Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEJENGKELAN penyidik Kepo-li-sian Wilayah Surakarta terha-dap- kejaksaan negeri agaknya telah mencapai puncak. Sudah tujuh kali berkas penyidikan ka-sus korupsi anggota DPRD mere-ka ki-rim- ke lembaga itu, tapi selalu saja ber-kas tadi dilempar kembali dengan status- P-19 alias kurang lengkap. ”Kala-u jaksa- tak menerima lagi berkas yang kami ki-rim-kan, kami akan meminta Komisi- Pem-berantasan Korupsi mena-ngani per-kara ini,” kata Kepala Kepolisian Wi-la-yah- Surakarta, Komisaris Besar Yotje Mende.
Berkas penyidikan yang seperti ter-gan-jal- ini merupakan berkas keempat yang dikirim polisi ke kejaksaan. Sebelumnya, ada tiga berkas dengan kasus seru-pa- yang dikirim polisi ke kejaksaan. Ta-pi, berbeda dengan tiga berkas pertama-, ja-lan berkas terakhir ini tak mulus. Jak-sa selalu saja melihat ada ”lubang” da-lam- berkas itu dan melemparkannya kem-bali ke Gendengan, Markas Kepolisi-an Wilayah Surakarta, untuk dilengkapi.-
Ini memang cerita lain dari kisah korupsi yang dilakukan anggota DPRD Su-rakarta periode 1999–2004. Kasus ko-rup-si- yang melibatkan 38 anggota Dewan itu ter-bongkar pada awal 2004. Ke-tika itu, se-jumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Forum Peduli Anggaran Kota Surakarta- melaporkan- adanya korupsi dalam penyu-sunan dan penggunaan Anggaran Pen-dapatan dan Be-lanja Daerah (APBD) Solo periode 2003.
Menurut Ketua Forum Peduli Anggar-an- Kota Surakarta, Alif Basuki, penye-le-wengan duit negara itu dilakukan de-ngan beragam cara. Antara lain, memasukkan dana asuransi, menaikkan u-ang saku perjalanan dinas, menaikkan bi-aya operasional, hingga mengalokasikan anggaran yang dibuat-buat untuk ke-pentingan fraksi. Jumlah uang negara- yang digangsir para wakil rakyat itu se-ki-tar Rp 9 miliar.
Kendati kasus korupsi ini gencar di-te-riak-kan Forum Peduli, polisi tak langsung tu-run tangan. Baru enam bulan ke-mudian, setelah mendapat hasil audit Ba-dan Pe-ngawas Keuangan dan Pemba-ngu-nan (BPKP) Jawa Tengah, polisi mulai mengusut kasus ini. Menurut BPKP, se-dikitnya uang negara yang tak jelas peng-gunaannya itu sekitar Rp 4 miliar.
Polisi membagi pemeriksaan kasus ini dalam empat berkas. Berkas pertama- me-nyangkut pimpinan DPRD, yakni Ke-tu-a DPRD Bambang Murdiyanto dan wa-kilnya, Yusuf Hidayat, berkas kedu-a a-dalah panitia rumah tangga yang terdi-ri delapan anggota Dewan, berkas ketiga me-nyangkut 28 orang anggota Dewan, dan berkas keempat khusus Sekretaris De-wan, Soemarlan Djatmiko.
Dari semua berkas itu, hanya berkas- yang berkaitan dengan 28 anggota DPRD i-tu yang hingga kini belum ke meja hijau. Bambang Murdiyanto dan Yusuf Hi-dayat, misalnya, pada Agustus- ta-hun la-lu sudah divonis lima tahun o-leh Pengadilan Negeri Surakarta dan di tingkat pengadilan banding hukuman-nya- turun menjadi 4 tahun. Adapun de-la-pan anggota DPRD yang masuk anggota pa-nitia rumah tangga divonis Pengadi-l-an- Negeri masing-masing 2,5 tahun. Soe-marlan Djatmiko kini tengah diadili di Pengadilan Negeri Solo.
Menurut Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Solo, Eri Pudyanto, pa-ra anggota Dewan yang sudah diadili i-tu jelas-jelas melakukan korupsi. Mere-ka-, kata Eri, dari Sekretariat Dewan, pa-nitia rumah tangga, sampai pimpinan se-cara berantai dan aktif menyelewengkan- APBD. ”Anggaran Sekretariat Dewan- yang seharusnya untuk berbagai keper-luan- operasional DPRD, misalnya, ter-nyata digunakan menaikkan take home pay anggota DPRD,” kata Eri.
Nah, ini bedanya dengan 28 anggota Dewan lainnya. Menurut Eri, para anggota Dewan yang berkas pemeriksaannya belum diselesaikan polisi itu hanya- mem-berikan persetujuan saat APBD 2003 ditetapkan. ”Tidak ada bukti mere-ka- melakukan korupsi,” kata Eri. Karena itu, menurut dia, jika polisi berkukuh- bah-wa mereka terlibat korupsi, pihak-nya meminta polisi menyerahkan bukti-buk-ti. ”Misalnya notulen-notelen rapat yang menunjukkan para anggota Dewan- me-ngutak-atik angka-angka agar pengha-sil-annya bertambah,” katanya.
Di mata bekas anggota DPRD Solo yang juga salah satu dari 28 orang yang di-duga melakukan korupsi, Hendratno-, ti-dak rampung-rampungnya berkas per-ka-ra itu menunjukkan aparat penegak hu-kum ragu-ragu dalam memutuskan di-rinya dan rekan-rekannya bersalah a-tau tidak. ”Saya sendiri beranggapan ka-mi tidak bersalah karena, sesuai de-ngan undang-undang, DPRD berhak me-nen-tukan anggarannya sendiri,” kata Hendratno yang kini menjadi Sekretaris- Dewan Pimpinan Cabang PDIP Kota -So-lo-.
Pendapat yang sama dilontarkan Mu-ham-mad Fadjri, anggota DPRD yang ju-ga dituduh terlibat korupsi itu. ”Teman-teman saya yang sudah divonis itu ju-ga sebenarnya tidak bersalah,” kata ang-gota Partai Keadilan Sosial yang kini terpilih kembali menjadi anggota De-wan- itu. Fadjri meminta penyidik tidak per-lu mencari-cari kesalahan dirinya- dan 27 temannya yang lain jika memang ti-dak ada. ”Lebih baik penyidik me-ngelu-arkan surat perintah penghentian pe-nyidikan,” katanya.
Lain kejaksaan, lain pula kepolisian. Me-nurut Kepala Subbagian Tindak Pi-da-na- Korupsi Polwil Surakarta, Bambang Su-giharto, pihaknya sudah semaksimal mungkin melengkapi berkas yang dinilai kejaksaan kurang. ”Kami juga selalu- me-minta petunjuk Kepolisian Daerah Ja-wa Tengah dan Markas Besar Polri untuk- kasus ini,” kata Bambang.
Selama ini kejaksaan sendiri menunjuk sejumlah kekurangan dalam berkas yang dikirimkan polisi itu. Kekurangan itu, misalnya, polisi tak bisa melampirkan bukti-bukti notulen rapat anggota De-wan atau polisi tak melampirkan buk-ti- peranan masing-masing anggota Dewan. Kejaksaan juga pernah mengemba-li-kan berkas dari polisi lantaran polisi tak melampirkan keterangan dari Mula-di-, saksi ahli yang diminta kejaksaan. Be-lakangan, kejaksaan melemah dan se-tuju mengganti Muladi, pakar pidana yang juga Gubernur Lembaga Keta-hanan Nasional itu dengan I Nyoman Syarekat Putra Jaya, pakar pidana dari Universitas Diponegoro.
Sikap kejaksaan yang selalu mengembalikan berkas penyidikan dari polisi itu menimbulkan keheranan Alif Basuki yang kini menjabat Wakil Sekre-taris Jenderal Koalisi Pemberantasan Korupsi. ”Polisi sudah melakukan kerja-nya secara maksimal, tapi jika dianggap- masih kurang seharusnya jaksa- yang menambahkannya, karena itu menjadi kewenangannya,” kata Alif. Menurut dia, jika kelak kejaksaan masih mengembalikan berkas yang dikirim polisi, pihaknya akan mengajukan gugatan praperadilan terhadap kejaksaan. ”Kami juga akan melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Alif.
Ancaman polisi dan Koalisi Pembe-rantasan Korupsi membawa kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi ternyata tak membuat gentar kejaksaan. ”Sejak awal saya minta kasus ini diserahkan ke KPK untuk disidik dari nol lagi mengingat polisi tidak juga berhasil menemukan bukti peran aktif dan inisiatif sebagai unsur perbuatan korupsi itu,” katanya.
Sampai kini polisi Solo memang belum benar-benar patah arang menghadapi kejaksaan. Pekan lalu, untuk kedelapan kalinya, berkas korupsi itu mereka antar ke kejaksaan. ”Tim penyidik tidak bisa memenuhi notulen rapat satu per satu anggota Dewan yang diminta kejaksaan. Yang kami sertakan notulen rapat paripurna dan saya kira itu cukup menjadi dasar pemeriksaan selanjutnya,” kata Kapolwil Sura-karta Komi-saris Besar Yotje Mende kepada Tempo. Yotje sendiri berharap berkas itu tak dikembalikan lagi oleh kejaksaan.
Ribut-ribut soal bolak-baliknya berkas pemeriksaan korupsi DPRD Solo itu sudah masuk ke ruang kerja para anggota Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta. Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Erry Riyana Hardjapamekas, pihaknya siap mena-ngani kasus tersebut. ”Itu sesuai dengan fungsi KPK dalam melakukan super-visi,” katanya.
L.R. Baskoro, Imron Royid dan Anas Syahirul (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo