SETELAH lama tersendat-sendat di kepolisian, berkas perkara atas nama Nur Usman, 55, kini lancar saja. Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, rupanya, merasa tak perlu mempelajari berkas itu terlalu lama. Tiga hari setelah menerima penyerahan dari polisi kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat langsung menyerahkan berkas ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu. Dan Kamis pekan ini, rencananya Nur Usman, bekas pejabat tinggi Pertamina itu, mulai diadili dengan tuduhan terlibat pembunuhan terhadap anak tirinya, Roy Bharya. Menurut Soedijono, ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ia telah membentuk majelis hakim untuk menangani perkara tersebut. Bisa dipastikan, sidang yang akan mendengarkan keterangan hampir 30 orang saksi itu bakal ramai. Apalagi kalau lima orang perwira polisi - atau salah satu dari mereka - yang diduga menerima atau coba disuap oleh Nur Usman ikut memberikan kesaksian. Kelima perwira polisi itu, termasuk Letkol Riyanto, bekas kepala Polres Jakarta Pusat, menurut sumber TEMPO, kini telah dua kali diperiksa. Selasa pekan lalu, kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution, memerintahkan agar Nur Usman ditahan - begitu ia menerima tanggung jawab atas diri tersangka. Dan hari itu juga tersangka dibawa ke rumah tahanan (rutan) Salemba untuk ditahan. Sejak hari itu, pria setengah baya yang biasa menempuh kehidupan sebagai anggota masyarakat kelas atas itu memasuki sebuah dunia yang lain sama sekali. Seorang diri ia menempati sebuah sel di Blok L nomor 3. Hal tersebut dimungkinkan karena, menurut sumber TEMPO di rutan Salemba, "Di sini, sekarang ini kebetulan sedang banyak sel yang kosong." Dan di dalam selnya, Nur Usman tak merasa kelewat tersiksa. Sebab, pengelolaan perusahaannya sudah dia percayakan kepada tenaga-tenaga muda yang dia percaya. Dan keenam anaknya bisa diurus oleh anak sulungnya yang sudah dewasa. "Saya malah tenang di sini. Saya merasa enak makan dan nyenyak tidur, tidak diganggu oleh urusan macam-macam," katanya kepada kerabat dan pengacaranya yang datang membesuk. Kondisi dalam tahanan dianggapnya sangat baik terutama bila dibandingkan dengan kehidupan dalam hutan di Indonesia Timur seperti pernah dialaminya dahulu. Sebagai pejabat Koordinator Pertamina wilayah Indonesia Timur, Nur Usman sering harus meninjau beberapa lokasi yang letaknya jauh di tengah hutan lebat. Di sana, ia mengaku harus belajar tidur di atas pohon dan berhari-hari harus puas hanya memakan buah-buahan dan umbi-umbian. Pernah, memang, pimpinan rutan Salemba menerima telepon yang memerintah- kan agar Nur Usman dilarang menerima kiriman makanan dari luar. Ia juga sebisanya jangan dibolehkan menerima tamu, dan gerak-geriknya dalam tahanan supaya dibatasi. Si penelepon, menurut sumber TEMPO, menyebut dirinya Bob Nasution, kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. "Setelah kami cek, ternyata Pak Bob merasa tidak pernah menelepon ke Salemba," kata sumber itu. Nur Usman merasa kerasan karena petugas rutan dan juga tahanan yang ada di situ baik-baik. Keadaan selnya juga dinilai baik dan bersih. Hal itu, katanya, sangat berbeda dengan apa yang selama ini dibayangkannya. Pendek kata, kata Nur Usman kepada mereka yang datang membesuk, "Dengan penahanan ini saya tidak takut nama saya jatuh. Suatu saat saya akan bangkit kembali. Ini semua sudah takdir, mau apa lagi?" Kesibukan Nur setiap hari dimulai pada pukul 05.00. "Dia selalu bangun pada jam itu, untuk sembahyang subuh," kata sumber TEMPO. Lepas sembahyang dan berdoa, ia jogging sampai kira-kira pukul 06.00. Satu jam kemudian ia mandi, makan pagi, dan pergi tidur atau beristirahat. Menjelang lohor ia bangun, mandi, lalu sembahyang. Siang sampai menjelang waktu asar digunakan untuk 'ngobrol dengan sesama tahanan. Sore, biasanya, ia kembali jogging, dan setelah isya baru ia tidur. Di tengah malam, kata sumber itu, ia suka terbangun dan melakukan sembahyang atau mengaji. "Sedikit pun dia tidak kelihatan gelisah atau was-was. Dia tenang sepanjang siang dan malam," kata sumber yang lain. Sumber ini menyatakan bahwa Nur Usman bisa bercakap lama sekali dengan sesama tahanan. Tetapi, ia tak pernah mau dekat dekat dengan para tahanan politik. Bukan apa-apa. "Kalau saya berhubungan dengan mereka, nanti dikira saya sudah kenal lama. Dan kalau perkara saya dikaitkan dengan politik, wah, bisa berabe," begitu kabarnya ia pernah berkata. Nur Usman, kata sumber yang tadi, tampaknya merasa terkesan setelah 'ngobrol dengan tersangka pencopet, penodong, pencuri, perampok, dan sejenisnya. Ia merencanakan akan menulis buku tentang mereka dan tentang pengalamannva dalam tahanan. Entah kapan akan dia tulis - juga, entah tentang pengalamannya, termasuk hubungannya dengan polisi. Yang pasti, menurut sumber TEMPO di Polda Jakarta, selain lima perwira yang diduga coba disuapnya, ternyata ada seorang lagi yang coba diperalat: seorang berpangkat capa (calon perwira). Terciumnya upaya penyuapan bermula dari sebuah surat kaleng yang ditujukan kepada Kapolri Jenderal Anton Soedjarwo. Surat dikirim per pos dan menyebutkan bahwa ada tiga perwira di Polres Jakarta Pusat yang disuap Nur Usman. Si pengirim, bisa jadi, orang di Polres itu juga yang merasa iri karena tidak kebagian. Tapi, tidak tertutup kemungkinan ia orang luar, yang merasa tak senang karena dalam berita acara pendahuluan (BAP) yang dibuat belakangan, nama Nur Usman sama sekali dihapuskan dari keterlibatannya dalam pembunuhan Roy Bharya. Pengusutan dilakukan dan perwira yang disebut-sebut itu mengakui memang pernah menerima bingkisan dari Nur Usman. Hanya saja, malam itu juga, bingkisan yang kabarnya berisi Rp 10 juta dikembalikan lagi. Meski begitu, Kapolda Mayjen Soedarmadji mengenakan tindakan administratif bagi mereka. Ada yang dialihtugaskan, ada pula yang dilarang mengikuti pendidikan. Dan kini Soedarmadji senang karena, katanya "Mereka sekarang berlomba-lomba menunjukkan prestasi. Itu 'kan baik." SURASONO Laporan Didi P., Erlina S., Bunga S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini