Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Perampokan (lagi) di Mana-mana

Sejumlah perampok sadistis yang banyak merenggut nyawa korban di Medan, satu persatu kena peluru polisi. Rumah sakit kewalahan menampung. Sejak kapoltabes dijabat muharsipin kejahatan menurun. (krim)

17 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMENJAK Letkol Muharsipin menjabat kapoltabes Medan, penjahat seperti dibuat keder. Dalam dua bulan terakhir, sudah 41 tersangka kena tembak semuanya di bagian kaki. Termasuk di antara mereka adalah Tono, Ramli, dan Dolok yang disikat pekan lalu di Desa Marindal. Ketiganya merupakan tersangka pembunuh Alpin dengan cara sadistis: mengampak dan menikam korban sampai 30 liang lebih. Tersangka yang terpaksa ditembak - karena mencoba lari atau melawan - biasanya dilarikan ke zaal 8 rumah sakit Pirngadi. Sampai pekan lalu, sebagian besar tersangka yang kena tembak masih dirawat di sana. Karena ruangannya sempit, apa boleh buat, mereka mesti tidur berhimpit-himpitan. Ceceran darah dan bau pengap menyebar, dan suara erangan kesakitan tak hentinya terdengar. Muharsipin merasa perlu bertindak keras, katanya, "Karena penjahat itu sudah kelewatan." Ada, misalnya, yang sampai menyuruh korbannya menelan kalung imitasi yang baru saja dijambret. Ada lagi yang, setelah merampok, memperkosa istri tuan rumah di hadapan suaminya sendiri, seperti dialami M. boru Hutabarat. Terakhir, mereka berani pula mengeroyok petugas polisi, Koptu P. Manik dan Koptu B.P. Sibarani, sampai gegar otak. "Seakan-akan, penjahat itulah yang mengatur hidup matinya seseorang," ujar Muharsipin kepada TEMPO, pekan lalu. Perwira menengah yang mulai bertugas di Medan April lalu itu pun lalu mengatur langkah. Ia memerintahkan anak buahnya mengintensifkan latihan menembak. Tidak berarti bahwa semua penjahat yang dijumpai mesti ditembak. Perintah tembak hanya berlaku bila tersangka melawan atau lari. Cara yang ditempuh Muharsipin mendatangkan hasil. Angka kejahatan, yang sebelumnya mencapai 700 kasus per bulan, melorot sampai 50%. Selain karena takut, ternyata - menurut Mayor Paimin A.B., kepala Satserse Poltabes Medan - banyak penjahat Medan yang mengungsi ke kota lain. Belum diketahui apakah di kota yang baru itu mereka sudah berani menjalankan aksi. Hanya, perampokan sadistis di beberapa kota di Sumatera Utara, belakangan ini, memang terasa menakutkan. Akhir Juli lalu, menjelang subuh, rumah Arsyad Tambunan di Langkat diketuk seseorang. Pedagang dan pemilik sebuah bus mini itu sudah curiga. Tapi, ia terpaksa membukakan pintu karena yang mengetuk pintu mengaku dirinya polisi. Begitu pintu terbuka, Arsyad dihujani tusukan pisau. Istrinya, Salbiah, dihantam dengan balok besar. Keduanya tewas, meninggalkan si kecil Tigor, 2 1/2 bulan. Sedangkan kedelapan penjahat kabur setelah mengambil Rp 1,5 juta dan 100 gram perhiasan. Tiga hari kemudian, kata Letda Arifin, kepala Polsek Besitang, para tersangka bisa ditangkap. Perampokan sadistis lain terjadi di Desa Bosar Maligas, Simalungun, sekitar 110 km dari Medan. Korbannya, Ritam, pemilik warung kecil, dan anak wanitanya, Rianti, 11. Setelah membunuh, kata kepala Polres Simalungun Letkol I.W. Suwena, isi warung dikuras dan perampok - yang identitasnya sudah diketahui - lari. Bandung pun tidak luput dari sasaran perampokan - malah pada siang hari. Yang menjadi sasaran, Sabtu dua pekan lalu, adalah rumah Pintar Sitorus di Jalan Rereng Manis. Entah mendapat informasi dari mana, kawanan rampok yang terdiri delapan orang itu mengetahui seolah di rumah Pintar ada uang tunai Rp 100 juta. Syukur, polisi bisa mengetahui niat jahat itu, sehingga kepala Satserse Poltabes Bandung Mayor Teddy Djuanda memimpin 10 anggota untuk melakukan penyergapan. Tiga tersangka, karena melawan, terpaksa ditembak. Benny, yang diduga otak komplotan, kena lutut dan dadanya. Ellyas kena perutnya, dan Dedi kena di bahu kiri. Empat tersangka lain menyerah, dan lainnya buron. Berbeda dengan Medan, menurut Teddy, pihaknya sebenarnya enggan menembak penjahat kalau tidak terpaksa benar. Untuk menekan angka kejahatan, katanya, polisi cukup meningkatkan monitoring terhadap penjahat kambuhan yang baru keluar dari LP. Langkah itu, menurut kepala Poltabes Bandung, Letkol M. Murip, cukup efektif. Rencana perampokan di rumah Pintar, antara lain, bisa diketahui karena polisi melakukan cara pendeteksian seperti itu. Celakanya, bila banyak penjahat ditahan, yang ketiban pulung akhirnya polisi juga. Di Medan, karena jumlah tahanan per hari kini rata-rata 400 orang - dari biasanya yang hanya 200 - anak buah Muharsipin jadi pusing. "Kami terpaksa menghemat anggaran untuk biaya makan mereka setiap hari," kata sebuah sumber.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus