Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI TENGAH kemiskinan yang meluas dan pengangguran yang kian bertambah di negeri ini, sungguh mujur nasib para perompak hutan. Para penebang, penjual, dan penyelundup kayu liar (illegal logging) dipastikan bisa hidup nyaman dan makmur. Bayangkan, dalam lima tahun terakhir, menurut World Wide Fund (WWF), Rp 42 triliun telah mereka keruk lewat penjualan kayu ilegal.
Para petinggi Departemen Kehutanan buru-buru memelototi berbagai peraturan dan undang-undang. Kesimpulan mereka: lemahnya perangkat hukum yang membuat semua itu terjadi.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dinilai kurang komprehensif dan belum memadai sebagai senjata memberantas perompak hutan. Padahal, mereka bagaikan kanker ganas, menggerogoti hutan hampir di seluruh Indonesia.
Menghadapi situasi "darurat", Departemen Kehutanan telah menyiapkan senjata pamungkas berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan, Peredaran Kayu, dan Hasil Hutan Ilegal. Rencananya, perpu itu akan diberlakukan pekan-pekan ini. "Pemberantasan illegal logging tidak bisa mengandalkan KUHP," ujar Koes Saparjadi, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan.
Sanksi pidana yang diatur dalam KUHP dinilai kurang berat dan menakutkan. Di situ ancaman hukumannya paling lama sembilan tahun dan denda Rp 60 ribu. Dalam Undang-Undang Kehutanan, ada ancaman hukuman yang cukup berat, 15 tahun penjara, tapi diberlakukan khusus bagi pembakar hutan.
Dalam rancangan perpu? Para pelaku bisa dijerat jauh lebih berat. Tak cuma para penebang liar, para pejabat yang mengeluarkan kebijakan atau izin tidak sah pun bisa dijaring. Ancaman pidana paling enteng dua tahun penjara plus Rp 1 miliar untuk penebang berikut pembantunya dan penadah tanpa izin. Pidana penjara minimum 10 tahun dan denda Rp 5 miliar untuk orang yang menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak atau tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan.
Di dalam rancangan perpu itu juga dicantumkan pidana mati. Ini berlaku bagi penggerak penjarah hutan dan penyelundup hasil hutan. Paling ringan penggerak tindak pidana kehutanan dikenai 10 tahun penjara dan pidana 15 tahun serta denda Rp 10 miliar. Ditegaskan pula, sanksi pidana bisa dijatuhkan tanpa harus menghadirkan terdakwa, jika pengadilan telah memanggil secara patut.
Setelah perpu itu diundangkan, rencananya setahun kemudian akan disahkan sebagai undang-undang. Namun, rencana ini mendapat ganjalan dari kalangan lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan semacam Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Menurut penasihat senior WWF, Agus Setyarso, perpu ini dikeluarkan untuk mengatasi keadaan memaksa (force majeure). Jika keadaan sudah bisa diatasi, aturan perundangan harus kembali ke semula. "Masa, keadaan force majeure terus-terusan?" ujarnya. Ia juga menambahkan, soal sanksi pidana yang berat bisa dicantumkan ke Undang-Undang Kehutanan.
Penggiat LSM lingkungan juga khawatir, perpu itu justru membuat Menteri Kehutanan menjadi diktator melalui kewenangannya sebagai Ketua Gugus Tugas yang khusus menangani operasi dan proses hukum tersangka pelaku illegal logging. Lembaga ini beranggotakan personel TNI, polisi, jaksa, dan aparat kehutanan. Setelah diperiksa, para tersangka akan dibawa ke pengadilan ad hoc. Dengan cara ini, proses peradilan diperkirakan akan lebih cepat dibanding kasus pidana biasa.
Penyidikan bisa dimulai dengan laporan intelijen sebagai bukti awal yang cukup. Namun, berbeda dengan Undang-Undang Anti-Terorisme, laporan intelijen dalam perkara illegal logging tidak perlu disahkan ketua pengadilan. Jaksa penuntut bisa langsung melengkapi berkas jika ada yang kurang dalam waktu hanya 30 hari. Tersangka juga bisa ditahan lebih lama dari proses hukum biasa, yang cuma 100 hari. Pasal 10 (2) perpu itu menyatakan: untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penahanan terhadap tersangka paling lama enam bulan.
Tak cuma berperan besar dalam proses hukum, pimpinan gugus tugas juga berwenang memberikan insentif kepada orang-orang yang dinilai Menteri Kehutanan berjasa dalam pemberantasan pidana kehutanan. Insentif yang diberikan jumlahnya lumayan, sekitar 75 persen dari hasil pelelangan dikurangi biaya pengganti dengan nilai maksimum Rp 500 juta, dan 75 persen dari perkiraan jumlah denda dengan nilai maksimum Rp 500 juta.
Aturan itu bisa mendorong orang untuk berlomba-lomba menjadi saksi pelapor. Tapi, sebagian kalangan LSM mengkhawatirkan hal ini bisa menjadi lahan kolusi dan korupsi. "Apa kriteria orang-orang yang dianggap berjasa? Mekanisme pengembaliannya pun tak jelas," kata Ade Fadli dari Walhi. Sebaliknya, Agus dari WWF menilai wajar jika ada insentif kepada orang yang dinilai berjasa, meski tak setuju jika insentif itu diambil dari hasil lelang. Insentif, menurut dia, harus diambil dari APBN.
Ade dan Agus juga mempertanyakan mengapa hasil lelang tidak diserahkan kepada kas negara dan dikembalikan kepada hutan. "Harusnya, dana itu dipakai mengongkosi perbaikan hutan tempat asal kayu yang rusak," kata Ade. Kritik ini logis karena, dalam kasus korupsi, uang yang menjadi barang bukti selalu dikembalikan kepada negara.
Itu sebabnya, Agus melihat perpu tersebut akan menjadi pedang bermata dua. Jika para pelaksananya buruk, bisa-bisa malah mencelakakan hutan.
Semua kekhawatiran itu ditepis oleh Koes Suparjadi. "Masa, wewenang itu mau disalahgunakan?" ujarnya. Ia juga menjelaskan bahwa rancangan perpu itu masih digodok. Problemnya, kata Koes, "Masih itu-itu saja." Yakni, dari mana sumber dana untuk operasi pemberantasan penjarah hutan mesti diambil.
Endri Kurniawati, Mawar Kusuma (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo