Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Polisi Berulang Melanggar Hukum, Bukti Sanksi Etik Tak Cukup

Brigadir Fauzan kembali melakukan pelanggaran pidana. Sanksi etik tak cukup untuk anggota Polri yang melanggar hukum.

16 Januari 2025 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Brigadir Polisi Dua Fauzan Nur Muhti (Bripda FA) mengikuti sidang kote etik kasus asusila di ruang sidang Bid Propam Polda Sulsel, Makassar, Sulawesi Selatan, 24 Oktober 2023. Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Anggota Polres Toraja Utara melakukan KDRT setelah lolos dari jerat pidana pemerkosaan.

  • Pelanggaran pidana berulang para polisi ini terjadi akibat tak tegasnya Polri menindak anggotanya.

  • Polri membutuhkan pengawas independen yang memiliki kewenangan pro-justitia.

ANGGOTA Kepolisian Resor Toraja Utara, Brigadir Dua Fauzan Nur Muhti, melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istrinya yang berinisial RTM. Fauzan, yang sebelumnya bertugas di Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, lolos dari jerat pidana dan pemecatan sebagai anggota kepolisian dalam perkara pemerkosaan terhadap RTM. Sejumlah pengamat menilai pelanggaran hukum dan pelanggaran kode etik berulang oleh Fauzan sebagai akibat ketidaktegasan Polri dalam menindak anggotanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kuasa hukum RTM, Muhammad Irvan Sabang, menceritakan kliennya merupakan korban pemerkosaan oleh Fauzan pada Juli 2023. Saat itu RTM melapor ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi Selatan serta Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sulawesi Selatan. Awalnya, Fauzan mendapat sanksi etik berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Putusan itu berubah di tingkat banding setelah Fauzan dan RTM sepakat berdamai dengan syarat pernikahan keduanya. Fauzan hanya mendapat sanksi demosi 15 tahun dan dimutasi ke Polres Toraja Utara. Proses hukumnya pun tak berlanjut karena perdamaian itu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, menurut Irvan, sejak pernikahan yang berlangsung pada 20 Desember 2023 hingga saat ini, Fauzan tak pernah menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. Dia menelantarkan istrinya, bahkan ketika RTM sakit dan berupaya berbakti kepada suaminya itu. “Rupanya pernikahan itu hanya upaya agar yang bersangkutan lolos dari pemecatan dan pidana,” kata Irvan kepada Tempo melalui sambungan telepon pada Rabu, 15 Januari 2025. 

Akibat penelantaran itu, Irvan menyatakan RTM mengalami gangguan psikologis serius, termasuk kecemasan, tekanan, dan trauma, yang memerlukan konsultasi rutin ke psikolog serta konsumsi obat. Korban pun mengaku terus menghadapi ancaman dan teror di rumahkos hingga akhirnya kembali ke rumah orang tua. Irvan menyatakan kliennya sudah melaporkan soal penelantaran tersebut ke Polda Sulsel pada Juni dan Juli 2024, baik secara etik maupun pidana. Namun, hingga saat ini, Polda Sulsel belum juga menetapkan Fauzan sebagai tersangka ataupun kembali menjatuhkan sanksi etik.  

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulawesi Selatan Komisaris Besar Didik Supranoto membantah tudingan bahwa pihaknya tak memproses laporan RTM. Dia menyatakan penyidik sudah memeriksa Fauzan sebagai terlapor dalam proses hukum. Sementara itu, untuk proses etik, menurut dia, ditangani oleh unit Propam Polres Toraja Utara. “Kemungkinan, kalau perlu, nanti ditarik ke Polda,” ujar Didik saat dihubungi secara terpisah. Namun dia membenarkan bahwa sejauh ini belum ada sanksi terhadap Fauzan yang saat ini masih bertugas di Polres Toraja Utara. 

Soal pembatalan PTDH sebagai sanksi etik terdahulu, Didik menyatakan hal tersebut merupakan keputusan sidang banding. Sebab, tutur dia, dalam proses banding itu, ada kesepakatan dengan kedua pihak dan keluarga korban untuk menikah. “Ya akhirnya menikah. Tapi, setelah menikah, terjadi penelantaran, kemudian dilaporkan,” ucap Didik.

Didik pun membantah anggapan bahwa Polda Sulsel memberikan impunitas kepada Fauzan. Dia menyatakan mereka sudah bekerja sesuai dengan ketentuan atau aturan. Keputusan demosi atau penundaan kenaikan pangkat selama 15 tahun dan penempatan khusus terhadap Fauzan, kata dia, didasarkan pada asas manfaat serta demi kebaikan bersama. “Karena kan dari awal sebenarnya mereka mau menyelesaikan secara kekeluargaan, tapi tidak ada titik temu. Kemudian setelah proses banding, mereka ada titik temu,” tuturnya.

Petugas Propam Polri menggiring eks Kasubdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Malvino Edward Yusticia (kanan), setelah menjalani sidang etik di gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, 2 Januari 2025. ANTARA/Muhammad Ramdan 

Peneliti kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai kasus Bripda Fauzan merupakan akibat ketidaktegasan Polri terhadap anggotanya yang melakukan tindak pidana. Menurut dia, banyak polisi yang sebenarnya secara jelas melakukan tindak pidana, tapi hanya mendapat sanksi kode etik. 

Bukan hanya Fauzan, Bambang mencontohkan kasus pemerasan oleh puluhan polisi terhadap penonton konser Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024. Sampai saat ini belum ada penindakan secara pidana terhadap pelaku, meskipun Komisi Kode Etik Polri (KKEP) telah menjatuhkan sanksi kepada 22 pelaku. Hukumannya bervariasi, dari PTDH hingga demosi selama 5-8 tahun. 

Contoh lain, kata Bambang, adalah kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang menyeret sejumlah polisi. Enam perwira polisi yang pernah terseret kasus ini bahkan mendapat promosi tak lama setelah mereka kembali bertugas. 

Di antaranya Chuck Putranto yang menduduki jabatan Kepala Sub-Bagian Audit Bagian Penegakan Etika Biro Pengawasan dan Pembinaan Profesi Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian dengan pangkat komisaris saat pembunuhan Brigadir Yosua terjadi. Chuck mendapat vonis 1 tahun penjara karena terbukti merusak barang bukti pembunuhan oleh Ferdy Sambo cs itu. Setelah menjalani pidana, Chuck menduduki jabatan sebagai perwira menengah di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. Dia mendapat kenaikan pangkat menjadi komisaris besar dan menjabat Kepala Bagian Bidang Operasional Polda Metro Jaya per 2 Januari 2025. 

Selain itu, ada Budhi Herdi Susianto yang saat kasus Ferdy Sambo menyandang pangkat komisaris besar dan menduduki jabatan Kapolres Jakarta Selatan. Akibat kasus itu, Budhi dicopot dari jabatannya. Dia kemudian mendapat promosi menjadi Kepala Biro Perawatan Personel Polri dan menyandang pangkat brigadir jenderal.

Terdakwa kasus merintangi penyidikan atau obstruction of justice pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Agus Nurpatria (kiri) dan Hendra Kurniawan, bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 27 Oktober 2022. Dok. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Bambang menilai impunitas seperti ini terjadi karena Polri masih bercorak militeristis. Meski sudah terpisah dari TNI sejak awal era reformasi, Bambang berpendapat Korps Bhayangkara masih menggunakan perangkat khas militer melalui sidang kode etik dan disiplin profesi, yang cenderung permisif terhadap pelanggaran pidana anggotanya. Padahal, menurut Bambang, polisi yang melanggar hukum seharusnya tetap diproses secara pidana. Hal tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat 4 TAP/VII/MPR/2000. “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum,” kata Bambang menjelaskan bunyi pasal itu. 

Bambang juga menyatakan sanksi etik tidak bisa menghapus proses pidana terhadap anggota kepolisian. Ketentuan itu, kata dia, tercantum dalam Pasal 12 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang disiplin anggota Polri. Bambang juga mengkritik pendahuluan sanksi etik ketimbang proses pidana oleh Polri selama ini. Padahal Pasal 12 ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri menyatakan sanksi PTDH bisa dijatuhkan KKEP jika anggota tersebut telah mendapat vonis berkekuatan tetap alias inkrah. 

Dalam konteks pemerkosaan oleh Fauzan, Bambang menyatakan memang ada mekanisme keadilan restoratif bila korban sudah dewasa. Namun dia menilai polisi seharusnya memiliki keberpihakan kepada korban. “Terkait dengan pelaku yang merupakan personel kepolisian, seharusnya kepolisian lebih tegas menegakkan peraturannya sendiri,” ucap Bambang.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso juga mengkritik soal langkah Polri yang lebih mendahulukan proses etik ketimbang pidana terhadap anggotanya. Dia menyebut praktik ini sebagai impunitas merangkak. Pada umumnya, menurut Sugeng, Polri akan memberikan sanksi tinggi pada putusan etik tingkat pertama. Sanksi tersebut nantinya diringankan di tingkat banding. “Apabila diringankan, ada alasan pembenar atau alasan pemaaf bahwa tindak pidananya tidak diproses,” ujar Sugeng saat dihubungi secara terpisah.

Meski sepanjang 2024 terdapat lebih dari 400 polisi yang mendapat sanksi PTDH, menurut Sugeng, sanksi tersebut lebih banyak berhubungan dengan kasus narkoba. Sementara itu, untuk tindak pidana lain, seperti penganiayaan, kekerasan, pemerasan dalam jabatan, dan penggelapan, banyak yang tidak diproses. Dari jumlah itu, kata Sugeng, sangat banyak yang tak diproses secara pidana. 

Sugeng pun menilai absennya proses pidana memperburuk citra kepolisian. Selain itu, dia menilai hal tersebut bisa berimbas pada penegakan hukum kepada masyarakat umum. Dia menyatakan tak bisa menyalahkan masyarakat jika nantinya menolak pemeriksaan oleh polisi karena adanya diskriminasi. 

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldy menyatakan absennya proses pidana terhadap polisi yang terlibat kejahatan bisa membuat pelaku merasa kebal hukum. Walhasil, pelaku akan memiliki kecenderungan melakukan pelanggaran hukum lain atau bertindak sewenang-wenang di kemudian hari. 

Andi pun menyayangkan impunitas ini terus terjadi. Padahal, menurut dia, fungsi pengawasan internal di kepolisian berlangsung di berbagai level. Hal ini, ucap Andi, terjadi karena pemahaman yang salah dari konsep soliditas korps. “Hal ini merupakan wujud dari jiwa kesatuan yang disalahgunakan,” tuturnya. 

Andi pun menegaskan pentingnya reformasi menyeluruh dengan membentuk lembaga pengawas independen yang memiliki wewenang pro-justitia, memperbaiki sistem promosi, dan meningkatkan transparansi layanan terhadap Polri. Meskipun saat ini Polri sudah memiliki pengawas Komisi Kepolisian Nasional, menurut Andi, lembaga itu tak bertaji karena hanya bisa memberikan rekomendasi, tapi tak memiliki kewenangan pro-justitia.

Andi menyatakan konsep reformasi kepolisian ini sebenarnya kerap disuarakan oleh masyarakat sipil. Hanya, tawaran itu tak pernah digubris oleh pemerintah ataupun Polri. Dia menilai hal itu karena tak ada kemauan yang kuat dari kepolisian dan pemerintah untuk melakukan perubahan secara mendasar. Menurut Kontras, masalah di institusi penegak hukum berseragam cokelat itu sudah sangat akut. “Ibarat penyakit sudah kronis yang perlu ditindak secara khusus dengan membongkar akar masalahnya, baik dari segi kultur maupun institusi,” katanya.

Alfitria Nefi P berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Intan Setiawanty

Intan Setiawanty

Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2023. Alumni Program Studi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini menulis berita hiburan, khususnya musik dan selebritas, pendidikan, dan hukum kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus