ADA beberapa adegan menarik dari film Kembang Kertas. Misalnya, ketika Lenny Marlina menyikat gigi sambil terus nyerocos. Atau kekenesan Ria Irawan mendeklamasikan sajak Kembang Kertas. Juga kuliah ketua RT untuk Herman Felani. Adegan gosok gigi - juga dimainkan Lenny - pernah terlihat sebelumnya dalam Panasnya Selimut Malam, arahan Wahab Abdi. Kuliah ketua RT sudah pernah muncul dalam Seputih Hatinya Semerah Bibirnya, karya Slamet Raharjo. Sekalipun begitu, masih saja enak ditonton. Yang menjengkelkan justru adegan yang secara visual menarik, tapi oleh sebab tertentu jadi tidak berbobot. Misalnya, ketika Dewi Yull (sebagai Rini) pada suatu malam digambarkan terlunta-lunta sendiri, tanpa adanya informasi kunci yang mendorongnya kepada perbuatan setolol itu. Ia kemudian dibuntuti serta dikepung banyak pemuda berandal yang mengendarai sepeda motor. Gambar-gambarnya memang bagus bagaikan lukisan gaya Rembrandt, tapi tidak berbicara apa-apa kepada penonton. Soalnya, kunci untuk itu - sebuah informasi, misalnya - tidak disediakan. Tidak terhindar kesan bagaimana adegan itu mencuat dan berdiri sendiri. Toh, adegan serupa diulangi menjelang akhir cerita, dan pelakunya Ria Irawan. Berperan sebagai Ani, adik Rini, ia juga digambarkan berjalan sendiri, bergaun merah, dikuntit segerombolan pemuda berandal yang muncul dari ufuk antah-berantah. Penonton cukup peka untuk mereka-reka bahwa Rini-Ani sedang dilanda frustrasi, bahwa orangtua mereka "gawat", bahwa mereka seperti kehilangan pegangan. Tapi pengetahuan seperti ini tidak membebaskan penonton dari tuntutan akan informasi. Adegan itu akhirnya berlalu tanpa makna karena penonton tidak yakin pada realitas yang digelarkannya. Singkat kata, adegan itu tidak efektif, dampak emosionalnya hancur di tangan sutradara. Tentu seorang sutradara boleh saja tidak mengacuhkan emosi penonton. Karena Kembang Kertas sejak awal sudah digarap serealistis mungkin, maka wajar jika berbagai detail, informasi, bahkan akurasi, ikut dipentingkan. Tanpa ini, bangunan cerita Kembang Kertas, yang semula bagus tegaknya, bisa saja tiba-tiba ambruk. Dan karena bertumpu pada masalah remaja, Kembang Kertas juga akan terasa "menggigit" kalau ia, misalnya, menampilkan hal-hal yang spesifik remaja. Bukankah remaja itu tidak sekadar totalitas letupan emosi, goyang-goyang dan hobi memakai lipstik? Tapi malangnya, hal-hal spesifik menuntut akurasi, sedangkan dalam pandangan Slamet pemberontakan remaja misalnya, bisa saja dipadatkan dalam sebuah ekspresi, dalam simbol-simbol. Mungkin karena itu ia tidak segan mengulangi adegan jalan-jalan, supaya imperatif. Kelanjutan adegan itu juga diulangi persis sama, yakni menghadirkan seorang wartawan freelance berkendaraan VW kombi. Diperlihatkan bagaimana sang wartawan yang mengaku terdorong untuk menjadi saksi mata bagi peristiwa apa saja - datang menyelamatkan kedua remaja putri. Tokoh ini tak pelak lagi membuat cerita agak timpang, karena terlalu dipaksakan. Bagaikan keluar dan angan-angan sang wartawan berwatak alim, tapi berpengawakan bagaikan tukang pukul. Lagi pula, ia tampak begitu jantan, hingga penonton sukar sekali untuk merasa yakin bahwa ia tidak berbuat apa-apa justru ketika melepas gaun merah yang basah di saat Rini tidur lelap. Harus diakui akhirnya, realitas yang disajikan Slamet terlalu lincah untuk diikuti, apalagi diyakini. Apakah kita menuntut terlalu banyak dari Slamet Raharjo, sutradara terbaik 1985? Entahlah. Menurut ketua Dewan Juri FFI 1985, H. Abdurrahman Wahid, Kembang Kertas terpilih sebagai film terbaik dengan suara bulat. Kekuatan Kembang Kertas, menurut Abdurrahman, terletak antara lain pada gaya penceritaan yang memang melompat-lompat tapi tidak kehilangan kendali pada pesan yang paling aktual karena menyentuh banyak keluarga masa kini juga karena sutradara telah mengungkapkan sebuah masalah sosial secara lebih utuh. Bicara utuh, Kembang Kertas memang telah menampilkan berbagai fakta: korupsi, manipulasi, kenakalan remaja, huru-hara, bahkan ganja, kalau tidak salah. Film ini juga mengajak penonton ke Perumnas, disko, ruang pengadilan. Tapi sampai penat mata memandang, yang disebut masalah sosial, sebagai yang benar-benar masalah sosial, tidak kunjung kita temukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini