Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tumpukan buku, koran, dan majalah berserakan di ruang tamu rumah di gang sempit permukiman padat itu. Satu perangkat komputer meja dan kipas angin turut menyesaki ruangan. Rabu pekan lalu, saat Tempo bertandang, sang pemilik rumah harus menepikan dulu semua barang itu agar selembar karpet bisa digelar untuk lesehan.
Siang itu, tidak ada acara khusus di rumah yang menyempil di Gang II, Jalan Pandegiling, Surabaya, tersebut. Kendati demikian, suasana di sana terlihat meriah. Selain Tempo, ada tiga teman pemilik rumah yang bertamu. "Kami berkumpul dan bergerak karena punya nasib yang sama," kata Didik Suprijadi, tuan rumah.
Selama dua pekan terakhir, Didik menjadi pembicaraan orang ramai. Namanya terpampang di sejumlah media lokal dan nasional. Di Jakarta dan kota besar lain, aktivis buruh dan pengusaha pun membahas capaian terakhir Didik dan kawan-kawan.
Kalangan buruh berharap ikhtiar Didik di Mahkamah Konstitusi bisa memperbaiki nasib sekitar 24 juta buruh kontrak, terutama yang bekerja atas dasar sistem alih daya atau yang dikenal dengan nama outsourcing. Sebaliknya, pengusaha ramai membahas dampak putusan Mahkamah bagi keuntungan dan rencana bisnis mereka.
Tapi, ketika harapan kaum buruh atas hasil ikhtiar Didik demikian besar, pria 39 tahun itu justru kebingungan soal pekerjaannya. Sebab, gara-gara bolak-balik ke Jakarta menghadiri sidang, ia dipecat dari pekerjaannya. "Untung, masih bisa bantu istri yang buka warung," katanya.
Ikhtiar Didik dan kawan-kawan bermula pada 10 Juni 2010. Saat itu, bersama belasan temannya yang berasal dari Surabaya, Madura, dan Mojokerto, ia membahas ketidakjelasan status kerja, rendahnya upah, dan tidak terjaminnya hak-hak mereka. Semua yang berkumpul itu mewakili pencatat meteran listrik di wilayah Jawa Timur.
Selama ini, hasil kerja mereka dipakai PT Perusahaan Listrik Negara untuk menentukan tagihan setiap pelanggan. Tapi para pencatat itu bukan karyawan PLN. Mereka dikontrak berbagai perusahaan yang dibayar PLN untuk memborong pemeriksaan meteran.
Sebagian dari mereka telah berkali-kali berganti induk perusahaan. Tapi kesejahteraan tak kunjung datang. "Saat ganti perusahaan, masa kerja kami tidak dihitung," ujar Didik, yang bekerja sebagai pencatat sejak 1980.
 Hal lain yang dipermasalahkan perihal perhitungan upah. Para pencatat tahu pagu anggaran dari PLN adalah Rp 960 per pelanggan listrik. Dalam sebulan, setiap pencatat biasanya bertugas memeriksa 20-25 rute baca meteran. Setiap rute terdiri atas 100-200 pelanggan. Dengan beban terendah saja, seorang pencatat setidaknya menangani 2.000 pelanggan. Bila dikalikan dengan nilai pagu, "Gaji bulanan kami semestinya minimal Rp 1,9 juta," kata Yunus Budi Santoso, pencatat meteran asal Madura.
Tapi itu hanya hitung-hitungan di atas kertas. Faktanya, upah pencatat meteran tak pernah beranjak dari patokan upah minimum kota. Di Bangkalan, Madura, misalnya, Yunus dan kawan-kawan hanya mendapat upah Rp 619 ribu per bulan.
Tak mau berjuang sendirian, para pencatat sepakat bersekutu dalam wadah Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik (AP2ML). Tuan rumah pertemuan, Didik, ditunjuk sebagai ketua umum. Adapun Yunus menjadi sekretaris jenderal. Rumah tinggal Didik pun akhirnya merangkap sebagai kantor Dewan Pimpinan Pusat AP2ML.
Pulang dari pertemuan, mereka membawa mandat ke daerah masing-masing. Selain memperluas jejaring organisasi, mereka bertekad mempertanyakan hak-hak sebagai pekerja kepada perusahaan.
Meski tak selalu mulus, jaringan AP2ML terus berkembang. Kini organisasi itu memiliki perwakilan di 19 area jaringan pelayanan PLN di Jawa Timur. Dalam waktu dekat, mereka punya target menggabungkan sekitar 6.000 pencatat meteran dari 25 perusahaan outsourcing di Jawa Timur. Untuk urusan perbaikan nasib, pengalaman para pencatat hampir seragam. Mereka selalu mendapat tanggapan mengecewakan dari perusahaan.
Kekecewaan mereka memuncak pada Oktober 2010. Pemicunya adalah tender ulang pekerjaan pencatatan meteran ke sejumlah perusahaan outsourcing. Karena lelang tak terbuka, para pencatat khawatir kontrak mereka diputus begitu saja.
Aksi pun dilakukan. Di Madura, misalnya, pencatat meteran sempat mogok total. Adapun di Surabaya dan kota lain, mereka berkali-kali berunjuk rasa dengan mendatangi kantor DPRD dan kantor PLN terdekat.
Tak digubris di daerah, perwakilan pencatat meteran se-Jawa Timur berangkat ke Jakarta. Mereka mendatangi kantor pusat PLN, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Menteri Badan Usaha Milik Negara. Kantor Menteri Dalam Negeri dan Markas Besar Kepolisian RI pun tak luput dari sasaran aksi. "Hasilnya nihil," ujar Mukafi Ali, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah AP2ML Madura.
Di tengah rangkaian aksi itu, semangat para pencatat yang mogok di Madura, misalnya, mulai kendur. Ada yang capek atau tak tahan dengan intimidasi. Ada juga yang memilih kembali bekerja demi nafkah keluarga. Terakhir, tinggal 19 pencatat yang bertahan mogok. Mereka bertekad tak akan menyerah.
Pada April 2011, atas nama AP2ML, Didik dan 19 kawannya dari Madura sepakat berjuang di medan lain. Mereka menggugat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta Mahkamah menyatakan pasal 59, 64, 65, dan 66 undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi. Target akhir mereka: penghapusan praktek outsourcing.
Dari jalanan, kesibukan Didik dan kawan-kawan pun beralih ke gedung Mahkamah. Sidang demi sidang mereka hadiri. Di depan hakim konstitusi, mereka mengajukan alasan dan bukti bahwa pekerja alih daya telah kehilangan banyak hal, antara lain jaminan kelangsungan kerja, hak-hak yang dinikmati pekerja tetap, dan perhitungan masa kerja.
Di tengah masa persidangan yang panjang, nasib lain menimpa Didik dan kawan-kawan. Perusahaan mengakhiri kontrak kerja mereka. Kawan-kawan Didik dipecat karena dianggap mangkir setelah berbulan-bulan mogok. "Saya dipecat karena menghadiri sidang meski tak diizinkan," kata Didik.
Di perusahaannya yang terakhir, PT Mukti Arta Sejahtera, Didik sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun. Upah terakhirnya Rp 1,2 juta. Saat dipecat, Didik mendapat pesangon Rp 3,4 juta plus klaim Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebesar Rp 4 juta. "Tapi uang itu habis untuk ongkos menghadiri sidang," ujar Didik.
Dana yang cekak juga menjadi persoalan tersendiri. Didik dan kawan-kawan terpaksa bergantian naik kereta ke Jakarta untuk menghadiri sidang. Dalam beberapa kali sidang, hakim konstitusi sampai bertanya, "Kok, sedikit yang datang. Yang lain pada ke mana?"
Upaya Didik dan kawan-kawan akhirnya membawa hasil. Pada 17 Januari lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan mereka. Menurut Mahkamah, Pasal 65 ayat 7 dan Pasal 66 ayat 2-b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bertentangan dengan konstitusi. Tapi, selebihnya, Mahkamah menolak permohonan Didik dan kawan-kawan.
Mahkamah, misalnya, memilih jalan tengah dengan tidak melarang praktek outsourcing. Mahkamah mengizinkan praktek itu dengan syarat ada jaminan perlindungan bagi hak-hak pekerja. Kendati tak sepenuhnya puas, Didik menyatakan menghargai putusan itu. Menurut dia, kini yang terpenting adalah mengawasi pelaksanaan putusan Mahkamah itu oleh perusahaan. "Ini yang tidak mudah. Dalam hal seperti ini, pengawasan pemerintah masih lemah."
Jajang Jamaludin (Jakarta), Fatkhurrohman Taufiq (Surabaya)
Yang Dikabulkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Pasal 65
Ayat 1
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Ayat 6
Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
Ayat 7
Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 6 dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
Pasal 66
Ayat 2
Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut.
- adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
- perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Frasa "perjanjian kerja waktu tertentu" pada Pasal 65 dan Pasal 66 ayat 2 butir b bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum sepanjang dalam perjanjian kerja tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak pekerja.
Satu Putusan Beragam Tanggapan
Berita berjudul "MK Nilai Outsourcing Inkonstitusional" itu masuk ke grup e-mail yang sebagian besar anggotanya berstatus karyawan lepas dan kontrak. Itulah berita perihal putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian gugatan Didik. Milis itu langsung heboh. "Ayo, kita bergerak. Aturannya sudah jelas," ujar seorang anggota. Sejumlah media mewartakan putusan Mahkamah dengan nada serupa. Misalnya "MK Larang Praktek Outsourcing" atau "Awasi Putusan MK soal Penghapusan Outsourcing".
Putusan Mahkamah sebenarnya tidaklah seradikal itu. Mahkamah memang menyatakan Pasal 65 ayat 7 dan Pasal 66 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Tapi Mahkamah tidak melarang praktek pemborongan atau penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan outsourcing (alih daya).
Mahkamah hanya mengubah aturan hubungan pekerja dengan perusahaan outsourcing. Praktek outsourcing bertentangan dengan konstitusi jika mengabaikan perlindungan atas hak pekerja. Jalan keluarnya, Mahkamah menyarankan dua bentuk outsourcing. Pertama, outsourcing yang didasari perjanjian kerja yang bersifat tetap. Artinya, perusahaan outsourcing harus mengangkat pekerja mereka sebagai karyawan tetap, lalu memenuhi semua haknya.
Kedua, perusahaan outsourcing bisa saja memakai perjanjian kerja sementara alias tidak mengangkat karyawannya sebagai pekerja tetap. Syaratnya, ada perjanjian yang menjamin pengalihan perlindungan bagi para pekerja. Artinya, sepanjang pekerjaannya masih ada, kelangsungan kerja karyawan alih daya harus dijamin, meskipun terjadi pergantian kepemilikan perusahaan.
Putusan Mahkamah ini lebih lunak dari permintaan pemohon. Didik menggugat Pasal 59, 64, 65, dan 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ia meminta Mahkamah menyatakan pasal-pasal yang mengatur pekerja kontrak dan tenaga alih daya itu dibatalkan.
Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Nasional Khamid Istakhori menilai putusan Mahkamah merupakan putusan yang tanggung. Hakim, ujarnya, mengandaikan nasib pekerja alih daya akan berubah dengan terpenuhinya syarat administratif. "Padahal perusahaan outsourcing bisa memanipulasi, misalnya, soal dalam perjanjian kerja," katanya.
Putusan itu mendapat kritik dari pengusaha. "Perusahaan jasa penyedia tenaga kerja akan terpukul," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang Pengupahan Haryadi B. Sukamdani. Menurut Haryadi, biaya mengangkat pekerja alih daya sebagai karyawan tetap sangat besar. Pada gilirannya, perusahaan outsourcing akan membebankan biaya itu kepada perusahaan pengguna jasa tenaga alih daya.
Di tengah perbedaan pandangan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan edaran khusus agar perusahaan melaksanakan putusan Mahkamah. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Myra Maria Hanartani mengatakan, lewat edaran itu, pemerintah menegaskan sistem kontrak dan alih daya masih bisa diterapkan dengan sejumlah syarat. "Asal ada jaminan bahwa pekerja mendapatkan hak-haknya," kata Myra.
Jajang, Mitra Tarigan, Ayu P. Sandi, Gadi Makitan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo