Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Putusan Saraf ?

Hakim pengadilan negeri Padangsidempuan hanya memvonis 7 bulan penjara kepada Akhiruddin yang terbukti memperkosa 2 gadis di bawah umur. Ternyata hakimnya sakit saraf. (hk)

17 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH keputusan yang mengundang tanda tanya masyarakat dijatuhkan seorang hakim di Pengadilan Negeri Padangsidempuan. Hakim itu hanya menghukum 7 bulan penjara - dalam masa percobaan 1 tahun - seorang pelajar SMA, Akhiruddin Pasaribu alias Cakir, yang terbukti menggauli dua orang murid sekolah dasar. Keputusan itu semakin menjadi tanda tanya ketika diketahui, yang memutus perkara itu adalah hakim yang menderita penyakit saraf. "Sudah setahun lebih ia tidak saya beri perkara," ujar ketua Pengadilan Negeri Padangsidempuan, Mukmin Yus Siregar. Cakir, 18, diadili dengan tuduhan berat: menyetubuhi dua anak di bawah umur. Suatu malam, April lalu, pelajar SMA itu membujuk dua gadis kecil - yang kita sebut saja Sali, 11, dan Suci, 13 - untuk mengikutinya. Dengan imbalan uang masing-masing Rp 50, kedua gadis itu bersedia dibawa Cakir ke sebuah rumah kosong di Desa Hapesong Lama, Padangsidempuan. Di situ Cakir, anak kepala desa, berhasil menggauli kedua gadis itu secara bergiliran. "Kami kesakitan dan . . . berdarah," ujar Sali. Perbuatan Cakir segera tercium oleh keluarga Sali dan Suci. Kakak Sali, Rosdiana, curiga melihat wajah adiknya pucat. Apalagi, ketika Rosdiana menemukan celana dalam adiknya ternoda darah. Baik Sali maupun Suci dibawa orangtua masing-masing ke puskesmas Batang Toru. Hasilnya, kedua gadis kecil itu telah kehilangan keperawanannya. Di sidang, Cakir membantah tuduhan Jaksa Marganti Pangaribuan. Ia, katanya, hanya menciumi gadis itu dan tidak sampai menyetubuhinya. Tapi visum dokter dan kesaksian gadis-gadis cilik itu membuktikan lain. Tapi hakim yang mengadili kasus itu, akhir Juli, hanya menghukum Cakir 7 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Padahal, ancaman untuk kasus semacam itu 12 tahun penjara. Keputusan itu tentu saja mengagetkan keluarga kedua gadis cilik tadi. Di ruang sidang itu juga ibu Sali bersama Rosdiana bertangisan. "Betul-betul tidak adil," ujar Rosdiana, kakak Sali. Sementara itu, ibu Suci, Nadiar Nasution, hanya bisa mengeluh, "Inilah nasib kami rakyat kecil." Ayah Sali, Abdul Gani, segera memburu jaksa. "Kok begitu vonisnya, Pak Jaksa?" ujar Gani. Marganti - yang tidak pula menyatakan banding atas putusan itu walau menuntut 4 bulan penjara - hanya mengangkat bahu. "Tanya saja hakimnya," kata Marganti. Dan sang hakim pun tidak bisa ditemui Abdul Gani. "Entah kepada siapa lagi kami akan mengadu," ujar Abdul Gani, yang pekan lalu mengadu ke Pengadilan Tinggi di Medan. Hakim itu, ketika ditemui TEMPO, mencoba menjelaskan bahwa putusannya terpaksa ringan karena Cakir, yang duduk di kelas III SMA itu, harus diselamatkan masa depannya. "Ia anak pintar," katanya. Tapi ia membenarkan, tidak memanggil kepala sekolah Cakir untuk mengecek kebenaran alasannya itu. "Saya mendengar ia pintar dari orang-orang di luaran," katanya. Padahal, menurut kawan-kawannya, ternyata Cakir anak nakal yang suka mabuk-mabukan. Bahkan hakim itu pula, dua tahun lalu, pernah menghukum Cakir dalam perkara pencurian. KETIKA diwawancarai Bersihar Lubis dari TEMPO, hakim itu berkata, "Jadi, kamu mau hukumannya diberatkan? Oke, besok kita bikin vonis berat. Menhankam melindungi tugas para hakim. Jadi, saya main ketuk palu saja ke meja hijau," katanya sambil tersenyum. Untunglah, saat itu seorang petugas pengadilan menarik wartawan TEMPO dan berbisik, "Dia itu agak terganggu sarafnya." Ketua pengadilan, Mukmin Yus Siregar, membenarkan bahwa bawahannya itu baru kali itu diserahi perkara, setelah lama sakit saraf. Selama ini, kata Mukmin, hakim itu rajin berobat. Maret lalu, ia menyodorkan surat keterangan dokter kepada Mukmin bahwa sakitnya sudah sembuh. Tapi, melihat keputusannya di dalam perkara susila itu Mukmin menduga sakitnya kambuh lagi. "la akan saya kembalikan ke status nonaktif," ujar Mukmin. Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara Djazuli Bachar, yang pekan lalu menerima laporan tentang vonis hakim itu, menyatakan kekagetannya. "Saya sudah mendengar ia sakit saraf, tapi kok diberi tugas lagi," ujar Djazuli. Seorang hakim tinggi lainnya, Sarwoko Tjitro Suwarno, mengatakan bahwa hakim yang tak sehat itu tak pantas memegang perkara. "Jika orang berpenyakit saraf memegang perkara, keadilan bisa menjadi korban," ujar Sarwoko.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus