PELDA. F.X. Marsono sedang menikmati cutinya pada suatu pagi, dua tahun lalu. Ia mengamati para ibu berbelanja sayur di halaman asrama polisi Poncol, Magelang, Jawa Tengah sambil menimang Wahyu, anak tetangga yang baru berusia lima bulan. Ketika itu, dari salah satu rumah di kompleks itu, Letda. Lalu Rahma muncul dan sertamerta menodongkan pistol ke arah Marsono. Marsono kaget, berdiri dari jongkoknya, dan berusaha lari. Namun tembakan terdengar. Sebutir peluru menghunjam lengan Marsono, dan menembus perut Wahyu. Marsono sempat menyerahkan bayi yang kemudian tewas kepada tetangganya, lalu lari. Kejar mengejar terjadi, dan berakhir ketika kain sarung yang dikenakan Marsono menjerat kakinya sendiri. Ia terjatuh. Sekali lagi bunyi tembakan tedengar. Petugas intel Polwil Ja-Teng itu tewas dengan peluru di pelipisnya. Sabtu dua pekan lalu, peristiwa penembakan itu diputus Mahkamah Militer Yogyakarta. Lalu Rahma, bekas Wakil Kepala Satuan Sabhara, ternyata mendapat putusan bebas murni. "Terdakwa tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya karena pada saat kejadian sedang terganggu jiwanya," kata Letkol. C.H.K. Sri Umi Sularsih, ketua Majelis Hakim. Dalam persidangan terungkap, dua minggu sebelum kejadian, Rahma, 46 tahun, sempat diperiksa dr. Rachma Irfan di RS Militer Magelang. Ia dibawa ke sana karena sikapnya penuh curiga. Ia, menurut Rachma Irfan, menderita gangguan jiwa paranoia, dengan gejala halusinasi akustik (sering mendengar suara seperti menghasut). Rahma diperbolehkan pulang. Terdakwa, menurut pemeriksaan hakim, terganggu jiwanya akibat dibentak atasannya. Sejak itu, ia tak bisa tidur karena merasa dimatai-matai. Terdakwa sering tidur di kolong karena takut dibunuh. Oditur Militer Letkol. C.H.K. Chanada Achsani, yang menuntut Rahma 7 tahun kurungan, tidak menerima keputusan Majelis Hakim. Ia menyatakan banding. "Menurut saya, saat menembak, terdakwa sadar sepenuhnya," katanya. Alasannya, pistol yang menurut peraturan hanya boleh diisi lima peluru, saat itu diisi penuh enam butir. Selain itu, menurut Achsani, Rahma jelas memburu Marsono, bukan orang lain. Masih menurut Achsani, di persidangan, Rahma terlihat sehat. "Ia sanggup berdiri selama satu jam dan mengatakan mengerti segala tuntutan yang saya bacakan." Benarkah Rahma melakukan penembakan dalam keadaan tidak sadar? Ini pertanyaan yang masih menggantung, kendati perkaranya sudah diputus. Sebenarnya, tidak mudah memastikan kapan seorang penderita paranoia berada dalam keadaan tidak sadar. Kehilangan kesadaran akibat gangguan jiwa lazimnya terjadi bila koordinasi kerja otak di pusat saraf sudah hilang total. Pederita yang umumnya bisa mengamuk tanpa sebab tidak lagi mengenal dirinya dan tidak bisa berpikir. Penderita menyerang siapa saja. Gangguan pada Lalu Rahma, tampaknya belum sampai ke keadaan "gila" itu. Memuncaknya kecurigaan, seperti yang terjadi ketika ia menembak, memang gejala umum pada penderita paranoia. Namun, dalam keadaan ini penderita umumnya belum dianggap berbahaya dan belum perlu dimasukkan ke ruang isolasi. Namun, persoalannya menjadi lain bila kondisi itu dialami seorang anggota militer yang mempunyai senjata. Kasus Lalu Rahma adalah bukti nyata. Memang masih harus diperdebatkan, khususnya dalam bidang ilmu jiwa, bisakah Lalu Rahma dikategorikan tidak bertanggung jawab atas pembunuhan yang dilakukannya? Tapi yang lebih pasti, gangguan jiwa yang bagaimanapun ringannya pada seorang anggota militer yang memiliki senjata api, bisa menjadi ancaman serius. Rustam F. Mandayun dan Nunik Iswardani (Yogyakarta) dan Heddy Lugito (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini