Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMPAT lengang selama beberapa hari, kesibukan mulai tampak di kantor Prudential Life, Jumat pekan silam. Para karyawan perusahaan asuransi yang bermarkas di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, itu telah diperbolehkan bekerja lagi. "Gencatan senjata" seolah sedang terjadi setelah gonjang-gonjang yang menimpa perusahaan asuransi yang cukup terkemuka ini.
Kemelut dipicu oleh ketukan palu yang diayunkan oleh Ketua Majelis Hakim Putu Supadmi di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu. Dalam putusannya, majelis hakim mengabulkan gugatan pailit terhadap PT Prudential Life Assurance. Alasannya, perusahaan ini terbukti mempunyai utang Rp 1,43 miliar yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Konsekuensi dari putusan hakim, pengoperasian Prudential lalu diserahkan ke kurator.
Kurator Yuhelson, yang ditunjuk oleh hakim, pun langsung membuat keputusan yang mengejutkan. Ia segera menghentikan aktivitas Prudential dan meminta pihak Bank Indonesia sekaligus badan pasar modal supaya membekukan rekening dan aset perusahaan ini. Sebuah langkah yang menimbulkan reaksi keras tak hanya dari pihak Prudential, tapi juga para nasabahnya.
Akhirnya, Kamis pekan lalu Hakim Pengawas Binsar Siregar buru-buru menetapkan: kantor Prudential harus tetap buka agar tak menimbulkan keguncangan ekonomi. "Seluruh nasabah pemegang polis, karyawan, dan agen juga dapat menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana keadaan sebelum dipailitkan," kata Binsar. Ia pun meminta agar perintah pembekuan rekening Prudential dibatalkan.
Selesaikah persoalan? Belum. Soalnya, Prudential Life tetap saja dalam status dipailitkan. Pengadilan semestinya tidak bisa menyatakan sebuah perusahaan pailit, karena bisa merusak perekonomian. Apalagi, jumlah utang yang ditanggung Prudential tak sebanding dengan aset yang dimiliki perusahaan ini yang mencapai triliunan rupiah. Putusan itu muncul karena Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 masih memberikan peluang kepada hakim, dan sampai kini belum direvisi.
Gugatan pailit merupakan buntut perseteruan Prudential dengan agen asuransi, yakni Lee Boon Siong, Hartono Hojana, dan Budiman. Lee, seorang warga negara Malaysia, merasa dirugikan oleh Prudential karena bonusnya selama bekerja sama dengan perusahaan ini tidak dibayar. Duit yang dituntut meliputi bonus pencapaian target, rekrutmen anggota, konsistensi dan biaya perjalanan, yang totalnya mencapai Rp 10 miliar. Bahkan, kalau perjanjian tidak dihentikan, Lee mengklaim akan mendapat bonus Rp 360 miliar pada 2013. Karena komisi yang tidak dibayar pula, Hartono dan Budiman mengaku punya piutang kepada Prudential masing-masing Rp 347 juta dan Rp 21 juta.
Setelah memeriksa perkara, Hakim Putu Supadmi menilai ketiga penggugat itu memang benar-benar memiliki piutang. Khusus untuk Lee, piutang yang bisa dibuktikan dan jatuh tempo pada Desember lalu hanya Rp 1,43 miliar. Toh, jumlah segitu pun telah cukup sebagai alasan untuk memailitkan Prudential. Soalnya, dalam Undang-Undang No. 4/1998 memang tidak diatur soal jumlah utang sebuah perusahaan yang pantas dipailitkan. Hanya ditegaskan dalam Pasal 1 (Ayat 1): debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan
Pengacara Prudential Life, Ricardo Simanjuntak, menilai vonis pailit yang dijatuhkan hakim tidak dipertimbangkan dengan matang. "Saya melihat putusan majelis sangat tergesa-gesa. Perkara utang yang tidak sederhana ternyata diputuskan dengan begitu saja," katanya.
Sang pengacara menggambarkan bahwa sengketa Prudential dengan agennya cukup pelik. Perusahaan asuransi ini memutuskan kontrak perjanjian dengan Lee karena ada pelanggaran kesepakatan. "Lee melakukan aktivitas di luar perjanjian, yaitu melakukan bisnis multilevel marketing melalui jalur yang dibuat," katanya. Jadi, di mata Ricardo, justru kliennya yang dirugikan kendati tidak sampai menuntut. Tapi tudingan itu dibantah Lucas, pengacara Lee. Menurut Lucas, tuduhan itu tak pernah bisa dibuktikan. "Tuduhan itu hanya intrik antar-agen untuk menyingkirkan Lee," katanya kepada Thomas Hadiwinata dari TEMPO.
Kini Prudential sedang mengkaji seluruh kewajiban dan hak yang diatur dalam perjanjian. "Lee tak melakukan pekerjaan sesuai dengan perjanjian. Sementara prestasinya masih ada. Masalah ini seharusnya bukan wewenang pengadilan niaga, melainkan pengadilan negeri," ujar Ricardo. Untuk soal ini, Lucas mempersilakan Prudential membawa kasus ini ke pengadilan mana pun. Tapi kata Lucas, yang jelas, dalam kasus di pengadilan niaga, Prudential sudah dinyatakan pailit.
Prudential dikenal sebagai perusahaan asuransi dari Inggris yang cukup ternama. Perusahaan ini mengelola dana US$ 300 miliar di seluruh dunia. Tak mengherankan jika pihak Kedutaan Besar Inggris di Jakarta ikut bereaksi atas putusan tersebut. Lewat pernyataan pers, juru bicara kedutaan ini menyatakan bahwa vonis pailit kurang berdasar karena kondisi keuangan Prudential sangat kuat. "Kami sangat prihatin dengan kasus ini," katanya.
Sebagian besar saham PT Prudential Life Assurance dimiliki oleh Prudential Plc., perusahaan jasa keuangan yang didirikan di London pada 1848. Prudential mulai beroperasi di Indonesia pada 1995. Memiliki 230 karyawan dan lebih dari 8.000 tenaga pemasaran, perusahaan ini mampu mengumpulkan premi lebih dari Rp 1 triliun pada tahun lalu. Itu sebabnya Prudential masih berani menanggung klaim nasabah, kendati telah dipailitkan. "Kami menjanjikan kepada para nasabah bahwa pernyataan pailit dari Pengadilan Niaga Jakarta tak akan mempengaruhi polis nasabah," ujar Nini Sumohandoyo, juru bicara Prudential.
Atas putusan pengadilan niaga, Presiden Direktur Prudential Life Assurance, Charlie E. Oropeza, menyatakan akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Selain itu, tim dari kantor Prudential Plc. Hong Kong dan Inggris mendatangi Direktorat Asuransi Departemen Keuangan RI, meminta kejelasan penyelesaian masalah ini. Hasilnya? Menurut Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Darmin Nasution, tanpa mencampuri urusan hukum, pemerintah akan menyiapkan langkah penyelesaian kasus ini. "Kami meminta Prudential agar menyiapkan kasasi sebelum habis waktunya," katanya.
Kejadian serupa juga pernah menimpa PT Manulife pada 2002. Perusahaan ini juga sempat mendapat "ketukan mematikan" dari pengadilan niaga alias dipailitkan, kendati putusan ini akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Buat mencegah terulangnya kasus Manulife, pemerintah telah menyiapkan rancangan undang-undang kepailitan untuk mengoreksi Undang-Undang No. 4/1998. Dalam rancangan itu, pengadilan tidak bisa lagi menyatakan pailit terhadap perusahaan semacam asuransi. Keputusan semacam ini akan menjadi kewenangan pemerintah lewat Menteri Keuangan. Sudah disodorkan ke parlemen beberapa bulan silam, tapi rancangan ini belum juga dibahas sampai akhirnya muncul kasus Prudential.
"Seharusnya pembahasannya menjadi prioritas, karena menyangkut kepentingan ekonomi," kata Abdul Gani Abdullah, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Bahkan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra, menurut Gani, mengancam akan menjadikan rancangan tersebut sebagai peraturan pengganti undang-undang (perpu) jika tidak segera dibahas DPR.
Sebelum muncul perusahaan ketiga yang menjadi korban, selayaknya aturan kepailitan segera dibenahi.
Ahmad Taufik, Edy Can (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo