LEMBARAN Putih, yang dicetuskan oleh beberapa tokoh terkenal di rumah Ali Sadikin menyusul huru-hara Tanjung Priok, September 1984, pekan lalu resmi dinyatakan pengadilan sebagai fakta dari suatu tindak kejahatan subversi. Salah seorang penanda tangannya, H.R. Dharsono, karena itu divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Soedijono dengan hukuman 10 tahun penjara. Dengan selesainya perkara Dharsono itu, semakin jelas pula peta bumi perkara subversi yang menjadi "hajatan''besar pengadilan-pengadilan Jakarta sejak pertengahan tahun lalu. Dharsono bersama Fatwa - yang divonis 18 tahun - terkelompok dalam golongan Lembaran Putih. Sementara itu, kelompok Salim Kadar, Tonny Ardie, Mawardi Noer, Abdul Qadir Djaelani, dan Oesmany Al Hamidy tergolong sebagai orang-orang yang menyulut terjadinya Peristiwa Priok dengan ceramah-ceramahnya. Kelompok ketiga, yang tidak kalah pentingnya, adalah perencana dan pelaksana pengeboman BCA. Di dalam kelompok ini terdapat nama-nama seperti H.M. Sanusi, Tashrif, Rachmat Basuki, Amir Wijaya, Jayadi, Yunus, dan Eddy Ramli - juga masuk DJaelani. Namun, sampai vonis-vonis dijatuhkan terhadap ketiga kelompok itu, masih menjadi tanda tanya: kelompok mana yang "dosanya" dianggap besar terhadap negara? Serangkaian fakta, kesimpulan hakim, dan jumlah masa hukuman menunjukkan ada silang pendapat. Misalnya, mengenai hubungan Lembaran Putih 8 September, yang berisi bantahan terhadap penjelasan pemerintah tentang kasus Tanjung Priok 12 September, dengan terjadinya peledakan BCA 4 Oktober. Jaksa Bob Nasution, yang menuntut Dharsono dengan hukuman 15 tahun penjara, jelas menunjuk Lembaran Putih menyulut peledakan bom di BCA. Sebab, kata Bob, setelah ditandatangani pencetusnya, Lembaran Putih dibagi-bagikan kepada massa di masjid-masjid, yang isinya jelas menuding pemerintah menyeleweng dari cita-cita UUD 1945. Isi Lembaran Putih itu pula yang kemudian diceramahkan Dharsono di musala dekat rumah Fatwa. Di situ hadir Rachmat Basuki - yang didakwa perencana peledakan BCA. "Sekurangnya isi ceramah Dharsono itu menambah semangat perencana peledakan bom untuk melaksanakan niatnya," ujar Bob. Pendapat Bob itulah yang diambil alih oleh Majelis Hakim Soedijono dalam vonisnya. Katanya, persidangan mendapat bukti-bukti yang kuat tentang adanya hubungan sebab akibat ditandatanganinya Lembaran Putih - ceramah Dharsono - peledakan BCA. Sebab, kata Majelis, ketika Dharsono melakukan ceramah itu, golongan muda yang hadir sejak semula telah diliputi rasa jengkel terhadap pemerintah sehubungan dengan Peristiwa Priok. "Ceramah itu secara logika pasti meningkatkan emosi pemuda yang ada di situ dan merupakan unsur tambahan yang langsung atau tidak langsung mendorong golongan muda untuk berbuat ekstrem," ujar Majelis. Soedijono menambahkan, "Dharsono itu orang yang memberi rangsangan baru kepada pelaku pengeboman BCA. Tegasnya, ia memberikan stimulan terhadap kelompok-kelompok yang merencanakan peledakan BCA itu," kata Soedijono, pekan-lalu, di Medan. Selain Rachmat Basuki, memang tidak ada kelompok peledakan BCA yang menghadiri ceramah Dharsono. Sebab itu pula anggota tim pengacara Dharsono, Buyung Nasution, menganggap alasan jaksa dan hakim tentang keterlibatan Dharsono dalam pengeboman BCA - karena ceramahnya di rumah Fatwa-dicari-cari. "Yang hadir ketika itu - dari yang terlibat pengeboman BCA - hanya Rachmat Basuki, yang ternyata sudah merencanakan peledakan sebelum pertemuan itu," kata Buyung. Begitu pula pertemuan di rumah Fatwa, kata Buyung, bukan semata-mata karena urusan Peristiwa Priok. "Pertemuan itu sudah lama direncanakan. Tapi, karena terjadi Peristiwa Priok, kejadian itu dibicarakan," ujar Buyung. Sebab itu, Buyung menuduh vonis Soedijono tidak berdasarkan fakta. "Selama tiga puluh tahun jadi pengacara, baru kali ini saya menemukan hakim berpegang pada logika semata-mata," katanya. Pembela lainnya, Harjono Tjitrosoebono, menganggap usaha hakim dan jaksa menyangkutkan kasus Lembaran Putih dengan Peristiwa Priok hanyalah sebagai alasan untuk memperberat hukuman bagi Dharsono. "Sebab, Lembaran Putih saja tidak cukup kuat untuk memvonis - karena isinya hanya kritik terhadap pemerintah, dan itu tidak pernah dilarang," ujar Harjono. Tim pengacara yang terdiri dari Harjono, Buyung, Mulya Lubis, dan Amartiwi Saleh hanya mengakui Lembaran Putih itu muncul sebagai reaksi atau Peristiwa Tanjung Priok. Pengakuan para pelaku pengeboman BCA, termasuk perencananya, Tashrif Tuasikal, memang tidak menyangkutkan Dharsono atau Lembaran Putih. Bahkan Tashrif, yang divonis seumur hidup -- belakangan diperingan peradilan banding menjadi 17 tahun penjara - mengaku sudah Jauh-jauh hari merencanakan aksi kekerasan itu dengan Amir Biki (almarhum). "Saya melihat Kasus Priok, Lembaran Putih, dan pengeboman BCA itu dilakukan kelompok-kelompok tersendiri secara spontan. Menurut saya, semua tindakan itu sporadis, berdasarkan ketidakpuasan kelompok-kelompok itu atas kepingan yang terjadi," ujar Tashrif, yang mengaku hanya salah satu sekrup dari semua kejadian itu. KELOMPOK Tashrif bukan hanya melepaskan Dharsono dan kawan-kawan dari aksinya, tapi juga membantah kembali berita acara pemeriksaan pendahuluan yang melibatkan H.M. Sanusi sebagai orang yang membiayai usaha peledakan itu. Baik Tashrif maupun Rachmat Basuki yang divonis 17 tahun penjara - di pengadilan memang mengaku bertemu Sanusi sebelum peledakan BCA. Sanusi, katanya, hanya memberi uang transpor sebanyak Rp 60.000. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yang diketuai Bambang Soeparyo, lebih mempercayai keterangan Tashrif dan Rachmat Basuki dalam berita acara: mereka mendapat bantuan uang Rp 500.000 dari Sanusi untuk membiayai peledakan itu. Sebab itu, majelis memvonis Sanusi, 65, dengan hukuman 19 tahun penjara. Bukan hanya Sanusi yang coba "diselamatkan" Tashrif, tapi juga Abdul Qadir Djaelani, yang di kalangan kejaksaan dijuluki "panglima" dari aksi-aksi kekerasan itu. Di sidang, Tashrif mencabut keterangannya mengenai keterlibatan Djaelani dan peledakan BCA. Ia bahkan membantah mendapat biaya untuk itu dari Djaelani. BANTAHAN itu tidak dipercayai Majelis Hakim yang mengadili Djaelani. Sebab, seorang anak buah Tashrif, Amir Wijaya, yang menyediakan bom untuk peledakan BCA itu, mengaku mendapat biaya Rp 1.500.000 dari Djaelani. Hanya saja, menurut Amir, bom yang dibuat dengan biaya dari Djaelani itu ternyata gagal ketika diuji coba. Sebab itu, Amir meminta lagi biaya baru dari Tashrif - yang belakangan disimpulkan pengusut sebagai dana dari Sanusi. "Kalau yang dipakai dinamit yang dibeli dari uang Djaelani, mungkin korban akan lebih banyak lagi. Yang pasti, Djaelani jelas terlibat dalam peledakan BCA, sekurangnya menyarankan, atau membujuk orang untuk melakukan itu," kata Ketua Majelis Hakim Imam Soekarno. Peledakan dua kantor BCA, di Jalan Pecenongan dan Gajah Mada, serta Jembatan Metro Glodok yang dilaksanakan anak buah Tashrif - Jayadi, Eddy Ramli, dan Yunus - memang menimbulkan korban jiwa seorang pemilik toko dan seorang anggota Satpam di Glodok Jaya, selain korban lain yang luka-luka. Jayadi sendiri luka parah akibat ledakan dalam aksi pengeboman BCA Pecenongan. Djaelani, divonis 18 tahun penjara oleh Imam Soekarno, bukan hanya dipersalahkan dalam kasus BCA. Ia, bersama-sama dengan penceramah lain, seperti Mawardi Noer, Tonny Ardie, Salim Kadar, Oesmany Al Hamidy, dituduh juga telah mematangkan situasi sehingga terjadi Peristiwa Tanjung Priok. Situasi itu, yang menimbulkan aksi unjuk perasaan di bawah pimpinan Amir Biki - tertembak mati dalam peristiwa itu dilakukan mereka dalam ceramah-ceramah yang keras di berbagai masjid, khususnya di Tanjung Priok. Hampir semua penceramah, menurut jaksa, telah mengucapkan kata-kata yang "merongrong Pancasila dan kewibawaan pemerintah". Tapi benarkah ceramah-ceramah itu yang menimbulkan Kasus Priok? Pihak jaksa dan hakim berkeyakinan begitu. Bahkan Salim Kadar, yang dihukum 20 tahun, diyakini Majelis Hakim ikut pula memimpin sebagian massa yang merusakkan toko-toko di Jalan Sindang di Tanjung Priok. Pengacara H.M. Dault, pembela Djaelani, Mawardi, dan juga Oesmany, sangat berkeberatan dengan kesimpulan jaksa dan hakim itu. " 'Kan aneh, kalau para da'i itu dihukum karena subversi, padahal pelaku Peristiwa Tanjung Priok sendiri hanya dituntut dengan pasal-pasal KUHP," ujar Dault. Ke-28 orang anak buah Amir Biki memang hanya diadili dengan pasal-pasal hukum pidana biasa (KUHP) dan dijatuhi hukuman masing-masing sekitar 3 tahun penara. " Kalau memang para da'i itu ikut membantu terjadinya kerusuhan itu 'kan seharusnya dituntut dengan KUHP juga," ujar Dault, yang kecewa atas vonis-vonis berat terhadap para penceramah itu. Kecuali terhadap pelaku-pelaku langsung Peristiwa Priok, peradilan memang menghukum di atas 10 tahun para penceramah dan pelaku peledakan BCA. Satu-satunya yang mendapat di bawah 10 tahun hanyalah Tonny Ardie. Pekan lalu, ia dihukum 9 tahun karena menurut pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang diketuai Nielma Salim, Tonny mengakui kekeliruannya dalam berdakwah selama ini dan karena itu meminta maaf. Ia menerima vonis hakim baik-baik. Tapi terhukum subversi lainnya tidak puas atas putusan hakim dan menyatakan banding. Tapi bukan hanya para terdakwa yang tidak puas. Pihak kejaksaan juga serta-merta terperanjat waktu Majelis Hakim menjatuhkan vonis 18 tahun untuk Abdul Qadir Djaelani yang dituntut hukuman mati dan Fatwa yang dituntut seumur hidup. "Masa sebagai panglima, Djaelani divonis 18 tahun penjara, padahal anak buahnya, Tashrif, dihukum seumur hidup. Saya menduga hakim terpengaruh oleh tekanan massa yang selalu membanjiri sidang," komentar seorang pejabat tinggi Kejaksaan Agung atas vonis itu. Ketidakpuasan kejaksaan ternyata juga terjadi ketika Pengadilan Tinggi Jakarta justru memperingan keputusan untuk Tashrif. "Kalau keputusan itu benar, saya akan kasasi. Sebab, sudah jelas Tashrif mengaku dan bertanggung jawab atas peledakan BCA itu - sepantasnya ia dihukum mati," ujar Jaksa Penuntut Yusuf Ali. Sebaliknya, Tashrif, yang sudah mendapat keringanan hukuman menjadi 17 tahun, juga berniat kasasi. "Vonis itu terlalu berat bagi saya," katanya. Bagaimana sebenarnya pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis? Imam Soekarno, yang mengadili Djaelani, mengatakan, "Putusan hakim itu mandiri, tidak bergantung pada putusan perkara lain, juga tidak ada pesan sponsor." Perbuatan terhukum membiayai peledakan BCA, katanya, memang tidak menjadi kenyataan. "Sebab, bom yang dibiayainya meledak waktu percobaan. Tapi Tashrif mengusahakan peledakan itu dengan cara lain. Hukuman Tashrif menjadi berat karena ia ikut membiayai dan ikut pula di lapangan," ujar Imam. B.E.D. Siregar, yang mengadili Fatwa dan Tashrif, lebih jelas mengatakan bahwa hukuman berbeda-beda karena setiap perkara mempunyai kekhasan sendiri. "Tidak ada patokan pasti untuk setiap perkara - yang ada hanyalah ancaman hukumannya." Menurut Siregar, selain bukti di sidang, faktor penentunya adalah keyakinan hakim. Dari situ baru disimpulkan terdakwa bersalah atau tidak. Untuk menentukan hukumannya, ditimbang lagi hal yang memberatkan dan meringankan. "Pada akhirnya, masa hukuman itu didasarkan pada keyakinan dan rasa keadilan," ujarnya. Untuk kasus Fatwa, misalnya. Kata Siregar, walau jaksa menuntut 18 tahun, hakim melihat hubungan Fatwa dengan pengeboman BCA agak jauh. "Kalau dibanding Tashrif, yang tindakannya mengarah kekerasan fisik, Fatwa hanya melalui ceramah-ceramah," ujar Siregar. Tapi tidak semua hakim, mendasari pertimbangannya seperti Siregar. Majelis Pengadilan Tinggi Jakarta, yang diketuai Nyonya Aslamiah, pekan lalu memperingan hukumam Tashrif dari seumur hidup menjadi 17 tahun penjara. "Bagi saya, ia pantas dihukum seumur hidup. Tapi, mungkin, visi saya sebagai komandan kompi di lapangan berbeda dengan Visi panglima. Itu wewenang pengadilan tinggi," kata Siregar. HAKIM Nyonya Aslamiah memang _ membandingkan keputusan Tashrif dengan pelaku-pelaku peledakan BCA yang lainnya. "Lihat saja teman-temannya: paling tinggi hanya diputus 17 tahun. Menurut keyakinan kami, ia tidak lebih berat, malah bisa lebih ringan," ujarnya. Lain lagi Hakim Sarwoko di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memvonis Ir. H.M. Sanusi dengan hukuman 19 tahun penjara. Hakim itu menilai Sanusi itu adalah otak peristiwa BCA itu. "Ia kelihatannya halus, padahal ia itulah intelektualnya, otak, yang juga punya dana - Tashrif itu hanya pemain kasar," ujar Sarwoko. Ia menghukum Sanusi lebih ringan dari Tashrif, katanya, semata-mata karena pertimbangan umur terhukum saja. "Rata-rata umur orang Indonesia 'kan 60 tahun, sedang waktu dihukum Sanusi itu sudah lebih dari usia itu. Jadi, hukuman 19 tahun itu sudah kami hitung sampai usia berapa nanti ia baru keluar dari penjara," ujar Sarwoko. Karni Ilyas Laporan Agus Basri & A. Luqman (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini