Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Sengketa Tanah</font><br />Masih Buntu di Tanah Gasibu

Kasus sengketa kepemilikan tanah seluas 32 ribu hektare di sekitar Lapangan Gasibu, Bandung, belum juga selesai. Padahal putusan Mahkamah Agung menyatakan pemiliknya ahli waris Dirdja Kartadiningrat.

30 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGAR seng yang dulu melingkari lahan kosong itu sudah berubah menjadi pagar beton. Sebagian sudut lahan diselingi dengan pagar besi. Semuanya bercat putih. Di balik pagar, terhampar kolam raksasa bekas galian fondasi gedung convention center yang batal dibangun. Di atas lahan itu, sebuah plang besi, sedikit berkarat, tegak berdiri. Tertulis di situ: "Tanah Milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat".

Hampir tujuh tahun tak ada yang berubah di atas lahan seluas 18 ribu meter persegi yang terletak di sudut Jalan Diponegoro dan Jalan Sentot Alibasyah, Bandung, itu. Letak lahan ini memang sangat strategis. Ia menyatu dengan Lapangan Gasibu, yang di dekatnya berdiri kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat. "Pembangunannya mangkrak karena statusnya masih sengketa," kata juru bicara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Rudy Gandakusumah, kepada Tempo.

Pemerintah Jawa Barat berhadapan dengan Eutik Suhasanah, Wati, dan Eti Erawati dalam sengketa ini. Ketiga perempuan yang rata-rata sudah berusia di atas 60 tahun itu mengaku ahli waris Dirdja Kartadiningrat (almarhum) alias Pak Tinggi, yang diklaim ketiganya sebagai pemilik sah tanah tersebut. Di masa lalu, Dirdja dikenal sebagai pengusaha yang memiliki banyak tanah. Eutik cs adalah cucu-cucu Dirdja yang masih hidup.

Selain lahan tadi, ada tanah yang turut diklaim milik ketiga ahli waris Dirdja, yakni yang di atasnya sudah berdiri gedung Bank Mandiri dan Taspen, markas TNI Angkatan Laut, serta tiga rumah pribadi. Total luasnya 32 ribu meter persegi. Beberapa tanah dan bangunan yang sudah bersertifikat ini menyatu dengan lahan kosong yang diklaim milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat itu. Total semuanya ada sembilan sertifikat. "Tapi sertifikat tanah yang asli ada pada klien kami," kata Victor Sinaga, pengacara para ahli waris Dirdja.

Saling klaim ini sebenarnya sudah ditengahi Mahkamah Agung dengan mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan Eutik cs. Putus­an ini ditetapkan pada 15 September 2009. Pengadilan Negeri Bandung sudah mengeluarkan surat eksekusi dan mengirimkannya ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada Mei 2011. Namun eksekusi itu tak kunjung bisa dilaksanakan karena Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengklaim punya alasan kuat. "Dokumen tanah milik kami adalah yang sah," kata Rudy.

Sengketa ini bermula saat Eutik cs pada 2006 menggugat keabsahan sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional Kota Bandung ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. "Senjata" gugatan mereka kikitir dan girik yang dikeluarkan pada 1922, 1923, dan 1925. Pengadilan pada 25 Mei 2007 mengabulkan gugatan Eutik cs. Pengadilan memerintahkan BPN mencabut sembilan sertifikat yang dimiliki tujuh pihak itu. Mereka adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bank Mandiri, TNI Angkatan Laut, PT Taspen, Suryatim Abdulrahman Habibie, Auw Sia Tjew, serta Dandan Riza Wardana.

Ketujuh pemilik tanah itu tak berdiam diri. Mereka balik melawan dengan mengajukan permohonan banding atas putusan itu ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta. Pada 26 November 2007, permohonan banding tersebut dikabulkan majelis hakim. Eutik cs melawan putusan itu dengan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Setahun kemudian, Mahkamah mengeluarkan putusannya, menolak kasasi dan menyatakan sertifikat yang dipegang tujuh pihak itu sah. Baru kemudian muncullah putusan peninjauan kembali yang memenangkan tiga perempuan itu.

Di tingkat PTUN Bandung, hakim sudah mencoba menengahi sengketa ini dengan memerintahkan para pihak mencari jalan tengah. Tapi upaya ini gagal. Menurut Victor, mengingat usia ahli waris yang sudah uzur, pihaknya sebenarnya lebih memilih jalan damai agar kasus ini cepat selesai. Hanya, pemerintah Jawa Barat dan BPN enggan "membuka" pintu perdamaian. Menurut Victor, karena tanda-tanda perdamaian belum tampak, kliennya belum bisa menghitung nilai kompensasi yang akan mereka minta. Harga tanah itu kini sekitar Rp 4 juta per meter persegi. "Bagi kami, yang utama BPN mencabut sertifikat tanah tersebut," katanya.

Menurut Rudy, pihaknya berkeras dalam soal ini karena tanah-tanah yang digugat itu sudah lama diincar pihak lain. Dia menegaskan, kasus sengketa tanah semacam ini banyak terjadi di Jawa Barat. Ia mengingatkan dugaan pemalsuan surat yang dilakukan Eti Erawati, yakni putusan Pengadilan Negeri Bandung pada 1948 yang dijadikan salah satu dokumen pendukung menggugat tanah tersebut.

Kasus pemalsuan surat ini diadukan ke polisi dan diproses Pengadilan Negeri Bandung awal tahun lalu. Eti divonis bersalah telah memalsukan surat itu dan dipenjara pada Februari 2011. Tapi, enam bulan kemudian, Pengadilan Tinggi membatalkan vonis tersebut. Perkara ini kini tengah bergulir di tingkat kasasi. Atas dasar putusan Pengadilan Tinggi itu, menurut Rudy, pemerintah Jawa Barat tak akan memenuhi perintah eksekusi Pengadilan Negeri Bandung. "Putusan PK (peninjauan kembali) itu cacat," kata Rudy.

Menurut Rudy, di atas tanah-tanah itu dulu berdiri perkantoran milik Belanda, bukan perorangan. "Jadi tidak mungkin ada kikitir dan girik di atas tanah Belanda itu," ujarnya. BPN, kata Rudy, tak mencabut sertifikat yang telah dikeluarkan dengan alasan masih ada kasus hukum yang tersangkut di atas tanah itu. Eutik dan dua saudara­nya kini lebih banyak diam. Victor mengatakan pihaknya kini bingung harus mengambil langkah apa lagi. Lewat Pengadilan Negeri Bandung, Mei tahun lalu, ia sudah berkirim surat ke pemerintah pusat agar mendesak BPN mematuhi putusan pengadilan. Surat itu hingga kini tak berjawab. "Semuanya buntu," katanya.

Mustafa Silalahi (Jakarta), Ahmad Fikri (Bandung)


Formula Jitu Jokowi

Kisruh sengketa lahan berlarut-larut yang melibatkan pemerintah daerah juga terjadi di Solo. Hanya, di Kota Bengawan, kasus itu selesai setelah Wali Kota Joko Widodo mengeluarkan jurus yang membuat semua pihak "menang".

Tanah yang disengketakan itu, seperti juga di Bandung, berada di jantung kota. Luasnya sepuluh hektare. Di situ berdiri Stadion R. Maladi, tempat perhelatan Pekan Olahraga Nasional pertama pada 1948; Museum Rad­ya Pustaka; dan gedung wayang. Gedung-gedung itu dikepung kafe, kios buku, dan gedung perkantoran. Di Solo, kawasan tersebut dikenal dengan nama Taman Sriwedari. Ke sinilah biasanya masyarakat Solo datang mencari hiburan. Taman itu dikelola Pemerintah Kota Solo, yang mengaku sebagai pemilik sahnya.

Selama empat dekade, sejumlah penduduk yang mengklaim pemilik lahan itu meminta pemerintah Solo mengembalikan tanah mereka tersebut. "Karena kami memiliki akta jual-beli lahan Sriwedari," kata Gunadi, koordinator penggugat Sriwedari. Gunadi adalah salah satu ahli waris KRMT Wiryodiningrat, ipar raja Kasunanan Surakarta, Pakubuwono X. Akta yang dimiliki Gunadi berisi perjanjian jual-beli pada 1877 antara Wiryodiningrat dan seorang Belanda, Johannes Buseelar. Raja kemudian membangun Bonraja atau kebun raya di atas tanah itu. Setelah kemerdekaan, tanah itu dinasionalisasi, dikuasai pemerintah.

Ahli waris pertama kali menggugat tanah itu ke meja hijau pada 1970. Hasil putusan pengadilan tak tegas menentukan siapa pemiliknya. Tapi putusan kasasi pada 1980 dengan tegas menyatakan pemilik tanah itu para ahli waris. Pemerintah Kota Solo diperintahkan angkat kaki atau membayar uang sewa selama gedung milik mereka beroperasi di sana. Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Kota Solo menolak. Mereka melawan putusan itu, bahkan sempat menang.

Pada April 2007, status tanah itu makin terang setelah Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan BPN Solo. Tapi pemerintah Solo tetap tak mau minggat dari tanah itu. Para ahli waris menggugat perdata BPN dan Pemerintah Kota Solo dengan tuntutan agar mereka melepas Sriwedari. November lalu, gugatan ini ditolak. Kini para ahli waris tengah menunggu putusan banding perkara ini.

Wali Kota Solo Joko Widodo, saat berkunjung ke kantor Tempo awal bulan lalu, menyatakan sudah memiliki formula mengatasi sengketa ini. Pemerintah, ujar pria yang populer dengan nama Jokowi ini, akan menggandeng investor untuk mendapatkan dana segar. Menurut Jokowi, sudah ada dua investor yang setuju. Uang yang masuk itu akan digunakan untuk mengganti hak ahli waris. "Jumlahnya tak besar, namun mereka (ahli waris) sudah setuju," katanya.

Jokowi mengatakan formula ini dipakai karena anggaran pendapatan dan belanja daerah Solo tak kuat membayar ganti rugi yang diperkirakan nilainya ratusan miliar rupiah. Setelah ada proses ganti rugi, lahan itu akan kembali ke tangan Pemerintah Kota Solo. Kompensasi yang diberikan kepada investor, mereka diberi hak mengelola Taman Sriwedari selama 20 tahun serta membangun pusat kebudayaan, hotel, dan pasar tradisional. "Syaratnya, tidak boleh ada mal," katanya.

Mustafa S. dan Ahmad Rafiq (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus