Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bola plastik yang disodorkan tidak lagi menarik bagi bocah laki-laki itu. Padahal sebelumnya dia begitu gemar bermain bola bersama teman-teman sebayanya. Kini keinginannya bermain bola se-perti lenyap tak berbekas. Dia lebih banyak diam di rumah. Raut wajahnya lebih se-ring terlihat murung. ”Malu ah, sering di-ejekin, saya masuk penjara. Saya dibilang jahat,” ujar bocah itu ketika Hambali Batubara dari Tempo menemuinya dua pekan lalu.
Di rumah orang tuanya di Desa Paluh Manis, Kecamatan Gebang, Kabupa-ten Langkah, Sumatera Utara, bocah k-ecil yang umurnya belum genap delapan tahun itu lebih banyak menunduk dan mendekap erat ayah dan ibunya. Ia se-perti ketakutan dipisahkan dari orang tuanya. ”Dia sekarang sudah berubah drastis,” ujar Saedah, ibu bocah itu.
Semua ini berawal dari perkelahian bocah itu, sebut saja Rian, dengan kakak kelasnya pada 31 Agustus lalu. Perkelahian itu sendiri berawal dari saling ejek antara keduanya. Buntut perkelahian ini-lah yang tak diduga Saedah. Anaknya diajukan ke pengadilan.
Menurut Saedah, dibawanya anaknya ke meja hijau itu lantaran tak terjadi per-damaian antara dirinya dan Ani Sembiring, ibu lawan bergelut anaknya.
Kendati demikian, saat sidang keempat, Saedah sudah memberikan pengganti pengobatan kepada Ani Rp 1 juta. ”Itu atas anjuran ibu hakim,” katanya.
Di pengadilan, kasus akibat perkelahi-an antarbocah ini ditangani hakim tung-gal Tiurmaida H. Pardede. S-aedah menuding ucapan ibu hakim itulah yang membuat anaknya ketakutan dan menjadi trauma. Di sidang pertama yang berlangsung tertutup di Pengadil-an Ne-geri Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, 19 Januari 2006, kata Saedah, anaknya yang masih duduk di kelas III SD itu sangat ketakutan melihat Tiurmaida.
Menurut Saedah, saat pertama kali sidang, hakim Tiurmaida sudah me-ngeluarkan kata-kata yang membuat dirinya terkejut. Bagai seorang pera-mal, Tiurmaida berujar, ”Dari muka-mu saja sudah tampak kau adalah anak nakal.” Ucapan hakim yang ba-ru tahun lalu lulus dari pendidikan calon hakim itu rupanya sangat melukai perasaan Saedah.
Lalu penderitaan anaknya, Rian, pun bertambah ketika Tiurmaida memerintahkan bocah itu dimasukkan ke rumah tahanan di Pangkalan Brandan. Ini rumah tahanan orang de-wasa dan bukan untuk anak-anak. Penahanan itu dilakukan hingga 2 Februari. Sugiyanto, ayah Rian, meng-aku peristiwa itu bagai mimpi buruk buat dirinya dan terutama anaknya. ”Ini arogansi seorang hakim kepada anak di bawah umur.”
Namun Tiurmaida menyatakan diri-nya memiliki alasan untuk melakukan tindakan seperti itu. ”Perbuat-an terdakwa adalah tindak pidana. Yang dilakukan terdakwa adalah peng-aniayaan,” ujarnya. Apalagi, kata Tiur-maida, orang tua Rian beberapa kali ti-dak hadir dalam persidangan tanpa alasan kuat. Sugiyanto mengaku ia memang pernah tak datang menghadiri sidang. ”Tapi hanya dua kali,” katanya.
Ada alasan lain mengapa Tiurmaida memerintahkan Rian ditahan. Sugiyanto dan Saedah, menurut hakim ini, selalu memprovokasi anaknya dan meng-ajari sang anak memberikan keterangan berbelit-belit. Selain itu, Tiurmaida ju-ga menyebut keluarga itu tidak memiliki itikad baik untuk berdamai dengan keluarga korban, yang jauh lebih susah hidupnya daripada mereka. ”Mereka ju-ga membuat kegaduhan di persidang-an,” katanya.
Persidangan dan penahanan Rian ini kemudian memancing kehebohan. Hal ini lantaran dua pengacara, Jhonatan Pang-gabean dan Suryani Guntari, secara tak sengaja melihat persidangan Rian saat mengurus perkara klien mere-ka di Pengadilan Negeri Stabat, Pangkalan Brandan, pada 2 Februari 2006. Kedua pengacara itu menemui orang tua Rian dan menyatakan penahanan Rian melanggar Undang-Undang Pengadilan Anak (UU No. 3/1997). ”Tidak seharusnya seorang anak di bawah umur delapan tahun ditahan,” ujar Suryani.
Undang-undang ini memang mensyaratkan hanya anak yang sudah mencapai usia delapan tahun boleh diadili. Lalu kenapa Rian tetap diproses ke meja hijau? Ternyata karena alat bukti yang dipakai penyidik dan hakim berbeda. Di surat dakwaan, usia bocah itu didasarkan pada kartu keluarga, yakni 9 Desember 1997. Sedangkan hakim melihat umur sang anak berdasarkan rapornya. Pada buku rapor itu usia Rian sudah delapan tahun.
Kedua pengacara yang juga aktivis di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak itu memprotes tindakan Tiurmaida. Tapi ibu hakim ini tetap pada pendirian-nya, bahkan belakangan oleh Ke-tua Pengadilan Negeri Stabat, Syamsul Bah-ri, masa penahahan Rian diperpanjang hingga 4 Maret 2006.
Tindakan Ketua Pengadilan Negeri Sta-bat itu membuat dua pengacara itu merasa kecewa. Pada 7 Februari mereka menyurati Syamsul Bahri, meminta per-sidangan Rian dihentikan. Surat itu mereka tembuskan ke mana-mana, dari Kejaksaan Negeri Stabat, Kepala Po-l-res Stabat, Bupati Langkat, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, hingga Komisi Nasional Perlindungan Anak.
Jhonatan juga menemui Ketua Peng-adilan Tinggi Sumatera Utara. Me-nurut Jhonatan, ketua pengadilan tinggi saat itu berjanji meminta Syamsul Ba-hri menghentikan persidangan dan melepas-kan Rian dari tahanan. Tapi janji tinggal janji. Hingga Rabu pekan lalu bocah itu masih menjalani persidangan dan tetap ditahan.
Kasus Rian ini sendiri mendapat perhatian Komisi Yudisial. Menurut anggota Komisi Yudisial, Irawady Joenoes, tindakan yang dilakukan Tiurmaida sudah berlebihan. ”Dia tidak menghayati apa artinya mengutamakan kepenting-an anak,” kata Irawady, yang beberapa waktu lalu menengok Rian.
Kendati protes penahanan dan persidangan Rian terdengar dari mana-mana, toh Pengadilan Tinggi dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menyatakan penolakannya mengambil sikap terhadap Tiurmaida dan jaksa Aprianto Naibaho. ”Kami tetap percaya pada penetap-an hakim Pengadilan Negeri Stabat. Lagipula, putusan hakim tidak bisa diintervensi ataupun dikomentari,” ujar Kepala Humas Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, P. Simanjutak, Kamis pekan lalu.
Tampaknya kedua lembaga penegak hukum itu terburu-buru memberikan pen-dapatnya dan kurang cermat melihat kinerja aparatnya. Simak saja pernyataan juru bicara Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara A.J. Ketaren perihal alat bukti usia Rian. Menurut dia, jaksa Aprianto mendasarkan usia bocah itu pada rapor. ”Makanya jaksa melimpahkan ke pengadilan,” ujarnya. Padahal, di surat dakwaan, usia Rian didasarkan pada kartu keluarga, yakni lahir pada 9 Desember 1997. Melihat fakta ini, ujar Jhonatan, seharusnya Tiurmaida menolak menyidangkan perkara ini.
Semuanya kini memang berpulang ke Tiurmaida. Ibu hakim ini mempunyai kewenangan penuh menentukan nasib Rian. Sebagai ibu, Tiurmaida tentu paham terhadap perasaan seorang bocah. Sebagaimana arti Tiurmaida—tatapla-h segalanya dengan jernih—masyar-akat berharap ibu hakim melihat kasus yang ditanganinya ini dengan kejernih-an pikiran dan hati seorang ibu dan se-orang hakim.
Maria Hasugian, Bambang Soed (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo