Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Upaya Membangun Citra di Selatan

Hakim Andi Samsan Nganro kini memimpin Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pengadilan yang, antara lain, dijuluki ”kuburan” pemberantasan korupsi.

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN pria berkerumun di sekitar pintu gerbang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tepatnya di Jalan Ampera Raya, sepotong jalan padat di kawasan Cilandak. Setiap ada kendaraan berjalan pelan, para pria itu melambaikan tangan sembari berteriak, Maksudnya, mereka menawarkan diri untuk membantu mengurus bagi orang yang tersangkut perkara pelanggaran lalu lintas atau lazim disebut ”kena tilang”.

Di salah satu sudut halaman pengadilan, Selasa pekan lalu, misalnya, tampak dua pria tengah membicarakan ongkos bantuan mengurus perkara tilang. Sang calo menawarkan biaya Rp 75 ribu. ”Itu harga pelanggaran jika tidak memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi),” kata pria berkaus putih itu.

Setelah melakukan negosiasi dan ongkos bantuan mengurus perkara tilang disepakati, sang calo kemudian bergegas masuk kantor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sekitar 15 menit kemudian, ia sudah muncul kembali dengan menggenggam selembar STNK sang klien.

Klien itu tampak lega. Untuk mendapat kembali STNKnya, ia tak perlu antre dan ikut sidang sebagaimana ratusan orang lainnya yang ada di sana. Sang calo juga senang. ”Lumayan buat makan,” ujar pemuda itu kepada Tempo. Menurut dia, dari jasa untuk mengurus perkara tilang itu, ratarata satu perkara ia mendapat keuntungan Rp 5.000 sampai Rp 10 ribu.

Pemandangan calocalo tilang itulah yang sepekan terakhir ini membuat risau Ketua Pengadilan Jakarta Selatan yang baru, Andi Samsan Nganro. Andi memang baru pada 8 Februari lalu berkantor di pengadilan yang terletak di Jalan Ampera Raya Nomor 133 itu. ”Sepanjang karier saya sebagai hakim, memang belum pernah saya menginjakkan kaki di Pengadilan Jakarta Selatan ini,” ujarnya.

Andi sendiri punya kisah perihal calo tilang di kantor barunya itu. Beberapa hari sebelum dilantik menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan mobilnya ia melintas di Jalan Ampera. Ketika itu puluhan calo tilang sudah berdiri di depan kantor Pengadilan Jakarta Selatan. ”Saya kira joki three in one, tapi saya bertanyatanya kawasan terlarangnya di mana,” ujarnya.

Belakangan, baru ia mengerti jika para pria yang melambailambai itu adalah calo perkara tilang. Seorang di antara mereka sempat menanyakan apakah Andi mau mengikuti sidang untuk mengambil STNK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. ”Pemandangan ini benarbenar membuat saya malu,” katanya.

Memberantas calo tilang kini menjadi pekerjaan pertama Andi. Menurut dia, para calo itu tak mungkin bergentayangan tanpa kerja sama dengan orang dalam. ”Karena itu, saya akan bikin panitia khusus,” ujarnya. Panitia ini akan mengkaji dan mencari jalan bagaimana memberantas para calo itu. ”Saya juga akan bekerja sama dengan kepolisian, karena masalah ini mengganggu ketertiban,” ujarnya.

Tentu bukan hanya calo tilang—calo perkara kelas teri—yang bakal dilibasnya. Andi tahu para calo perkara kakap alias para mafia peradilan juga berseliweran di kantornya. Tapi, ia mengaku tak mudah membekuk calo seperti ini. ”Mereka melakukannya dengan cara sangat rahasia,” ujarnya. Karena itu, agar gerakgerik para calo perkara kakap ini tidak leluasa, Andi akan meningkatkan sistem pengawasan di Pengadilan Jakarta Selatan.

Sebagai Ketua Pengadilan Jakarta Selatan yang baru, pria 53 tahun lulusan Universitas Hasanuddin Makassar pada 1978 itu mengaku sedang membuka mata dan telinga lebarlebar. Salah satu informasi yang sudah masuk, antara lain, laporan adanya perkaraperkara yang ditahan di pengadilannya dan tidak dikirim ke lembaga peradilan lebih tinggi. Laporan semacam ini sudah ia tindak lanjuti dengan memerintahkan jajarannya secepat mungkin menyelesaikan pemberkasan perkara yang ada di pengadilannya. ”Saya tidak mau melihat ada perkara yang mandek,” ujar pria yang memulai kariernya sebagai hakim di Pengadilan Negeri SoaSiu, Halmahera Tengah, 23 tahun lalu itu.

Sebelum menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sejak 2003 Andi adalah Ketua Pengadilan Negeri Cibinong, Bogor. Sebelumnya lagi, ia hakim sekaligus juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Andi terbilang sukses memimpin Pengadilan Negeri Cibinong. Salah satu aturan Andi saat menjadi Ketua Pengadilan di Cibinong adalah melarang para hakim menerima telepon serta membaca dan atau mengirim SMS saat sidang.

Untuk memantau ulah para hakim saat bersidang, ia memasang kamera pada keempat ruangan sidang di Pengadilan Cibinong, Kamera itu dihubungkan dengan empat monitor di ruang kerjanya. Melalui monitor itulah ia melihat setiap gerakgerik dan ucapanucapan yang dikeluarkan para hakim saat bersidang.

Menurut salah seorang hakim di Pengadilan Negeri Cibinong, Marsudin Nainggolan, adanya kamera itu membuat para hakim lebih berhatihati dan disiplin dalam bersidang. Lewat kamera ini pula suatu ketika Andi pernah memergoki seorang hakim memainkan perkara. Hakim itu tak bisa berkelit dan Andi meminta hakim tersebut dipecat. ”Dia memang pribadi yang tegas dan penuh perhatian,” ujar Marsudin.

Andi berprinsip para pencari keadilan harus mendapatkan pelayanan yang baik. Ia tak menyangkal jika sekarang kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sangat rendah. ”Ketikdakpercayaan ini timbul karena ulah segelintir pelaksana peradilan sendiri,” katanya. Citra inilah yang akan diperbaikinya. ”Tentu semua ini tak semudah membalik telapak tangan,” kata suami Norida dan ayah satu anak ini.

Andi tak menyangkal, Pengadilan Jakarta Selatan menyandang citra tak sedap di mata masyarakat. Pengadilan ini, misalnya, dijuluki sebagai ”kuburan” pemberantasan korupsi dan ”kuburan” pers. Sebutan tak nyaman ini muncul lantaran banyak kasuskasus pemberantasan korupsi dan pers yang kandas di Pengadilan Jakarta Selatan. Para terdakwa koruptor dibebaskan dan pers acap dinyatakan sebagai pihak yang bersalah dan kalah dalam sengketa atau gugatan yang disidangkan di sana.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, setidaknya ada 13 perkara korupsi kelas kakap yang terdakwanya divonis bebas atau perkaranya terhenti di Pengadilan Jakarta Selatan. Mereka, antara lain, Nurdin Halid (kasus dana Bulog), Joko S. Tjandra dan Rudy Ramli (kasus Bank Bali), Muchtar Pakpahan (kasus dana Jamsostek), Ricardo Gelael, Hutomo Mandala Putra, dan Hokiarto (kasus tukar guling tanah Bulog dengan Goro), dan Arifin Panigoro (kasus dana PT Jasindo).

Kasus terbaru adalah dibebaskannya mantan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe serta dua pejabat Bank Mandiri lainnya, I Wayan Pugeg dan M. Sholeh Tasripan. Vonis bebas ini muncul tepat saat Andi baru masuk ke pengadilan itu. Putusan ini menjadi kontroversial karena sebelumnya jaksa menuntut ketiga bankir itu 20 tahun penjara lantaran dinilai melakukan korupsi dan membuat negara rugi Rp 175,75 miliar.

Adapun yang berkaitan dengan pers, misalnya, Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka, Karim Paputungan, divonis lima bulan penjara dalam kasus pemuatan karikatur Akbar Tanjung. Lalu, Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka, Supratman, diganjar hukuman enam bulan penjara dalam kasus tulisan yang dianggap menghina Presiden Megawati Soekarnoputri, dan kasus Koran Tempo versus Texmaco yang menghasilkan vonis: Tempo harus meminta maaf dan memulihkan nama baik Marimutu Sinivasan, bos Texmaco.

Suarasuara miring tentang Pengadilan Jakarta Selatan telah didengar Andi. Dia mengatakan, semua informasi tentang Pengadilan Jakarta Selatan itu akan dijadikan bahan evaluasi. Ia akan memberi perhatian khusus kepada kasuskasus korupsi yang masuk ke pengadilannya. ”Saya akan berupaya meningkatkan bobot putusan,” kata hakim yang pernah menangani persidangan Akbar Tanjung dalam kasus penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog Rp 40 miliar itu.

Untuk kasus korupsi, menurut Andi, ia akan menggelar diskusi dengan 17 hakim yang bertugas di sana. Dengan cara ini, katanya, ia berharap para hakim memiliki ketajaman yang lebih jika melihat masalah korupsi. ”Korupsi adalah musuh yang harus diberantas,” kata peraih Suadi Tasrif Award 2003 dari Aliansi Jurnalis Independen itu.

LRB/Lis Yuliawati, Maria Hasugian, Deffan Purnama (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus