Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTARUNGAN antara Hartono Setyawan dan Tomy Winata (bos Grup Artha Graha) belum usai. Senin pekan lalu, Hartono, yang dikenal sebagai pengusaha bisnis hiburan, mengajukan kasasi kasus Planet Bali ke Mahkamah Agung. Dia berkeberatan terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang diterimanya pertengahan April silam.
Bagi Hartono, vonis tersebut merupakan pukulan yang berat. Semua putusan yang diketuk oleh Pengadilan Jakarta Pusat pada 2001 dibatalkan begitu saja. Padahal, sebagai penggugat, ia sudah berada di atas angin. Saat itu majelis hakim memutuskan menyita tanah seluas 4.000 meter persegi dan bangunan 31 lantai milik Grup Artha Graha di Jakarta. Inilah yang kemudian dianulir. Alasannya? Pengadilan tinggi tidak melihat adanya kondisi lemah secara ekonomi dan kejiwaan pada penggugat.
Sengketa itu telah berlangsung selama tujuh tahun. Awalnya, Hartono ingin melanjutkan pembangunan proyek one-stop entertainment Planet Bali di Badung, Bali. Semula ongkos pembangunan itu berasal dari kucuran kredit Bank Tamara. Namun, tiba-tiba Bank Tamara tidak lagi sanggup membiayainya.
Hartono lalu bertemu Tomy Winata selaku Komisaris Bank Artha Graha. Tomy sanggup memberi kredit untuk menambal kelanjutan proyek. Untuk mendapatkan pinjaman Rp 8,5 miliar dari Bank Artha Graha, Hartono menjaminkan rumahnya dan Planet Bali yang ditaksir bernilai Rp 30 miliar.
Hartono mengakui dirinya tidak memelototi semua klausul perjanjian. Ternyata dalam salah satu klausul ada yang berbunyi: Bank Artha Graha berhak seketika mengakhiri perjanjian dan menuntut pembayaran sekali lunas, bilamana izin usaha debitor dicabut. Klausul ini bagaikan bom waktu.
Benar saja, hanya selang empat hari setelah Bupati Badung meresmikan Planet Bali pada 8 Agustus 1997, izin usahanya dicabut Pemerintah Daerah Badung. Pencabutan izin ini mengandung sejumlah kejanggalan. Misalnya, warna dominan ungu dinilai mengundang berahi, pemasangan barong juga dianggap melanggar adat. Padahal barong sejenis di tempat lain tidak pernah dipersoalkan. Kemudian muncul tudingan Hartono menjalankan prostitusi terselubung di Planet Bali, yang ternyata tidak bisa dibuktikan.
Berdasarkan perjanjian, Bank Artha Graha kemudian menguasai Planet Bali. Apes Hartono belum selesai. Dalam tempo empat tahun (1996-2000), utangnya yang Rp 8,5 miliar membengkak menjadi Rp 63,7 miliar. "Bunganya 200 persen per tahun," kata Hartono saat itu.
Menurut Azas Tigor Nainggolan, kuasa hukum Hartono, kliennya memberi jaminan melebihi nilai pinjaman untuk melicinkan kredit. Karena kebutuhan uang sudah mendesak, Hartono menyetujui perjanjian itu. Jadi, ia dalam kondisi lemah. Alasan ini bisa diterima oleh hakim pengadilan negeri yang memenangkan gugatan Hartono, tapi ditolak oleh hakim pengadilan tinggi. Dengan adanya jaminan yang besar, hakim pengadilan tinggi justru menilai: Hartono tidak dalam keadaan lemah secara ekonomi.
Dalam memori kasasinya, pihak Hartono berusaha meyakinkan lagi bahwa dirinya berada pada pihak yang lemah saat meneken perjanjian itu.
Sejauh ini kuasa hukum Tomy Winata, Atmajaya Salim, mengaku belum mendapat memori kasasi. Umumnya, dia menjelaskan, pengadilan negeri akan menyerahkan memori kasasi 14 hari setelah pernyataan kasasi. Kemudian pihaknya punya waktu 14 hari juga untuk menyerahkan kontra-memori kasasi. "Jadi, saya belum bisa bicara banyak," ujarnya.
Soal beda putusan dua pengadilan itu, Atmajaya menilai majelis hakim pengadilan tinggi berpegang pada perjanjian kredit antara Hartono dan Bank Artha Graha. Sebab, segala ketentuan apa pun yang tertuang dalam perjanjian itu wajib diikuti. Hal inilah yang luput dari pertimbangan pengadilan negeri. "Waktu itu (pengadilan negeri) hanya menerima sepihak saja dalil-dalil dari Hartono," tuturnya.
Agung Rulianto, Edycan, Adek M.R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo