau kekerasan seksual lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Peneliti ICJR Johanna Poerba mengatakan pihaknya menggarisbawahi bahwa jaminan aborsi aman tidak hanya perlu dilakukan dalam tataran penerbitan aturan, seperti adanya peraturan pemerintah baru ini. "Namun, komitmen realisasi konkret pemangku kepentingan sangat diperlukan," ujarnya dalam keterangan resmi pada Kamis, 1 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Johanna menjelaskan PP 28/2024 yang mengatur praktik aborsi bagi korban perkosaan dan kekerasan seksual, serta indikasi darurat medis bukan merupakan aturan yang baru. Ia pun mencontohkan sejumlah beleid, seperti UU Kesehatan Tahun 2009, PP 61/2014, dan Permenkes 3/2016. 

Dari aturan-aturan tersebut, ICJR menyebut penyediaan layanan aborsi yang aman tidak bisa terlaksana di lapangan. "Dikarenakan tidak ada realisasi konkret dari pemangku kepentingan untuk menyediakan layanan," ujar Johanna.

Pertama, jelasnya, Kepolisian tidak kunjung merespons kebutuhan aturan internal untuk menyediakan rujukan kontrasepsi darurat dan aborsi bagi korban perkosaan. Sejak adanya PP 61/2014 dan Permenkes 3/2016, Kepolisian diamanatkan untuk mendukung penyediaan kontrasepsi darurat dan menyediakan surat keterangan bagi korban perkosaan yang ingin mengakses aborsi aman. 

"Seharusnya dengan kondisi saat ini, korban perkosaan bisa mandapatkan kontrasepsi darurat dan melakukan aborsi aman sampai dengan batas usia kehamilan delapan minggu," ucap Johanna. 

Namun, penelitian ICJR pada 2021 dan pemantauan hingga saat ini, belum ada komitmen nasional di Kepolisian untuk menerbitkan aturan internal untuk merujuk pemberian kontrasepsi darurat atau menerbitkan surat keterangan dugaan perkosaan. "Malah pada 2021 lalu, pihak kepolisian menolak permohonan aborsi anak 12 tahun, korban perkosaan di Jombang, padahal saat itu usia kehamilan korban belum sampai delapan minggu," ujar Johanna.

Kedua, Kementerian Kesehatan alias Kemenkes tidak kunjung menunjuk layanan yang dapat memberikan aborsi aman. Padahal itu merupakan amanat Permenkes 3/2016. "Delapan tahun Permenkes tersebut hadir, dan lima belas tahun UU Kesehatan 2009 berlaku, Kemenkes masih belum menetapkan faskes yang dapat memberikan layanan aborsi aman tersebut," beber Johanna. 

Pada diskusi publik yang digelar ICJR dengan melibatkan kementerian itu pada 2022, Kemenkes menyatakan sudah menyusun pedoman, kurikulum modul dan pelatihan layanan aborsi aman. Kemenkes juga menyebut pada 2023 telah menyediakan fasilitas kesehatan atau faskes yang dapat memberikan aborsi aman. "Namun, hingga saat ini penetapan tersebut belum kunjung dipenuhi," ujar Johanna. 

Catatan atas Substansi PP 28/2024

"Atas masalah komitmen ini, ICJR juga kemudian memiliki catatan atas substansi PP 28/2024," kata Johanna.

Pertama, Pasal 60 UU Kesehatan dan Pasal 1154 PP 28/2024 menyatakan pengaturan layanan aborsi dan batas usia aborsi yang boleh dilakukan bagi semua kekerasan seksual akan berlaku bersamaan dengan KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP baru. Dengan demikian, layanan aborsi baru tersedia pada Januari 2026. 

"ICJR menyayangkan hal tersebut karena adanya kebutuhan mendesak aborsi aman," ucap Johanna. 

Dari pemantauan media yang ICJR lakukan pada Januari ingga Maret 2024, ujarnya, ada 12 korban perkosaan yang mengalami kehamilan. Mayoritas korban itu masih anak-anak. 

Kedua, Pasal 118 PP 28/2024 mengatur syarat dapat dilakukan aborsi aman bagi korban kekerasan seksual dibuktikan dengan keterangan penyidik. Keterangan itu tentang dugaan kekerasan seksual. 

Ia menjelaskan persyaratan tersebut berbeda dengan syarat pada Permenkes 3/2026 yang membolehkan keterangan dugaan perkosaan dari penyidik, psikolog, dan/atau ahli lainnya. "Perubahan ketentuan ini menempatkan penyidik sebagai satu-satunya pihak yang dapat memberikan keterangan dugaan kekerasan seksual," kata Johanna.

Tiga, Pasal 119 ayat (1) PP 28/2024 menyebut layanan aborsi aman dilakukan oleh faskes tingkat lanjut yang ditetapkan oleh Menteri. Ketentuan ini berbeda dengan pengaturan dalam Pasal 13 Permenkes 3/2016 yang mengatur pelaksanaan layanan aborsi dapat dilakukan oleh faskes sampai ke tingkat Puskesmas, sehingga bisa jauh lebih dapat diakses. 

"Dengan adanya perubahan melalui PP 28/2024, fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut menjadi terbatas pada rumah sakit, klinik utama, balai kesehatan, dan praktik mandiri," ucap Johanna.

Padahal, merujuk pada panduan World Health Organization (WHO), ada batasan waktu 14 minggu untuk melakukan aborsi aman. Pada usia kehamilan 12 minggu ke bawah, ujarnya, aborsi medis bahkan dapat dilakukan mandiri dan hanya perlu pendampingan dan pemantauan oleh tenaga kesehatan. 

"Seharusnya penyusunan PP ini merujuk pada upaya mengembangkan metode aborsi dengan obat-obatan tersebut (medical abortion)," beber Johanna. "Dengan ini, faskes tingkat lanjutan juga tidak dibebani dengan kewajiban menyediakan perlengkapan tertentu." 

ICJR juga menyerukan empat poin atas penerbitan PP 28/2024 yaitu:
1. Kemenkes harus membuka opsi bahwa kebaruan pengaturan aborsi aman tersebut dapat berlaku mulai saat ini, tidak perlu menunggu Januari 2026, untuk memberikan perlindungan kepada korban;

2. Kemenkes perlu menjamin akses aborsi aman yang diperluas, termasuk menyediakan layanan aborsi aman dengan obat-obatan; 

3. Kewenangan memberikan keterangan dugaan aborsi perlu dipertimbangkan untuk tidak hanya diberikan kepada Kepolisian, namun juga lembaga pendamping korban; dan 

4. Kepolisian harus menunjukkan komitmennya menjamin penyediaan rujukan kontrasepsi darurat dan aborsi aman bagi korban kekerasan seksual, dengan membuat kebijakan nasional di lingkungan Polri. 

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus