Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Serangan Balik dari Kebayoran

Selain mengajukan kasasi atas putusan bebas para terdakwa korupsi Bank Mandiri, kejaksaan kini membidik dengan sangkaan pencucian uang.

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sini banyak bank. Kenapa- harus menyimpan uang di Swiss?” kata Jaksa Agung Ab-dul Rahman Saleh, akhir Fe-bruari lalu. Kejaksaan memang tengah- menyorot satu rekening milik Eduard Cor-nellis William Neloe—mantan Direk-tur Utama Bank Mandiri, yang baru saja divonis bebas oleh majelis Pengadilan Ne-geri Jakarta Selatan—di sebuah bank Swiss sejumlah US$ 5 juta (sekitar Rp 45 miliar). Rekening tersebut ditelisik oleh Tim Pemburu Koruptor saat berkunjung ke Swiss tahun lalu.

Duit itu juga menjadi barang bukti kasus ”kredit tersendat” PT Cipta Graha Nusantara senilai Rp 160 miliar, yang menyeret Neloe dan dua pejabat Bank Mandiri, yakni I Wayan Pugeg dan M. Sholeh Tasripan, sebagai terdakwa korupsi. Majelis hakim yang diketuai Gatot Suharnoto sebenarnya memerintahkan pe-mulihan hak dan pengembalian aset yang disita kejaksaan. Tapi rupanya ini tidak berlaku untuk rekening di Swiss itu.

Menurut Ketua TPK Basrief Arief, tak lama lagi Neloe akan dipanggil polisi untuk menjelaskan rekeningnya itu. ”Nanti dia akan ditanya asal-usulnya,” ka-ta Basrief, pekan lalu. Selain itu akan di-teliti kapan rekening itu dibuat (tempus delicti). ”Apakah ada kaitan dengan- kasus korupsi lalu atau kasus lain,” ujar-nya.

Pengacara Neloe, Juan Felix Tampu-bo-lon, menilai langkah kejaksaan memerik-sa keabsahan rekening kliennya di Swiss tak berdasar. ”Tuduhan pencucian uang itu mengada-ada. Belum ada bukti,” kata Juan Felix, pekan lalu. Rekening tersebut diblokir sejak korupsi Bank Mandiri mulai diusut, karena menjadi jamin-an pengganti uang negara.

Selain mengeluarkan jurus mengusut re-kening, kejaksaan juga melancarkan jurus kasasi, pekan lalu. Menurut jaksa, putusan Neloe bukanlah bebas murni, karena hakim salah menafsirkan unsur pembuktian.

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hu-kum Kejaksaan Agung Masyhudi Rid-wan, yang bermarkas di kawasan Keba-yoran Baru, hakim menafsirkan unsur- ”dapat merugikan negara” dalam Undang-Undang Antikorupsi (UU Nomor- 31 Tahun 1999) dengan memakai pengerti-an Undang-Undang Perbendaharaan Nega-ra (UU No. 1 Tahun 2004). ”Jelas tidak- bi-sa, tempus delicti pada tahun 2002, kok, meng-gunakan aturan yang 2004,” ka-ta-nya.- Putusan jadi janggal. ”Unsur melanggar hukum dan memper-kaya orang la-in terbukti. Tapi kerugian negara dibilang tidak ada. Kan lucu?” kata dia.

Upaya kasasi ini bisa disebut coba-coba. Sebab, menurut hukum acara pi-da-na, vonis bebas (vrijspraak) tak bisa dika-sasi. Tetapi yurisprudensi Mahkamah Agung menyatakan sebaliknya.

Setahun setelah Kitab Undang-Un-dang- Hukum Acara Pidana resmi berla-ku, pada 1981, muncul kasus korupsi di Bank Bumi Daya (BBD). Perkara ini dikenal dengan sebutan ”Kasus Natalegawa”. Saat itu Operasi Tertib menangkap Direktur Kredit BBD Raden Sonson Natalegawa karena ”ada main” dengan Endang Wijaya alias A Tjai, pemilik PT Jawa Building, yang membangun kota satelit Pluit di Jakarta Utara. Endang Wijaya memperoleh kredit Rp 36,9 mi-liar secara tidak sah dengan menyogok Natalegawa. Misalnya dengan memberikan imbalan rumah dan kios di Pluit. Belakangan kredit itu jadi macet.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian membebaskan Na-ta-legawa dari tuntutan 10 tahun penjara dan tuduhan korupsi alias bebas murni. Dalihnya, kredit dan segala kemudahan-nya itu diberikan BBD berdasarkan ketentuan perbankan. Keputusan direksi BBD juga bukan semata-mata tanggung jawab Natalegawa selaku direktur. Adapun Endang Wijaya masuk bui 10 tahun. Ia dinyatakan terbukti menyogok untuk- mendapat kredit. Di tingkat kasasi, pada 1983, putusan Natalegawa dianulir. Dia- di-hukum dua setengah tahun penja-ra.- Me-nurut MA, korupsi tidak semata pe-lang-garan pidana formal, tapi juga material.

Konsistensi keputusan ini terus diuji. Asas pembuktian ini pernah kandas dalam kasus korupsi Rp 40 miliar dana nonbujeter Bulog dengan terdakwa Akbar Tandjung, 12 Februari 2004. Majelis kasasi membebaskan Akbar Tandjung ka-rena tak terbukti melanggar rumusan hukum formal. Padahal Ketua Umum Par-tai Golkar (kala itu) dijatuhi hukum-an empat tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Uniknya, sebulan kemudian, yurispru-densi Natalegawa dijadikan ”cantelan” majelis kasasi kasus korupsi Bank Bali dengan terdakwa Pande Lubis. Wakil Ke-tua Badan Penyehatan Perbankan Na-sional ini dihukum empat tahun penjara meski sebelumnya diputus bebas di Peng-adilan Negeri Jakarta Selatan.

Arif A.K., Ami Afriatni, Badriah, Rudy Prasetyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus