Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Suap Hakim Korupsi Minyak Goreng Terungkap Usai Vonis Lepas

Kronologi suap hakim korupsi minyak goreng atau ekspor CPO dimulai setelah vonis lepas terhadap 3 korporasi besar.

16 April 2025 | 10.45 WIB

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, 12 April 2025. Tempo/M Taufan Rengganis
Perbesar
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, 12 April 2025. Tempo/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengungkap secara rinci proses terungkapnya dugaan suap terhadap tiga orang majelis hakim yang menangani perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau korupsi minyak goreng.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkara tersebut sebelumnya disidangkan di Pengadilan Negeri atau PN Jakarta Pusat dan berakhir dengan putusan vonis lepas atau onslag terhadap tiga korporasi besar, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group pada 19 Maret 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dari hasil penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), sebanyak tujuh orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka terdiri dari dua orang pengacara, satu orang mantan pejabat struktural di pengadilan, satu panitera muda, serta tiga hakim yang tergabung dalam majelis yang menangani perkara tersebut.

Ketujuh tersangka antara lain adalah Marcella Santoso dan Ariyanto selaku advokat, Muhammad Arif Nuryanta yang saat kejadian menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan selaku panitera muda perdata, serta tiga hakim yaitu Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.

Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, dalam keterangannya menjelaskan bahwa rangkaian dugaan suap tersebut bermula dari inisiatif salah satu pengacara, Ariyanto, yang menawarkan bantuan kepada panitera muda Wahyu Gunawan untuk mempengaruhi putusan dalam perkara korupsi ekspor CPO. Tawaran tersebut disampaikan dengan imbalan uang sebesar Rp20 miliar, dengan tujuan agar majelis hakim memberikan putusan onslag atau lepas dari segala tuntutan hukum kepada pihak korporasi yang menjadi terdakwa.

Setelah menerima tawaran tersebut, Wahyu Gunawan kemudian melaporkannya kepada Muhammad Arif Nuryanta. Menanggapi hal itu, Arif disebut menerima usulan tersebut, namun meminta agar nilai suap ditingkatkan menjadi Rp 60 miliar, tiga kali lipat dari nilai awal yang ditawarkan.

Permintaan tersebut disetujui oleh pihak pengacara. Dana dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat kemudian diserahkan kepada Wahyu Gunawan untuk diteruskan kepada Arif Nuryanta. Atas perannya dalam memfasilitasi transaksi tersebut, Wahyu juga disebut menerima bagian sebesar 50.000 dolar AS dari total uang yang diserahkan.

Setelah menerima dana tersebut, Arif Nuryanta menunjuk tiga hakim untuk membentuk majelis yang akan mengadili perkara ekspor CPO. Tiga hakim yang ditunjuk adalah Djuyamto sebagai ketua majelis, Agam Syarif Baharuddin sebagai hakim anggota, serta Ali Muhtarom yang bertindak sebagai hakim ad hoc.

Tak lama setelah diterbitkannya surat penetapan sidang, Arif memanggil Djuyamto dan Agam untuk menyerahkan uang dalam bentuk dolar dengan nilai setara Rp4,5 miliar. Uang tersebut disebut diberikan dengan dalih untuk membaca berkas perkara, namun pada saat yang sama Arif juga menyampaikan agar perkara tersebut diberi perhatian khusus.

Uang yang diterima oleh Djuyamto tersebut kemudian dibagikan kepada dua hakim lain dalam majelis, yakni Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom. Beberapa waktu kemudian, Arif kembali menyerahkan sejumlah uang dalam bentuk dolar kepada Djuyamto, yang jika dikonversikan ke dalam rupiah mencapai sekitar Rp18 miliar. Dari jumlah itu, Djuyamto kembali membagikan kepada dua rekannya di majelis. Agam disebut menerima bagian sebesar Rp4,5 miliar, sementara Ali Muhtarom mendapatkan sekitar Rp5 miliar.

Menurut Abdul Qohar, seluruh anggota majelis hakim menyadari tujuan dari pemberian uang tersebut, yakni agar perkara korupsi ekspor CPO dijatuhi putusan onslag. Dugaan tersebut diperkuat oleh fakta bahwa pada 19 Maret 2024, majelis hakim benar-benar memberikan putusan lepas terhadap para terdakwa korporasi.

Hanin Marwah dan Raden Putri Alpadillah Ginanjar berkontribusi dalam penulisan artikel ini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus