ORANG Indonesia amat ramah terhadap setiap tamu asing, sekalipun dia disangka sebagai penyelundup manusia. Tak percaya? Simaklah sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Terdakwa Mootaz Attia Mohamad Hasan, seorang warga negara Mesir, hanya dituntut dengan Undang-Undang Keimigrasian. Padahal ia diduga terlibat dalam upaya penyelundupan manusia yang mengakibatkan lebih dari 300 orang tewas.
Tuntutan yang dibacakan Jaksa Tarsono pun amat ringan. Dalam sidang yang ketiga kalinya itu, Mootaz alias John alias Abu Quasey cuma dituntut hukuman penjara selama enam bulan dan membayar biaya perkara Rp 2.500. Dia didakwa dengan Pasal 53 Undang-Undang No. 9/1992 tentang Keimigrasian. Kenapa enteng sekali? "Ya, dia kan cuma melanggar izin tinggal," ujar Tarsono kepada pers.
Jaksa menyebut juga, sebelumnya Mootaz pernah dua kali dideportasi dari wilayah hukum Indonesia. Itu terjadi pada 1997 gara-gara masa tinggalnya kedaluwarsa selama empat bulan, dan pada Maret 2000 karena memakai visa turis untuk memandu wisatawan. Tapi, baru kali ini dia diadili.
Menghadapi tuntutan itu, Mootaz tampak tenang. Ia bisa menerima tuntutan, bahkan tak berminat melakukan pleidoi. "Saya pasrah saja. Terserah hakim, saya mau dihukum berapa," ujarnya.
Dia pantas menerimanya. Soalnya, lelaki yang punya anak dan istri di Jakarta ini sebetulnya bisa dibidik dengan dakwaan penyelundupan manusia. Mootaz diduga terlibat dalam pengiriman 418 pengungsi asal Irak, Iran, Afganistan, dan Pakistan pada Oktober tahun lalu. Para pengungsi ini sempat singgah di Cisarua, Bogor, sebelum menuju ke Pulau Christmas, Australia. Untuk pelayaran ini setiap orang ditarik biaya US$ 600 (sekitar Rp 5,43 juta). Berhasil? Nahas. Kapal kayu yang mereka tumpangi diempas ombak hingga tenggelam di Selat Sunda pada 20 Oktober 2001 dan menewaskan 300 orang.
Peristiwa yang menjadi perhatian internasional itu membuat polisi turun tangan. Setelah mendengar keterangan dari 40 pengungsi yang selamat, aparat Markas Besar Kepolisian RI akhirnya mencokok Mootaz, yang waktu itu telah lari ke rumah kosnya di kawasan Geger Kalong, Bandung. "Dia diduga berada di belakang penyelundupan para pengungsi ke Australia, termasuk yang mengusahakan kapal nahas itu," kata Brigadir Jenderal Saleh Saaf, Kepala Hubungan Masyarakat Mabes Polri.
Hanya, Mootaz sendiri membantah. "Itu fitnah," tuturnya. Laki-laki berkulit bersih dan berhidung bangir ini mengaku hanya sebagai calo pengiriman orang. Ia pun tak menerima gaji atas tugas yang baru sekali dilaksanakannya itu.
Bukan karena bantahan itu terdakwa lolos dari tuduhan menyelundupkan manusia, melainkan gara-gara Indonesia belum memiliki undang-undang tentang penyelundupan manusia. Selain itu, "Berkas pemeriksaan dari polisi juga tak menyentuh soal penyelundupan manusia," ujar Tarsono.
Sebuah kenyataan yang ironis jika dibandingkan dengan nasib Dahlan dan enam kawannya, yang diadili di Australia Barat pada Oktober tahun lalu. Mereka didakwa terlibat dalam penyelundupan ratusan orang dari Timur Tengah ke Pulau Christmas. Akhirnya, oleh Hakim Alton Jackson, mereka diganjar hukuman 4-6 tahun penjara.
Karena banjir manusia selundupan, pemerintah Australia mengeluarkan Amendment Act 2001. Dengan aturan baru ini penanganan kasus imigrasi yang biasanya ditangani oleh Pengadilan Federal, yang cuma ada di Sydney dan Canberra, kini bisa ditangani pengadilan setempat (magistrate courts). Jadi, prosedurnya lebih cepat dan efisien.
Pemerintah Indonesia? Rupanya baru akan memasukkan pasal tentang penyelundupan manusia dalam rancangan undang-undang keimigrasian yang baru. Dalam rancangan ini kejahatan tersebut diancam dengan hukuman maksimum 15 tahun.
Sebetulnya tanpa pasal semacam itu pun Mootaz bisa dituntut lebih berat. Kata ahli pidana Andi Hamzah, ia bisa didakwa dengan pasal tentang pelanggaran perjanjian untuk memberikan pekerjaan (Pasal 329) atau penipuan (Pasal 378) dalam KUHP. "Itu kan jelas penipuan, karena dia mengambil keuntungan dari pengiriman manusia yang gagal itu," ujar bekas jaksa ini. Tampaknya orang Mesir itu benar-benar mujur.
K.M.N., Ardi Bramantyo, Dewi Anggraini, Suseno (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini