KASUS peledakan kapal Rainbow Warrior, milik kelompok internasional pencinta lingkungan, Green Peace, hingga awal pekan ini makin kusut saja. Kapal itu meledak di pelabuhan Auckland, Selandia Baru, sesaat sebelum memulai pelayaran protesnya ke Atol Mururoa, kawasan uji coba nuklir Prancis di Pasifik, 10 Juli. Seorang fotografer, Fernando Pereira, tewas sebagai korban. Teka-teki mulai berkembang setelah pihak keamanan Selandia Baru menahan dua tersangka berpaspor Swiss, Alain-Jacques Turenge dan Sophie-Claire Turenge. Ternyata, menurut pemerintah Bern, kedua paspor itu palsu. Belakangan terbukti, Alain dan Sophie masing-masing adalah mayor dan kapten angkatan darat Prancis. Peristiwanya bertambah menarik setelah minggu lampau presiden Prancis Francois Mitterrand memerintahkan pemeriksaan keterlibatan aparatnya dalam peledakan itu. Dari Wellington, memang gencar desas-desus yang menuding Prancis. Padahal, sebegitu jauh, "Kami belum menemukan bukti keterlibatan negeri itu dalam peledakan ini," ujar perdana menteri Selandia Baru, David Lange, di Fiji, pekan lalu. Mula-mula, Mitterrand memusatkan penyidikannya terhadap Direction Generale de la Securite Exteriere (DGSE), dinas rahasia luar negeri Prancis yang kerap dikaitkan dengan proyek kudeta di Afrika. DGSE, yang didirikan 40 tahun silam, kebetulan tidak akrab dengan Mitterrand. Partai Sosialis Prancis bahkan pernah berjanji menghapuskan lembaga ini kalau mereka berkuasa. Identitas Alain dan Sophie sebagai perwira angkatan darat dengan sendirinya menyingkirkan tuduhan terhadap DGSE. Apalagi, menurut Radio Prancis, "Pasangan itu memang dikirim untuk memata-matai Rainbow Warrior." Kapal itu, menurut siaran tadi, dilengkapi komputer dan peralatan radio canggih yang bisa berkomunikasi dengan negeri-negeri Eropa Timur. Tetapi, siaran resmi itu menyangkal keterlibatan Alain dan Sophie dalam peledakan. Mereka malah menyiratkan, sabotase itu terjadi atas pesanan Inggris, sebagai tindakan balas dendam terhadap Prancis, yang menjual rudal Exocet kepada Argentina di tengah konflik Malvinas, 1982. Setelah Rainbow Warrior meledak, dua kapal Green Peace lainnya tenggelam pula di pelabuhan Sydney, sepekan kemudian. Pekan ini juga, Alain dan Sophie dihadapkan ke pengadilan Auckland dengan tuduhan membakar dan membunuh. Dalam pada itu, untuk kasus Rainbow Warrior, dua tim kepolisian Selandia Baru diberangkatkan masing-masing ke Prancis dan Kaledonia Baru. Pemerintah Wellington, sebaliknya, mengundang pula tim Prancis untuk melakukan penyidikan di Selandia Baru. SIKAP tegas Mitterrand menangani perkara ini oleh banyak pengamat dikaitkan dengan suasana menjelang pemilihan umum di Prancis, tahun depan. Apalagi, ketika ternyata ia mengangkat Bernard Tricot sebagai ketua tim investigasi. Tricot adalah tokoh Gaullis kawakan yang disegani, dan sekjen Istana Elysee, 1967-1969. Untuk Prancis, keadaan bertambah rawan karena kasus Rainbow Warrior menghangat di tengah pertemuan tahunan Forum Pasifik Selatan di Raratonga, Kepulauan Cook. Pertemuan yang membahas perjanjian pembatasan kegiatan nuklir ini diikuti wakil-wakil Kepulauan Cook, Papua Nugini, Niue, Nauru, Kiribati, Tuvalu, Tonga, Kepulauan Solomon, Samoa Barat, Vanuatu, Fiji, Selandia Baru, dan Australia. Pada akhir pertemuan dua hari itu, hanya delapan negara peserta menandatangani "Perjanjian Raratonga", yang menentukan zone bebas nuklir di Pasifik Selatan. Zone itu meliputi garis pantai Lautan Hindia Australia sampai ke titik temu dengan zone bebas nuklir Amerika Latin di Pasifik Timur, dan dari Kiribati di utara khatulistiwa hingga 60 lintang selatan pada titik temu dengan kawasan perjanjian Antartika bebas nuklir yang didemiliterisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini