KEJUTAN muncul dari persidangan perebutan uang simpanan Haji Thahir dan Kartika sebesar US$ 78 juta di Pengadilan Tinggi Singapura. Nonya Kartika Thahir menawarkan penyelesaian damai dengan pihak Pertamina lewat surat dan lewat seorang perantara. "Dari dulu saya tak ingin beperkara, saya ingin damai dan saya tak serakah, dan tidak meminta seluruh uang itu," kata Kartika, yang sejak dua pekan lalu berada di Singapura, melalui telepon kepada Karni Ilyas dari TEMPO. Melalui salah seorang anggota tim penasihat hukumnya, Joseph Grimberg, dua pekan lalu Kartika mengirim surat kepada Wong Meng Meng, salah seorang anggota tim pengacara Pertamina asal Singapura. Ia meminta agar perkara itu diakhiri saja dengan imbalan hanya US$ 12 juta. Surat Kartika pada 9 Maret itu, yang hanya memberikan waktu sehari kepada Tim Pertamina untuk memberikan jawaban, sehari kemudian dijawab tim Pertamina. "Kami menolak permintaan itu karena Kartika masih menyebutkan haknya untuk mendapatkan bagian dari deposito itu," kata seorang anggota tim Pertamina. Toh Kartika tak menyerah. Melalui seseorang, pada hari Minggu pekan lalu Kartika kembali menawarkan Perdamaian. Kali ini ia hanya meminta 10% dari uang simpanan itu, ditambah biaya perkara dan pengacara. "Saya kira wajar jika saya mendapat 10% dari uang itu. Uang itu kan modalnya cuma sekitar US$ 35 juta dan di bank modal itu sudah meraih keuntungan US$ 50 juta. Secara bisnis dari keuntungan saja saya seharusnya berhak mendapat bagian," kata Kartika. Ia, pada saat ini, kata Kartika, sudah sampai ke posisi yang sulit, harus menjadi saksi di pengadilan atau tidak meneruskan perkara itu. Bila ia menghadap jadi saksi, katanya, akan banyak nama pejabat Indonesia yang harus disebutnya, yang tentu tak baik untuk citra pemerintah Indonesia. Sebab, katanya, ia terpaksa menangkis semua kesaksian Jenderal Benny Moerdani di sidang pada Februari lalu. Tangkisan itu, katanya, mau tak mau akan melibatkan banyak nama orang penting di Indonesia. "Padahal, saya tak ingin lagi melukai hati orang," katanya. Sementara itu, bila ia tidak menghadap jadi saksi, tentu posisinya di sidang perebutan deposito itu akan lemah. Sebab, di pihak Pertamina, saksi Benny Moerdani sudah muncul ke sidang dan mengungkap hasil pembicaraannya dengan Nyonya Kartika Thahir di Jenewa pada 1977. Bahkan di sidang itu Benny mengajukan bukti sehelai kertas biru, yang katanya hasil coretancoretan Kartika yang menjelaskan uang simpanan itu berasal dari kontraktor Pertamina, Siemens dan Klockner. "Banyak kesaksian Benny itu yang harus saya bantah dan juga banyak yang belum diungkapkan Jenderal Benny," kata Kartika tanpa menjelaskan lebih lanjut. Toh keinginan Kartika tetap tak kesampaian. Setelah tim Pertamina berapat dan meminta petunjuk langsung dari ketua tim Jenderal (Purn.) Benny Moerdani, menurut koordinator tim pengacara Pertamina, Albert Hasibuan, tawaran itu kembali ditolak. "Kita sudah bertarung di pengadilan 11 tahun, kenapa sekarang kok repotrepot mengurusi perdamaian?" kata Albert. Di selasela persidangan kasus Kartika, pekan lalu, Dr. Albert Hasibuan membenarkan bahwa pihak Kartika sudah dua kali menawarkan perdamaian kepada Pertamina. "Kami mau berdamai asal deposito itu 100 persen diberikan pada kami, dan Kartika nol persen atau tidak memperoleh sama sekali," Albert menegaskan. Dengan bagian nol persen, menurut Albert, justru sudah adil. Dari segi materi, Kartika memang tak mendapat apaapa. Tapi, jika dihitung dari sisi lain, yakni menyangkut nama baik, Kartika beruntung. "Nama baik Kartika terjaga karena mempunyai itikad baik mengembalikan harta komisi yang diperoleh mendiang suaminya," komentar Albert. Sebenarnya, usaha perdamaian bukan pertama dilakukan. Jauh sebelum kasus itu meledak di pengadilan, Pemerintah -- melalui ketua tim, L.B. Moerdani -- pernah mengupayakan damai dengan Kartika di Jenewa. Menurut Kartika, sejak saat itu ia sebenarnya sudah menginginkan perdamaian. "Sejak dulu yang saya inginkan itu damai dan hidup dengan tenang," ujar Kartika. Pertemuan itu terjadi tahun 1977 dan berlangsung sampai beberapa kali. Ketika itu, kata seorang anggota tim Pertamina, Jenderal Benny menawarkan agar Kartika menyerahkan semua uang tersebut kepada Pertamina, dan Pemerintahlah yang akan memutuskan berapa Kartika akan diberi bagian. "Tapi Kartika menolak tawaran itu," kata sumber tersebut. Sebaliknya, menurut Kartika pada waktu itu, semula Jenderal Benny menawarkan bagiannya 20% dan belakangan setelah beberapa kali pertemuan naik menjadi 50%. "Saya ketika itu sudah menyiapkan akta perdamaian, ternyata Jenderal Benny membatalkan kesepakatan itu. Saya tak tahu sebabnya," ujar Kartika. Di pihak lain, putra almarhum Haji Thahir, Ibrahim Thahir, mengaku tak dilibatkan sama sekali dalam upaya perdamaian Kartika dengan Pertamina itu. Kendati begitu, pengacara Ibrahim, Denny Kailimang, di Jakarta menyambut baik usul perdamaian itu. "Sebaiknya usul perdamaian itu diterima Pertamina," katanya. Alasan Denny, dengan adanya usul damai itu, sasaran Pemerintah yang ingin menunjukkan bahwa komisi itu sebagai hak Pertamina sudah tercapai. Keuntungan lain dari perdamaian itu, "Pertamina tak akan lagi mengeluarkan ongkos persidangan dan sewa pengacara yang memakan biaya besar," ujar Denny. Karni Ilyas dan Andy Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini