Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Menjenguk Habermas dalam Seluloid

Festival filsafat di Utan Kayu memutar film dokumenter filsuf Jurgen Habermas. Apakah film membantu memahami pemikiran para filsuf itu?

1 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah Jurgen Habermas mendekati kanvas karya Paul Klee. "Bagaimana Anda memaknai lukisan ini?" kata seseorang di sebelahnya. Itulah salah satu adegan film dokumenter Habermas berjudul Einladung zum Diskurs, Jurgen Habermas in Stanford ("Undangan untuk Diskursus, Jurgen Habermas di Stanford"). Adegan itu terjadi saat ia mengunjungi San Francisco Modern Art Center. Penonton di Teater Utan Kayu, di luar dugaan, membeludak. Bahkan jumlahnya melebihi penonton Teater Utan Kayu saat memutar film-film fiksi. Itu membuktikan bahwa nama Habermas dikenal cukup luas di sini. Kita dapat menyaksikan bagaimana gaya filsuf yang telah berumur 70 tahunan itu memberi kuliah dan berdialog dengan mahasiswa. Penonton dibantu memahami isi film oleh Francisco Budi Hardiman, doktor filsafat lulusan Hochschule fur Philosophie Munchen, yang pernah menerbitkan buku tentang Habermas. Film Habermas: Einladung zum Diskurs adalah salah satu dari seri film yang diproduksi WDR (West-Deutscher-Rundfunk), sebuah kanal televisi di Jerman. Kanal tersebut sampai kini telah membuat 111 film mengenai filsuf seperti Jean Francois Lyotard, Paul Feyeraband, Umberto Eco, Karl Raimund Popper, Hans George Gadamer, Martin Heidegger, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, Erich Fromm, hingga Niklas Luhmann. "Film-film ini sangat membantu untuk memahami pemikiran mereka yang sulit," demikian tutur Budi Hardiman. Menurut Hardiman, film produksi WDR bisa bersifat sangat dokumenter dan simbolis. Misalnya sebuah film yang ingin membicarakan keterlibatan Martin Heidegger yang mendukung Nazi. Film memulai kisahnya dengan pelacakan dari Messkirch, kota kecil kelahiran Heidegger di Jerman, hingga wawancara dengan orang-orang tua yang kenal dengan keluarga Heidegger. Kadang kala struktur film itu dibuat seperti cara sang pemikir berfilsafat, seperti film dokumenter Karl Otto Apel yang dikenal sangat logis. Sepanjang hidupnya ia mencurahkan diri memikirkan hukum-hukum dari argumen. Maka, Karl Otto disyut berjalan dari taman ke taman sembari mengoceh. Ada lagi filsuf Paul Feyeraband, se-orang "anarkis" yang terkenal dengan bukunya yang berjudul Against Method. Di depan Gereja Santo Petrus, Vatikan, mengenakan kacamata hitam, kamera memperlihatkan ia mengejek semua filsuf. "Apa itu Huserl (Edmund Huserl), seolah ia tahu semua manusia? Apakah dia tahu manusia Peru?" demikian seperti ditirukan Hardiman. Bahkan ada film yang isinya melulu simbolis. Film mengenai Hans Blumenberg, seorang filsuf yang menekuni filsafat simbol, misalnya, sama sekali tidak menampilkan wajah sang filsuf. Blumenberg dikenal sebagai seorang pemikir yang menjauhi pemotretan. Hardiman mengakui bahwa banyak gagasan filsafat yang bisa diterangkan lebih baik dengan visual, misalnya Emmanuel Levinas yang menulis soal filsafat wajah. Film ini menampilkan berbagai raut wajah orang menderita, sehingga gagasan Levinas bisa mudah ditangkap. Soal tema alienasi manusia dalam industri, yang direfleksikan oleh mazhab Frankfurt, juga menekankan visualisasi adegan kerja mesin, orang-orang yang membaca buku tapi satu sama lain saling terasing. Setelah itu terdengar suara Max Horkheimer, adegan seks penis meluncur ke dalam vagina dengan latar suara derap mesin. Semuanya menunjukkan manipulasi mesin atas sisi alami manusia. Selain Habermas, filsuf Jerman "senior" yang masih hidup sekarang adalah Hans George Gadamer. Menurut Hardiman, Gadamer kini telah berusia lebih dari 100 tahun, tapi masih aktif berdialog dengan mahasiswa. Selain film dokumentar Habermas, Teater Utan Kayu juga menayangkan film fiksi tentang Al-Farabi, filsuf dari Andalusia, Spanyol, abad-12, karya sutradara Mesir, Jousef Cahine. Di Kairo, bioskop-bioskop yang menayangkan film ini dahulu mendapat ancaman bom dari kalangan yang penuh syak wasangka. Film ini sesungguhnya tidak begitu menarik karena menampilkan stereotip nyanyian dan tari Arab. Tapi toh ia masih bisa membuat imajinasi penonton mengembara, terutama saat film itu memfokuskan diri pada buku Farabi berjudul Tahafut al Tahafut (buku yang mengkritik Tahafut al Falasifah karya Al-Ghazali), yang dibakar di Andalusia dan diselamatkan oleh pengikut-pengikutnya ke Mesir. Film ini bisa membantu imajinasi kita saat membaca banyak disertasi tentang Farabi yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Bila pemutaran film dokumenter dan fiksi mengenai filsuf ini diadakan secara rutin, pasti akan sangat mendukung penerbitan buku filsafat yang makin marak. Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus