DI Pinto Giuseppe, tak kuat menahan tangisnya ketika akan meninggalkan Indonesia Selasa pekan lalu. Pria Italia itu harus pergi meninggalkan darah dagingnya, Margeritha Adhitya, yang kini berada di pangkuan bekas teman intimnya di Solo, Betty Bariati -- pasangan itu berebut anak di Pengadilan Negeri Solo. Di Pinto terpaksa harus kembali ke negaranya setelah ada ancaman deportasi dari Direktorat Jenderal Imigrasi karena pelanggaran izin kerja yang dilakukannya. Kesedihan Pinto bagaikan akan tumpah ke bumi begitu ia harus mengucapkan salam perpisahannya kepada temantemannya yang mengantarkan ke Bandara SukarnoHatta, Selasa pekan lalu. "Tolong katakan kepada Betty, ini tidak adil, " ujarnya sambil memeluk Heru, teman dekatnya yang khusus datang dari Solo untuk mengantarkannya. Heru adalah pria yang dulu mempertemukan Di Pinto dengan Betty. Pinto berkenalan dengan Betty di Pub Holand, Solo, pada akhir tahun 1988. Betty, penyanyi manis bersuara merdu di pub itu, sering diminta Pinto menyanyikan lagu pilihannya. Mereka pun berpacaran, dan pada tahun 1989 hidup bersama. Menurut Betty, ia mau diajak hidup bersama karena dijanjikan akan dinikahi. Namun, sampai hubungan mereka membuahkan anak, janji kawin itu tak kunjung terwujud. Sehingga lewat pengacara, Edy Cahyono, Betty menuntut agar Margeritha, yang dipanggil Tata, dianggap sah sebagai anaknya. Selain itu, ia meminta agar Pinto membayar Rp 256,24 juta sebagai jaminan hidup anaknya dan ganti kerugian moril karena ingkar mengawininya. Perkara yang masih disidangkan di Pengadilan Negeri Solo ini memang menarik, sebab anak yang diperebutkan ini bukan warga negara Indonesia. Margeritha lahir di Torino, Italia. Berdasarkan asas kewarganegaraan Italia, yang menganut asas tempat kelahiran (ius soli), Tata dianggap warga Italia. "Menurut hukum Italia, ia adalah warga negara Italia," bunyi pernyataan tertulis Duta Besar Italia, Michele Martinez. Status itu tidak akan berubah meski tidak ada perkawinan secara resmi antara Pinto dan Betty. Kendati begitu, Pinto terpojok setelah pihak Imigrasi menyatakannya harus dideportasi karena melanggar peraturan keimigrasian, tepatnya tanpa izin bekerja di Indonesia. Buyer agent sebuah pabrik garmen di Italia, Gruppo Manifatture Tessili, ini disalahkan karena mendirikan perusahaan tanpa izin di Solo. Di perusahaan yang dinamai GD Enterprises itu ia juga mempekerjakan beberapa pegawai. Selain itu, menurut laporan Departemen Tenaga Kerja Solo, Pinto juga memperoleh penghasilan dengan cara menyewakan mobil. Meski semula keberatan, akhirnya Pinto mau menerima kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Namun, satu hal yang tak dapat diterimanya, larangan membawa pulang anaknya kembali ke negaranya. Padahal, paspor putrinya yang baru berusia satu tahun itu melekat pada paspornya. Sesuai dengan hukum di Italia, paspor Margeritha baru bisa dilepaskan jika ia sudah berumur dua tahun. Menurut Dirjen Imigrasi Roni Sikap Sinuraya, paspor Margeritha yang melekat pada ayahnya itu bisa menyatakan dua hal, yaitu bahwa ia adalah warga negara Italia dan sebagai dokumen perjalanan. "Pihak Imigrasi Indonesia sama sekali tidak mengklaim Margeritha sebagai warga negara Indonesia," jelas Roni. Buktinya, kata Roni, Ditjen Imigrasi menerbitkan KIMS (Kartu Izin Menetap Sementara) bagi Margeritha. Kok bisa? "Izin itu diberikan karena permintaan Betty Bariati sebagai ibunya," kata Roni. Dasar pegangan yang dipakai Imigrasi adalah Pasal 43 UndangUndang Perkawinan. Pasal itu menyatakan bahwa anak di luar nikah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. "Sehingga tindakan hukum yang berkenaan dengan anak itu hanya dapat dilakukan oleh ibunya," ujar Roni. Menurut ahli hukum internasional, Sudargo Gautama, dalam sistem hukum di mana pun, hanya ibulah yang mempunyai hubungan hukum terhadap anak di luar nikah -- sementara ayah tidak mempunyai hak sama sekali. Karena itu, Gautama mempertanyakan bagaimana nama Margeritha bisa melekat pada paspor ayahnya. "Sebab itu memerlukan surat perkawinan yang sah, " ujarnya. Mungkin karena itu, upaya Pinto memohonkan izin EPO (exitpermit only) bagi Margeritha untuk bisa dibawa ke Italia kandas. Pihak imigrasi bersikukuh bahwa permohonan itu harus diketahui dan disetujui Betty sebagai pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan Margeritha. Malah karena dianggap terlalu ngotot, menurut pengacara Pinto, Ari Ahmad Effendi, kliennya diancam akan segera dikarantinakan. Akhirnya, bagai prajurit kalah perang, Pinto terpaksa kembali ke negaranya sebelum ia menerima pemberitahuan resmi deportasi. Apalagi visanya juga memang sudah akan habis masa berlakunya pada tanggal 31 Maret 1992. Ia memang tidak kesulitan memperoleh EPO, tapi gagal mendapatkan fotokopi KIMS Margeritha dan surat keterangan dari Imigrasi bahwa anak itu memang tinggal di Indonesia. Padadal, sesuai dengan peraturan imigrasi, dua dokumen itu perlu untuk melengkapi dokumen untuk meninggalkan Indonesia. Bulan Juni lalu, misalnya, Pinto hampir tidak dapat ke luar Indonesia karena anaknya tidak dibawa serta. Ia baru diizinkan setelah menunjukkan surat keterangan dari Kantor Imigrasi Solo yang menyatakan bahwa anaknya sakit. Sementara itu, Kamis pekan lalu Pengadilan Solo mengeluarkan putusan sela. Isinya antara lain menyebutkan bahwa Betty diberi wewenang merawat anaknya. Putusan yang menetapkan perwalian anak itu tentu saja disambut gembira oleh Betty. "Jangan diragukan, saya mampu merawat Margeritha dengan baik, " kata Betty kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Sebaliknya, pengacara Pinto mengganggap putusan itu tidak tepat. "Lucu. Sebab gugatan Betty sama sekali tak menyinggung soal perwalian, kok tahutahu hakim menetapkan perwalian. Lagipula, perwalian dilakukan lewat permohonan, bukan gugatan, " katanya. Yang menarik kenapa izin kerja Pinto baru dipersoalkan setelah ia bertengkar dengan Betty memperebutkan anak hasil kumpul kebonya. Bukankah Departemen Tenaga Kerja dan Dirjen Imigrasi mempunyai direktorat pengawasan orang asing? G. Sugrahetty Dyan K. dan Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini