Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESAAT sebelum meninggalkan rumah tahanan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kuningan, Jakarta Selatan, sekitar Juli 2023, Petrus Bala Pattyona menemui seorang petugas jaga berseragam batik di pintu keluar. Ia hendak memastikan apakah benar ada sipir yang pernah menyita uang Rp 5 juta dari kliennya, Lukas Enembe.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sipir itu membenarkan telah menyita Rp 5 juta dari mantan Gubernur Papua tersebut. Tapi ia mengaku uang itu tak dicantumkan dalam berkas penyitaan. Kepada Petrus, petugas penjara itu berjanji mengembalikan uang tersebut. Namun, hingga Lukas meninggal di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, pada 26 Desember 2023, sipir itu tak pernah memenuhi janjinya. “Uang itu tidak pernah dikembalikan,” ucap Petrus kepada Tempo pada 16 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK menahan Lukas Enembe pada 11 Januari 2023. KPK menuduhnya menerima gratifikasi Rp 10 miliar. Sejak Juni 2023, Lukas keluar-masuk sel untuk menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat. Saat itu Lukas sudah sakit dan terlihat sering duduk di kursi roda. Petrus mengklaim Lukas juga tak menyadari ada amplop berisi uang Rp 5 juta di saku bajunya.
Penyitaan uang Lukas diperkirakan terjadi ketika Dewan Pengawas KPK sedang mengusut skandal pelecehan seksual oleh Mustarsidin, petugas registrasi rumah tahanan KPK, terhadap istri salah seorang tahanan KPK. Penyelidikan Dewan Pengawas mengungkap tabir kongkalikong pungutan liar (pungli) tahanan yang melibatkan hampir semua petugas di rumah tahanan tersebut.
Penyitaan Rp 5 juta ini luput dari pemeriksaan Dewan Pengawas lantaran Lukas lebih dulu meninggal. Kepada Tempo, Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengaku baru mendengar ada penyitaan terhadap politikus Partai Demokrat tersebut. Tumpak berjanji menelusuri info tersebut.
Sejumlah tersangka korupsi memasuki Rumah Tahanan Kelas I Cabang Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 17 April 2019./Tempo/Imam Sukamto
Sejak menerima laporan kasus pelecehan seksual pada Januari 2023, Dewan Pengawas KPK telah memanggil 169 saksi. Yang paling banyak dipanggil adalah pegawai di tiga penjara KPK. Dewan Pengawas memeriksa karyawan rumah tahanan Gedung Merah Putih, juga pegawai rumah tahanan Gedung C1 KPK, gedung lama KPK, dan Rumah Tahanan Guntur Cabang Polisi Militer Komando Daerah Militer Jaya di Manggarai, Jakarta Selatan.
Dewan Pengawas pun menemui beberapa narapidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Ada beberapa narapidana yang diperiksa. Salah satunya mantan penyidik KPK, Stephanus Robin Pattuju. Robin divonis 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara pada Januari 2022 karena terbukti menerima suap dalam perkara jual-beli kasus di KPK.
KPK meminta keterangan Robin di Sukamiskin pada akhir tahun lalu. Materi pemeriksaan mengarah pada fasilitas dan pungutan yang diterima para narapidana saat mendekam di rumah tahanan Gedung Merah Putih. “Bukan hanya Robin yang diperiksa,” ujar mantan pengacara Robin, Muhammad Adrian. “Ada beberapa narapidana.”
Temuan Dewan Pengawas mendarat di meja pimpinan KPK pada Mei 2023. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebutkan praktik pungutan liar berlangsung sejak 2018 atau setahun sebelum lima pemimpin periode saat ini dilantik pada Desember 2019. Ghufron menerangkan, pungli melibatkan banyak orang. “Kalau satu kena tapi yang lain tidak kena, pasti dia akan teriak,” tutur Ghufron.
Pemeriksaan Dewan Pengawas KPK menemukan para pegawai yang terlibat pungutan baru bergabung dengan KPK pada 2018. Mereka mengikuti praktik lama yang dilakukan para senior. Mereka semua diduga menerima dan mendiamkannya. “Ini semua karena ada uang tutup mulut,” kata Tumpak.
Selama pemeriksaan, Dewan Pengawas juga menemukan fakta bahwa pungutan terjadi secara berlapis sejak seseorang mulai ditahan hingga menjadi penghuni penjara karena kasus hukumnya sudah berkekuatan hukum tetap. Di ruang isolasi yang biasa menampung tahanan baru, misalnya, ada pungutan untuk mempercepat tahanan mendapatkan sel sendiri. Di sel khusus ini, para koruptor bisa memakai telepon seluler.
Ponsel biasanya dipinjamkan petugas penjara ataupun milik keluarga tahanan yang diselundupkan. Setiap tahanan harus membayar Rp 20-25 juta agar bisa menggunakan ponsel di sel. “Nanti setiap bulan bayar lagi biaya langganan Rp 5 juta,” ucap Tumpak.
Penyelundupan ponsel terjadi terang-terangan. Sementara keluarga tahanan diminta meninggalkan ponsel di loket masuk, peraturan ini tak berlaku bagi petugas. Mereka bebas menggunakannya di dalam rumah tahanan.
Petrus Bala Pattyona mengkonfirmasi kabar ini. Sewaktu menjenguk Lukas Enembe, ia melihat petugas memberikan nomor teleponnya kepada keluarga tahanan. Melalui nomor itu, keluarga tahanan bisa berhubungan dengan para pesakitan lewat ponsel petugas tersebut. “Itu modus mengutip uang,” kata Petrus.
Seorang penegak hukum di KPK mengatakan penggunaan ponsel di dalam penjara memberi kesempatan sejumlah tahanan untuk menghubungi saksi yang hendak dipanggil penyidik. Akibatnya, penyidik acap kesulitan memeriksa mereka karena para saksi itu sudah mengetahui pertanyaan penyidik.
Untuk memuluskan pola pungutan liar, sipir membentuk struktur di rumah tahanan KPK. Ada tahanan yang ditunjuk sebagai koordinator pengepul uang. Mereka dipanggil “korting”. Tugasnya mengutip setoran ponsel setiap bulan sebesar Rp 5 juta, uang rokok, hingga biaya jasa pemesanan makanan lewat ojek aplikasi.
Para korting lalu menyetorkan uang kepada sipir yang bertugas mengumpulkan setoran. Sipir pengepul ini dijuluki “lurah”. “Lurah ini yang dianggap paling senior,” ujar Tumpak.
Untuk menyamarkan transaksi, setoran ke dan dari korting kepada lurah ditransfer melalui rekening bank khusus. Rekening pengepul menggunakan nama orang di luar KPK. “Untuk menyamarkan aliran uang ini, para lurah menggunakan rekening anak sampai tetangganya,” tutur Tumpak.
Salah seorang yang diduga pernah mengirimkan uang ke rekening pengepul itu adalah keluarga Robin Pattuju. Meski berstatus mantan pegawai KPK, Robin tetap harus menyetor uang kepada petugas penjara di Gedung Merah Putih. Adrian tak membantah informasi tersebut, tapi mengaku tak mengetahui detailnya. “Entah uang dari meminjam atau bagaimana, tapi memang dia pernah menceritakan itu,” kata Adrian.
Dari pungutan berjenjang itu, seorang lurah bisa mengumpulkan Rp 60-80 juta per bulan. Ia lalu membaginya kepada para sipir. “Paling sedikit mereka terima Rp 3 juta. Makin banyak tahanan, makin banyak setoran,” ucap Tumpak.
Tapi lurah bukan jabatan tertinggi. Di atasnya ada kepala regu, lalu kepala keamanan dan ketertiban, hingga kepala rumah tahanan. Jabatan kepala keamanan dan kepala rumah tahanan diisi pegawai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mereka yang menerima setoran dari rekening pengepul para lurah.
Tumpak Hatorangan mengklaim telah mengantongi bukti transaksi di rekening para lurah kepada kepala keamanan dan ketertiban serta kepala rumah tahanan. Pemeriksaan itu juga mengungkap ruangan kepala rumah tahanan diduga dipakai untuk menyembunyikan ponsel para tahanan ketika ada razia dan penggeledahan.
Saat diperiksa di Dewan Pengawas, para sipir dan pejabat rumah tahanan awalnya mengelak. Mereka tak berkutik setelah penyidik menunjukkan bukti percakapan WhatsApp mereka. Di antaranya percakapan berisi tagihan setoran kepada kepala keamanan dan ketertiban serta kepala rumah tahanan. “Mana, nih? Lama sekali,” Tumpak menirukan salah satu pesan.
Praktik pungutan liar langgeng karena para tahanan tak punya pilihan. Sesama tahanan akan membujuk tahanan lain agar bersedia memberi uang dengan alasan kebersamaan. Mereka yang tak mampu atau menolak membayar akan disuruh membersihkan penjara. Namun tahanan yang dulu pejabat biasanya royal. “Ada seorang bupati, tiap kali petugas datang, dia kasih Rp 300-500 ribu, saking kayanya,” ujar Tumpak.
Informasi mengenai aliran uang ini yang dikumpulkan satu per satu oleh Dewan Pengawas KPK selama Desember 2021-Maret 2022. Sebanyak 93 pegawai penjara KPK sedang menjalani sidang etik karena ketahuan menikmati pungutan ini. “Total pungutannya sekitar Rp 6,148 miliar,” kata Albertina Ho, anggota Dewan Pengawas.
Stephanus Robin Pattuju di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 20 Desember 2021./Tempo/ Imam Sukamto
Ada juga pegawai penjara KPK yang sudah menerima dan kemudian menyerahkan kembali uang tersebut. Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan ada pegawai penjara yang mengembalikan uang pungutan senilai Rp 270 juta. Sejalan dengan sidang etik di Dewan Pengawas, penyidik dari Deputi Penindakan juga sudah mengusut kejahatan ini. “Putusan di Dewan Pengawas akan membantu tim di penindakan dalam proses penanganan tindak pidana korupsinya,” ucapnya.
Ali Fikri menegaskan, penjara KPK merupakan cabang rumah tahanan negara yang kewenangannya berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Karena itu, kepala penjara memberi laporan bulanan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur. Sejak 2012 sampai April 2022, kepala rumah tahanan KPK selalu dijabat pelaksana tugas.
Kepala penjara ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal KPK. Saat ini hanya ada satu orang yang memimpin penjara KPK. “Dia dari Kementerian Hukum dan HAM,” tutur Sekretaris Jenderal KPK Cahya H. Harefa.
Namun Koordinator Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Deddy Eduar Eka Saputra, menyebutkan pengawasan terhadap para pegawai penjara KPK seharusnya menjadi kewenangan pimpinan komisi antirasuah. “Mengingat pegawai yang bersangkutan telah menjadi bagian KPK,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Avit Hidayat berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Korting dan Lurah di Penjara KPK"