TIDAK banyak yang tahu bahwa Soedijono, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sudah harus pindah ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan, sejak Mei lalu. Tapi acara serah terima jabatannya kepada Soebandi, bekas Ketua Pengadilan Negeri Bandung, tertunda hampir setengah tahun karena Soedijono mendapat tugas khusus: menangani perkara H.R. Dharsono. Barulah, Senin pekan ini, Soedijono dilantik menjadi hakim tinggi di Medan, setelah bulan lalu "secara diam-diam" ia menyerahkan jabatannya ke Soebandi. Tertunda-tundanya serah terima jabatan itu sempat menjadi pembicaraan di kalangan hakim-hakim Jakarta. Sebab, Soebandi, yang sejak akhir Mei sudah mengantungi surat keputusan Menteri Kehakiman untuk menduduki jabatan sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sudah telanjur menyerahkan jabatan kepada penggantinya di Bandung, Soenardi, bekas Ketua Pengadilan Negeri Tanjungkarang. "Soedijono diminta Mahkamah Agung untuk menangani kasus Dharsono - soal itu merupakan kebijaksanaan Mahkamah sejak sebelum perkara subversi itu ke pengadilan," ujar Dirjen Pembinaan Peradilan Umum, H. Rusli, yang menandatangani surat penangguhan serah terima jabatan itu. Akibatnya, Soebandi, yang sudah berkantor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tidak duduk di kamar ketua. Ia, yang ditempatkan di kamar hakim biasa, bahkan ikut menerima pembagian perkara dari ketua lama. Persoalan menjadi tambah berabe ketika akhir November lalu, perkara Dharsono tidak juga kunjung selesai. Masalahnya, pada 2 Desember, Soebandi sudah berusia 58 tahun - umur pensiun untuk seorang hakim biasa. "Sebab itu, keluar SK baru dari Menteri Kehakiman yang menetapkan Soedijono tetap sebagai Ketua Majelis perkara Dharsono, sementara Soebandi menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," ujar Rusli. Berdasarkan keputusan baru itu, nasib Soebandi bisa diselamatkan - sebab usia pensiun seorang ketua adalah 60 tahun. Tanpa undangan dari luar pengadilan, dua hari sebelum masa pensiunnya datang, Soebandi menerima jabatan itu dari Soedijono di Pengadilan Tinggi Jakarta, 30 November lalu. Dan, anehnya, sehari setelah serah terima, Soebandi langsung mengambil cuti sampai perkara Dharsono divonis, Rabu pekan lalu. "Jadi, baru empat hari ini saya menduduki kursi ini," kata Soebandi kepada Erlina A. dari TEMPO, di kamar Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin pekan ini. Berubah-ubahnya keputusan atasan untuk Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu, kata Hakim Tinggi Pengawas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, L.M. Silalahi, semata mata demi perkara Dharsono. "Soedijono itu ketua majelisnya. Kalau ia diganti, maka penggantinya, sesuai dengan hukum acara harus mengulangi lagi persidangan dari awal kalau itu terjadi, akan menyusahkan semua pihak," ujar Silalahi, kepada Happy S. dari TEMPO. Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, membenarkan bahwa tertundanya kepindahan Soedijono ke Medan hanya karena ia tengah menangani perkara penting. "Sesuai dengan prinsip persidangan cepat, sederhana, dan ekonomis, Soedijono yang memegang dari awal perkara itu diminta menyelesaikannya. Kalau ketua majelis diganti, 'kan berita acara harus diubah," ujar Ismail Saleh kepada A. Luqman dari TEMPO. Soedijono, 51, menganggap tugas khusus yang diterimanya dari Menteri Kehakiman itu sebagai tugas biasa saja. "Saya 'kan sudah lebih dulu mempelajari perkara itu. Kalau hakimnya diganti lagi, tentu hakim baru memerlukan waktu untuk mempelajari kembali. Itu bisa menunda-nunda sidang, dan akibatnya Dharsono bisa lepas dari tahanan demi hukum, seperti kasus Nur Usman itu lho," ujar Soedijono, yang sebelumnya pernah menjadi ketua pengadilan di Kudus, Malang, dan Surabaya. Tapi, kenapa serah terima itu harus tertunda, jika akhirnya terjadi juga sebelum perkara Dharsono divonis hakim?. Juga, kok dirahasiakan? Hakim Tinggi Silalahi cuma mengatakan, "Boleh saja hakim yang sudah pindah menangani perkara yang semula dipegangnya. Kalau melihat peraturan, tidak ada yang membolehkan, tapi juga tidak ada yang melarangnya." Hanya saja, menurut seorang sumber TEMPO, ada kekhawatiran di kalangan penegak hukum yang menangani perkara Dharsono jika ada yang mempertanyakan hubungan status dan wewenang Soedijono. "Sebenarnya tidak apa-apa serah terima dilakukan secepatnya, secara terbuka, dan Soedijono tetap Ketua Majelis. Tapi, kami memilih persidangan itu berjalan tanpa banyak silang pendapat," ujar sumber itu. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang baru, Soebandi, alumnus Airlangga, 1956, membenarkan hal itu. "Kita harus melihat perkara Dharsono itu perkara besar yang sifatnya nasional dan menarik perhatian masyarakat. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, pergantian ketua tidak diumumkan," ujar Soebandi, yang pernah menjadi ketua di Bogor, Bojonegoro, sebelum pindah ke Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini